
Oleh: dr. Ari Baskoro SpPD K-AI – Penulis buku Serial Kajian COVID-19 (tiga seri) dan Serba-serbi Obrolan Medis

Rabies tergolong sebagai penyakit “kuno”. Pertama kali kasus tersebut dilaporkan terjadi pada manusia pada tahun 1894. Selama berabad-abad, wabah rabies menyebar di Indonesia.
Hingga kini, sebanyak 25 provinsi di tanah air menjadi wilayah endemis Rabies. Hanya delapan provinsi saja yang dinyatakan bebas rabies. Provinsi tersebut adalah Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, dan Papua.
Rabies menyebar di lebih dari 150 negara di seluruh dunia, kecuali di benua Antartika.Penyebabnya adalah virus zoonosis (menular dari hewan ke manusia) yang menyerang susunan saraf pusat (SSP) mamalia (anjing, kucing, rubah, monyet dan lain-lain). Mikroba tersebut paling banyak didapatkan pada air liur dan otak hewan yang terpapar. Cara penularan terpenting pada manusia adalah melalui gigitan atau cakaran hewan yang terinfeksi virus itu.Air liur hewan yang terinfeksi, juga dapat menularkan virus rabies, jika mengenai mata, mulut, atau hidung.
Satwa liar, terutama kelelawar,merupakan reservoar utama pada daerah-daerah tertentu.Meningkatnya populasi satwa liar yang tidak terkendali, berpotensi besar menciptakan peluang terjadinya penularan antar spesies. Risiko paparan pada manusia pun, dengan sendirinya akan semakin meningkat pula.
Sejak tahun 2020 hingga April 2023, dilaporkan terjadi sebanyak 82.634 kasus gigitan anjing tiap tahunnya di Indonesia. Kasus kematian akibat rabies, bisa menembus angka 68 orang per tahun. Sepanjang tahun 2023 ini saja, tercatat 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR). Sebanyak 11 kasus di antara yang dilaporkan tersebut, berakhir dengan kematian. Lonjakan kasus rabies di Indonesia akhir-akhir ini, diduga masih ada kaitannya dengan pandemi Covid-19. Hal itu akibat terbengkalainya program vaksinasi pada hewan peliharaan atau pada anjing yang bebas berkeliaran.
Di seluruh dunia, rabies menyebabkan sekitar 59 ribu kematian tiap tahunnya. Kematian pada anak-anak di bawah 15 tahun,mencakup 40 persen kasus. Lebih dari 95 persen kasus kematian global, terjadi di Afrika dan Asia.
Kendala terpenting dari pengendalian rabies di Indonesia adalah meningkatnya populasi anjing yang bebas berkeliaran. Misalnya di Bali.Perkiraan jumlah anjing-anjing itu, bisa mencapai 60 persen dari keseluruhan populasinya di Pulau Dewata. Bila dirunut, sebenarnya 95 persen anjing-anjing tersebut awalnya dipelihara oleh pemiliknya.
Manifestasi klinis rabies pada manusia
Deteksi dini penyakit rabies tidak selalu mudah.Pada dasarnya diagnosis hanya bisa ditegakkan setelah timbulnya gejala.Gejalanya pun,tergolong tidak terlalu spesifik. Sering kali diawali keluhan demam dan kesemutan pada area sekitar bekas GHPR. Selanjutnya diikuti gejala-gejala lainnya, sepertilesu, mual, muntah-muntah, dan anoreksia.
Dalam beberapa hari kemudian, gejala tersebut berkembang menjadi kelainan pada SSP. Misalnya terjadinya kesulitan menggerakkan bagian-bagian tubuh tertentu, kesulitan menelan dan bernapas, kebingungan, serta kehilangan kesadaran. Gejala akan semakin mengarah pada rabies, bila disertai perilaku abnormal, agresif, dan menarik diri dari lingkungan.
Penderita rabies, tampakmengeluarkan air liur dalam jumlah yangberlebihan.Juga disertai gejala “takut air” (hidrofobia). Apabila gejala penyakit rabies sudah timbul, prognosisnya hampir pasti buruk. Sering kali berakhir dengan kematian. Biasanya pengobatan tidak banyak membantu memperbaiki hasil akhir.
Waktu inkubasi yang bisa berlangsung lama (bervariasi antara beberapa minggu hingga beberapa bulan), semakin menyulitkan mengetahui waktu paparan dengan tepat.Interval waktu tersebut, merupakan proses patologi yang diperlukan virus, di sepanjang saraf tepimenuju SSP.
Mayoritas kematian akibat rabies, disebabkan minimnya akses menuju sumber daya kesehatan masyarakat dan pengobatan pencegahan. Karenanya, masalah penyakit ini tampak lebih dominan di negara berkembang, bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Data-data berikut ini, penting sebagai bahan pertimbangan pengelolaan rabies.
- Sebanyak 99 persen kasus rabies pada manusia, disebabkan oleh gigitan anjing yang mengalami infeksi.
- Sedikitnya 95 persen kematian akibat rabies, terjadi di negara-negara Afrika dan Asia.
- Lebih dari 80 persen kasus rabies, terjadi di pedesaan dengan akses yang terbatas atau minimnyakampanye edukasi kesehatan. Khususnya terhadap perawatan pasca gigitan hewan.
- Angka kematian pada anak,mencapai 40 persen jumlah kasus secara keseluruhan.
Aspek pencegahan
Pencegahan infeksi rabies pada manusia, bisa dilakukan melalui dua macam cara. Pertama,berupa tindakan preventif sebelum terjadinya paparan/GHPR.Itu misalnya dilakukan vaksinasi pada seseorang yang diprediksi berisiko terpapar rabies karena faktor pekerjaan. Contohnya pada seorang dokter hewan atau petugas pengendali binatang dan margasatwa. Bisa juga dilakukan pada orang-orang yang akan melakukan perjalanan wisata ke daerah epidemi.
Kedua. Ini merupakan tindakan pada sebagian besar kasus. Vaksinasi dapat dilakukan, setelah diduga terpapar virus rabies. Misalnya pada seseorang yang baru mengalami GHPR. Itu dilakukan tanpa harus menunggu hasil kepastian laboratorium atau observasi HPR. Tindakan pencegahan pasca GHPR, tidak diperlukan lagi bila HPR masih tetap hidup setelah 10-14 hari masa observasi. Tidak diperlukannya tindakan tersebut, juga berlaku bila pemeriksaan diagnostik laboratorium rabies dinyatakan negatif pada HPR.
Vaksin anti rabies seratus persen efektif, jika diberikan lebih awal. Terutama dalam waktu sepuluh hari pasca dugaan paparan rabies. Di negara-negara tertentu (misalnya Amerika Serikat), dalam periode waktu 14 hari setelah paparan, diindikasikan diberi satu dosis imunoglobulin. Imunoglobulin (serumanti rabies/SAR) manusia,berisi antibodi yang dapat menetralisasi virus. Tindakan tersebut disertai pemberian vaksin anti rabies sebanyak empat dosis.
Setelah terjadinya GHPR, perawatan harus dilakukan sesegera mungkin. Tujuannya untuk mengeliminasi dan menghilangkan aktivitas virus rabies pada luka jaringan. Pembersihan luka sedikitnya memerlukan waktu 15 menit, menggunakan air mengalir dan sabun atau detergen. Bila tidak tersedia sabun atau detergen, luka bisa disemprot dengan air bersih saja. Cairan antiseptik seperti povidone-iodine atau alkohol, juga direkomendasikan.
Strategi pemerintah yang efektif, penting untuk segera dilakukan dalam pengendalian rabies. Diperlukan kerja sama lintas sektoral, serta penguatan peran serta masyarakat/organisasi kemasyarakatan.
Tinggalkan Balasan