
“Mereka hanya bertepuk tangan hambar ketika gol terjadi. Mereka berangkat ke stadion hanya ingin melepas kepenatan kerja dan aktivitas rutin yang mengikat.”
Oleh: Hafidz Bintang Alfarisi (Kreator Konten Trigger.id)

Apa guna kompetisi diadakan jika menjadi juara namun tak terlalu istimewa. Pupus sudah harapan peserta kompetisi merebut kampiun sepak bola tanah air secara terhormat lewat perjuangan yang sebenarnya.
Kompetisi Liga 1 dilanjutkan hanya karena ingin menghabiskan sisa pertandingan atau terpaksa karena sudah terlanjur teken kontrak dengan sponsor. Ketika para pemain bermain fight , apa yang mereka kejar?. Apa yang mereka banggakan jika menjadi juara tidaklah terlalu istimewa. Sementara sebagian lainnya mungkin bermain biasa-biasa saja “apa adanya”, toh klub mereka tidak akan turun kasta karena kasta kompetisi dibawahnya (Liga 2) dihentkan.
Hingar bingar penonton dan pecinta bola tanah air, terasa hampa. Mereka hanya bertepuk tangan hambar ketika gol terjadi. Mereka berangkat ke stadion hanya ingin melepas kepenatan kerja dan aktivitas rutin yang mengikat.

Seperti dimuat dw.com, wartawan sekaligus komentator bola Hardimen Koto menuliskan cerita panjang tentang “Era Ke(Gelap)an sepak bola Indonesia.
Sejak sidang komite eksekutif PSSI memutuskan kompetisi Liga 2 tidak dilanjutkan. Ada banyak alasan disampaikan saat itu. Katanya, didukung 20 dari 28 klub member Liga 2.
Belakangan fakta muncul bahwa 20 klub yang konon kabarnya mendukung Liga 2 dihentikan, beberapa diantara mereka membantah. Tanda tangan di absensi rapat itu dipalsukan. Beredar juga fakta bahwa ada 15 klub, bahkan mau meneruskan.
Namun semua terlanjur diputuskan. Bahwa keputusan menghentikan kompetisi Liga 2 berbuntut panjang dan berdampak luas terhadap roda kompetisi sepak bola tanah air, itu sudah pasti. Tidak ada Liga 2, berarti tidak ada yang promosi klub ke Liga 1 dan tidak ada yang degradasi ke Liga 3. Liga 3 pun, yang dihuni 612 tim di 34 provinsi juga berhenti berputar.
Dari dua strata sepak bola Indonesia, Liga 2 dan 3 yang tanpa kompetisi menjadikan ribuan pemain, ratusan pelatih, ratusan perangkat pertandingan kehilangan pekerjaan. Mereka menjadi penganggur. Belum lagi sektor industri transportasi, perhotelan, kuliner dan UMKM yang terdampak.
Hardimen Koto atau mungkin jutaan penggemar bola di tanah air bertanya, sampai kapan sepak bola Indonesia berhenti dirundung masalah?. Sampai kapan Federasi kita jauh dari figur-figur yang futuris, well-plan, well design dan marketable?.
Kapan Federasi kita punya figur seperti Satoshi Saito, orang Jepang dan mantan Direktur Marketing Barcelona yang dengan cepat membikin sepak bola Kamboja berkembang pesat?. Kita saat ini duduk manis jadi penonton ketika Kamboja berkembang menjadi tim paling menjanjikan, ketika kompetisi Malaysia menjadi peringkat satu, ketika Thailand dan Vietnam menjadi Raja sepak bola di Asia Tenggara.
Coba bertanya kepada rumput yang bergoyang di stadion, rasanya tidak tega sebab nasib mereka juga mungkin sudah meranggas sama seperti prestasi sepak bola Indonesia.
Kata Hardimen Koto, ini memang era kegelapan sepak bola Indonesia. Kalau pun berharap, bertanyalah kepada sederet calon Ketua Umum dan para komite eksekutif yang ber-Kongres sebentar lagi. Boleh jadi, di pundak mereka ada harapan soal sepak bola Indonesia menuju pentas dunia, seperti tagline PSSI era Azwar Anas sebagai Ketua Umum PSSI. Semoga.
Tinggalkan Balasan