

Setiap peringatan Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia tanggal 24 Maret, selalu diiringi pertanyaan. Sejauh manakah perkembangan mitigasi penyakit menular itu ? Apakah mengalami kemajuan, stagnan, atau justru kemunduran ? Sebab targetnya jelas. Eliminasi TB “harus” tercapai tahun 2030. Dasarnya Peraturan Presiden No.67 Tahun 2021.
Mitigasi TB
Pemberantasan TB menjadi atensi utama kabinet Merah-Putih. Pasalnya Indonesia memiliki jumlah penyandang TB peringkat kedua tertinggi di dunia, setelah India. Setidaknya tercatat 1.090.000 kasus. Angka mortalitasnya mencapai134 ribu per tahun, atau terjadi 17 kematian setiap jamnya. Sangat mungkin realitasnya jauh melampaui catatan itu. Masalahnya epidemiologi TB ibarat fenomena gunung es. Artinya kasus yang tidak terdeteksi, bisa sepuluh kali lipat dibanding yang dikonfirmasi.
Seseorang yang tertular Mycobacterium tuberculosis (MTB), tidak mesti langsung jatuh sakit. Bila sistem imunitasnya adekuat, mayoritas “hanya” mengalami infeksi laten TB (LTBI). Dengan berjalannya waktu, sepuluh persen LTBI akan berkembang menjadi TB aktif. Pemicunya beragam. Misalnya penyakit autoimun, kanker, dan gangguan sistem imun.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), paling rentan mengalami TB aktif. Risikonya 20-30 kali lipat, dibanding non-ODHA. Diperkirakan 30 persen ODHA, memiliki status TB aktif. Kondisi itulah penyebab mortalitas utama ODHA. Hingga Maret 2023, tercatat 522.687 ODHA di Indonesia. Setahun berikutnya telah bertambah 47.896 kasus. Sama persis dengan TB, fenomena gunung es terjadi pula pada HIV. Banyak kasus HIV di masyarakat yang tidak terdeteksi, hingga memasuki fase AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Periode transisinya bisa berlangsung hingga bertahun-tahun. Padahal mereka sangat menular, khususnya melalui kontak seksual. AIDS merepresentasikan kondisi rusaknya sistem imun. Ibarat negara tanpa sarana pertahanan, penyandangnya rentan diinvasi mikroba jenis apa pun. Terutama TB.
Mitigasi TB bukan persoalan sederhana. Sebaliknya bisa dibilang pelik dan melelahkan. Relevansinya erat dengan rendahnya tingkat pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Sekitar 65 persen pengidapnya, beririsan dengan problem kemiskinan. Dampaknya, memantik masalah kurang gizi, intoleransi obat, komplikasi, dan fatalitas.
Mayoritas penyandang TB enggan terbuka menyangkut kondisi kesehatannya. Mereka sering mengalami stigma dan diskriminasi, jika diketahui mengidap TB oleh masyarakat sekitarnya. Kepatuhan mengonsumsi obat secara reguler pun, sering mengalami kendala. Akibatnya memicu munculnya TB resistan obat (TB-RO) yang semakin menambah kompleksnya mitigasi.
Deteksi dini LTBI ataupun TB aktif, merupakan langkah penting mitigasi. Diagnosis TB aktif bisa dilakukan melalui pemeriksaan darah, tes kulit tuberkulin (TKT), radiologi dada, atau pemeriksaan bakteriologi dahak. Tidak ada satu pun modalitas yang ideal. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Meski tidak akurat seratus persen, tes cepat molekuler TB (TCM-TB) menjadi alternatif pilihan utama. Sensitivitasnya cukup tinggi. Hasilnya pun dapat disimpulkan dalam waktu yang relatif singkat. Biasanya hanya kurang dari dua jam saja. Secara simultan, TCM dapat mendeteksi TB-RO terhadap terapi utama, yakni rifampicin.
Deteksi LTBI lebih “rumit”. Selain tidak ada gejala yang khas, pemeriksaan TKT dan tes darah (IGRA/interferon-gamma release assay) memiliki keterbatasan. Hasil TKT tidak spesifik. Interpretasinya memerlukan tingkat keahlian tertentu. IGRA berbiaya mahal dan tidak semua laboratorium memiliki perangkat diagnostiknya. LTBI memerlukan pengobatan pencegahan, agar tidak berkembang menjadi TB aktif. Karena tidak menampilkan gejala atau minimal saja, sering kali menghentikan pengobatan atas inisiatif sendiri.
Amerika Serikat (AS) telah menyatakan hengkang dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan USAID (Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat). Keputusan kontroversial Presiden Donald Trump, dikhawatirkan berimbas pada bantuan pendanaan mitigasi TB dan HIV/AIDS di Indonesia. Kecuali obat anti HIV, banyak komponen program HIV yang memerlukan dana bantuan asing, termasuk dari AS. Melalui global fund yang disalurkan, USAID memberikan dukungan teknis percepatan penanggulangan TB dan ketersediaan peralatan TCM.
Riset vaksin pengganti BCG
Vaksinasi yang aman dan efektif, telah terbukti merupakan tulang punggung pencegahan penyakit menular yang paling ekonomis. BCG sebagai satu-satunya vaksin pencegah TB, sudah satu abad lamanya digunakan di seluruh dunia. Namun daya proteksinya amat terbatas. Hanya bisa mencegah seorang anak, agar tidak jatuh ke dalam kondisi TB yang parah. Setelah remaja dan pada orang dewasa, daya proteksi BCG menjadi pupus. Padahal justru mereka sebagai sumber penularan, bila terpapar TB.
Kini para ahli tengah mengembangkan berbagai platform baru vaksin TB. Indonesia terlibat dalam uji klinis tiga kandidat vaksin. Masing-masing M72/AS01E (Bill & Melinda Gates Foundation dan GlaxoSmithKline), BNT164a1 (BioNTech dan Biofarma), serta AdHu5Ag85A (CanSinoBio dan Etana). Diproyeksikan, vaksin baru bisa diterapkan tahun 2028.
Harapan dan perubahan adalah tantangan yang harus diperjuangkan. Semoga Indonesia mampu tegak berdiri di atas kaki sendiri mengeliminasi TB.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan