
Oleh: dr. Ari Baskoro SpPD K-AI – Penulis Buku-buku Seri COVID-19 ( tiga seri) dan “Serba-serbi Obrolan Medis”

Peraturan penggunaan masker terkait pandemi Covid-19 telah dicabut. Acuannya adalah Surat Edaran (SE) Nomor 1 tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
SE tentang protokol kesehatan pada masa transisi menuju endemi Covid-19 tersebut, dirilis tanggal 9 Juni 2023.
Dasar pertimbangannya adalah pada semakin terkendalinya persebaran kasus Covid-19 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Situasi tersebut tidak terlepas dari tingkat imunitasglobal yang semakin tinggi terhadap paparan SARS-CoV-2.
Karena itulah diperlukan penyesuaian protokol kesehatan (prokes), pada masa transisi dari pandemi menuju endemi.
SE tersebut secara spesifik ditujukan pada pelaku perjalanan dalam dan luar negeri, pelaksanaan kegiatan berskala besar, serta kegiatan pada fasilitas publik.Diharapkan muaranya pada perlindungan masyarakat secara maksimal, terhadap penularan Covid-19.
Salah satu dasar pertimbangan penerapan peraturan tersebut, menyesuaikan dengan keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sejak tanggal 5 Mei 2023, badan PBB yang bermarkas di Jenewa-Swiss itu, telah mencabut status Public Health Emergency of International Concern (PHIC) untuk Covid-19. Bisa dikatakan PHIC masih satu level di bawah pandemi. Artinya saat ini dunia masih berada pada satu titik transisi, peralihan dari pandemi menuju endemi.
Dalam SE itu ada anjuran tetap menggunakan masker, apabila dalam keadaan tidak sehat, atau berisiko tertular, atau menularkan Covid-19. Utamanya sebelum dan saat melakukan perjalanan dan kegiatan yang dilakukan pada fasilitas publik. Mereka juga dihimbau untuk tetap menjaga jarak atau menghindari kerumunan. Kebijakan tersebut diambil dalam rangka persiapan pemerintah dan masyarakat, memasuki fase endemi. Saat ini keputusan pencabutan kedaruratan nasional Covid-19, sedang dalam pembahasan pemerintah. Kebijakan tersebut juga bertujuan memaksimalkan laju peningkatan ekonomi Indonesia.
Keberhasilan pengendalian pandemi Covid-19,sangat terkait dengan semakin meningkatnya kesadaran dan tingkat partisipasi masyarakat. Khususnya menyangkut disiplin prokes, terutama penggunaan masker. Kini masker telah menjadi tren positif masyarakat. Tanpa penggunaan masker, terutama pada saat mengakses fasilitas publik dan terjadinya kerumunan massa, terasa kurang percaya diri.
Masker sebagai simbol anti polusi
Tidak sedikit pendapat masyarakat yang akan tetap menggunakan masker, saat berada di luar ruangan. Dalam konteks pencegahan paparan SARS-CoV-2, masker tidak banyak memberikan manfaat proteksi, bila berada di ruang terbuka. Tetapi dalam persoalan pencegahan dampak buruk polusi udara, masker memainkan peranan yang penting. Khususnya bagi masyarakat yang hidup di kota-kota besar dan sering melakukan aktivitas di jalan (raya). Polusi udara telah menjadi ancaman kehidupan masyarakat yang patut diwaspadai.
Dalam beberapa pekan terakhir ini, Jakarta telah beberapa kali menduduki peringkat tertinggi, sebagai kota dengan tingkat polusi udara terburuk di dunia. Itu berdasarkan pada data IQAir. Pada 14 Juni 2023, prakiraan indeks kualitas udara (AQI) di ibu kota negara kita tersebut, mencapai 148 AQI US. Artinya tidak sehat.Terutama terhadap kelompok masyarakat yang sensitif. Konsentrasi polutannya cukup mengkhawatirkan. PM2,5 tercatat 54,7ug/m3, sedangkan SO2 mencapai 15,2ug/m3. PM (particulla tematter) 2,5 adalah polutan udara yang berukuran sangat kecil, sekitar 2,5 mikron (mikrometer). Ukuran ini lebih kecil dari tiga persen ukuran rambut manusia. Selain PM, karbon monoksida (CO), ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), dan sulfur dioksida (SO2), merupakan unsur-unsur yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Sumber utama polutan, berasal dari gas buang kendaraan bermotor, aktivitas industri, dan kegiatan rumah tangga sehari-hari. Pada situasi tertentu, abu vulkanik, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla), justru berkontribusi sebagai polutan utama.
Kualitas udara buruk Jakarta tersebut, jauh melampaui nilai panduan kualitas udara tahunan WHO, hingga 10,9 kali lipat. Data itu diperoleh dari 22 stasiun pemantau yang tersebar di beberapa wilayah Jakarta. Diperkirakan bahaya polusi udara di ibu kota tersebut, akan menyebabkan 4.900 kematian pada tahun 2023. Pada waktu yang sama, bila dinominalkan kerugiannya bisa setara dengan$1,300,000,000 USD. Dari negara-negara di seluruh dunia, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara terpolutif, dengan indeks AQI US mencapai 148 yang mengindikasikan tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Pada publikasinya tanggal 18 Mei 2022, The Lancet, sebuah jurnal terkemuka dunia merilis data yang mengagetkan. Terkait polusi, India disebut-sebut sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di dunia. Sebanyak 1,6 juta penduduknya meninggal karena polusi udara. Setengah juta orang lainnya harus kehilangan nyawa, akibat polusi air. Total sebanyak 2,3 juta penduduk negara Bollywood itu, meninggal prematur akibat polusi. Jumlah ini melampaui kematian akibat Covid-19 yang menurut versi negara tersebut “hanya” sekitar 500 ribujiwa. Tetapi menurut analisis dan investigasi WHO, kematian akibat Covid-19 di India mencapai lebih dari empat juta jiwa. Sejauh ini, angka tersebut merupakan angka kematian tertinggi suatu negara, akibat pandemi Covid-19.
The Lancet juga memperingatkan, dampak polusi jauh lebih besar daripada akibat perang, terorisme, malaria, HIV, TBC, narkoba dan alkohol.
Mengutip data Global Allience On Health And Pollution (GAHP), terdapat 232,9 ribu kematian di Indonesia akibat polusi. Sebanyak 123,7 ribu di antaranya, diakibatkan polusi udara. Data hasil penelitian tersebut, tercatat pada tahun 2017. Menurut riset itu pula, kematian global akibat polusi mencapai 8,3 juta orang. Jumlah tersebut mencakup porsi 15 persen dari seluruh kematian global.
WHO menyatakan, sekitar 99 persen populasi global bernapas dengan udara yang penuh dengan polutan. Kadarnya sudah melampaui limit keamanan, sesuai dengan pedoman WHO. Paparan tertinggi terutama dialami masyarakat di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Tidak mengherankan, persoalan polusi telah menjadi perhatian penting berbagai negara di dunia.
Masker telah terbukti sebagai tulang punggung pencegahan transmisi Covid-19. Saat ini dan pada masa yang akan datang, telah ditunggu perannya yang lebih besar. Bumi yang sedang “sakit” akibat kandungan polutan yang tinggi, diharapkan dampak buruknya dapat “disaring” dengan penggunaan masker.
Vaksin fase transisi menuju endemi
Sangat mungkin tidak lama lagi pemerintah akan mendeklarasikan Covid-19 sebagai penyakit endemi. Walaupun hal itu harus dibicarakan dengan WHO, sebagai penentu pernyataan memasuki fase endemi.
Vaksinasi Covid-19 dengan berbagai platform, telah terbukti mampu mengendalikan pandemi. Diharapkan peran vaksinasi tersebut masih berlanjut, untuk menekan risiko terhadap lonjakan-lonjakan kasus Covid-19 pada masa endemi. SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19, tidak akan hilang. Pada masa endemi, manusia harus siap “hidup berdampingan” dengan mikroba tersebut dengan segala konsekuensinya.
Semakin banyak riset yang dapat membuka tabir pola interaksi antara virus Covid-19 dengan manusia. Saat ini sudah dapat dipetakan populasi tertentu dalam masyarakat yang masih berisiko tinggi mengalami dampak fatalitas, bila terpapar Covid-19.Mereka perlu mendapatkan edukasi yang seoptimal mungkin secara berkesinambungan, terkaittindakan preventif terhadap paparan Covid-19. Misalnya akses untuk mendapatkan vaksin booster lanjutan.
Satgas Imunisasi Dewasa PAPDI (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia),memberikan rekomendasinya sebagai berikut :
- Lansia (>60 tahun) yang memiliki komorbid, sebaiknya mendapat booster lanjutan setiap enam bulan
- Usia muda (>18 tahun) yang memiliki komorbid, serta penyandang obesitas, sebaiknya mendapat booster lanjutan setiap 12 bulan.
- Perempuan hamil, sebaiknya mendapat booster lanjutan pada waktu hamil.
- Tenaga kesehatan dan petugas yang kerap berhubungan dengan pasien, sebaiknya mendapat booster lanjutan setiap 12 bulan.
Jika memasuki pintu endemi, kewajiban pembiayaanvaksinasiCovid-19, akan bergeser dari pemerintah ke masing-masing individu atau swasta. Karena itulah diharapkan penyediaan dan pemilihan vaksin Covid-19 untuk boosterlanjutan, masih menjadi domain pemerintah. Dalam hal ini melalui penetapan Kementerian Kesehatan. SARS-CoV-2 sebagai virus penyebab Covid-19 tetap akan terus bermutasi. Setiap terjadinya mutasi masih berpotensi menimbulkan lonjakan-lonjakan baru kasus Covid-19. Karena itulah kewaspadaan terhadap bahaya paparan virus ini, hendaknya masih menjadi perhatian semua pihak. Terutama terhadap masyarakat tertentu yang berisiko.
Tinggalkan Balasan