

Beberapa hari terakhir ini, di negara kita sedang santer pemberitaan terkait kontroversi penyebaran nyamuk yang sudah dimodifikasi. Nyamuk tersebut berasal dari spesies Aedes aegypti yang sudah dikenal luas sebagai vektor/pembawa virus dengue, penyebab penyakit demam berdarah dengue(DBD). Meski riset terdahulu yang pernah dilakukan di Yogyakarta, terbukti signifikan mampu menekan dampak DBD, tetapi konsep tersebut di Bali belum bisa diterima warga. Sosialisasi dan edukasi terhadap modalitas mitigasi DBD yang relatif baru tersebut, dipandang belum cukup dapat dipahami masyarakat setempat. Penolakan warga diwarnai dengan berbagai berita yang mungkin bersifat disinformasi atau hoax.
DBD masih merupakan masalah besar kesehatan di tanah air. Mitigasi terhadap penyakit tersebut, hingga kini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Belum ada pengobatan anti virus spesifik untuk DBD. Pencegahan paparan virus dengue dengan modalitas vaksinasi, masih dalam pengkajian. Salah satu kendala penerapannya, terkait pembiayaannya yang relatif mahal. Oleh karena itu, tulang punggung pencegahan adalah pengendalian vektor penyakitnya, yakni nyamuk Aedes aegypti.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, dalam beberapa dekade terakhir initerjadi lonjakan tajam kasus DBD di seluruh dunia. Selama dua dekade terakhir, jumlah kasusnya telah meningkat sebesar delapan kali lipat. Sebelum tahun 1970, hanya ada sembilan negara yang pernah mengalami wabah. Saat ini lebih dari seratus negara di dunia,sudah menjadi area endemis DBD. Diperkirakan terjadi fluktuasi antara 100 hingga 400 juta kasus setiap tahunnya. Asia mewakili sekitar 70 persen insiden DBD secara global. Setiap 12 menit terjadi satu kematian. Negara kita merupakan salah satu dari negara di dunia yang terkena dampak tertinggi akibat penyakit itu. “Secara rutin”, DBD menjadi momok musiman. Bahkan dikenal memiliki siklus lima tahunan yang memicu peningkatan morbiditas dan mortalitas. Sebagai contoh, antara tahun 2021 dan 2022, telah terjadi peningkatan kasus. Sebelumnya tercatat 108.303 kasus. Satu tahun sesudahnya, telah melonjak menjadi 143.266 kasus. Pola fluktuatif tersebut, sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan musim, serta status kekebalan kelompok (herdimmunity). Risiko penularannya banyak berkaitan dengan masalah urbanisasi, kepadatan penduduk, mobilitas warga, akses menuju sumber air yang terjangkau, dan tata kelola penyimpanan air. Pola epidemiologinya banyak tergantung pada tingkat pengetahuan, sikap, dan cara pandang masyarakat, terhadap penyakit yang berpotensi mengancam jiwa itu. Khususnya bila terpapar pada anak-anak.
Intervensi biologi terhadap vektor
Risiko paparan terhadap virus dengue, sangat berkaitan dengan adanya kesempatan nyamuk sebagai vektor,untuk berkembang biak di sekitar lingkungan hidup manusia. Selama berpuluh-puluh tahun, pemberantasan sarang nyamuk (PSN),menjadi andalan pencegahan DBD. Namun demikian, upaya tersebut sering kali mengalami kegagalan. PSN memerlukan kolaborasi yang intens antar warga dan institusi terkait, serta harus dilakukan secara berkesinambungan. Adanya “kelengahan” beberapa anggota masyarakat saja, dapat menggagalkan modalitas pencegahan yang sebenarnya cukup efektif itu. Penggunaan insektisida, tidak terlepas dari persoalan resistensi nyamuk, sehingga menjadi kebal terhadap insektisida. Pencemarannya terhadap lingkungan, juga menjadi kendala penting.
Mengikuti pesatnya perkembangan teknologi, saat ini mulai banyak dilakukan riset inovasi intervensi biologi terhadap keberadaan vektor. Ada beberapa teknik yang saat ini sedang dikembangkan. Rekayasa genetika merupakan contoh teknologi inovasi yang saat ini banyak diteliti para ahli. Khususnya terhadap Aedes aegypti, rekayasa genetika yang dilakukan melalui teknik sterilisasi serangga yang dikenal dengan Releaseofinsect Carrying Dominant Lethal (RIDL).Teknologi lainnya yang sedang dikembangkan adalah Genetically Modified Mosquito (GMM). Cara-cara ini akan menghasilkan gen letal pada induk nyamuk jantan. Nantinya akan berakibat kematian pada keturunannya. Beberapa peneliti juga mengembangkan nyamuk jantan yang mandul, melalui intervensi radiasi. Ada pula teknologi yang memanipulasi gen penyandi (Gen drives). Konsep itu dirancang untuk menonaktifkan “gen kesuburan”. Muaranya akan menghasilkan “alel sterilitas”, sehingga berdampak menekan populasi nyamuk.
Rekayasa genetika dilakukan melalui manipulasi gen, rekombinasi DNA, kloning, dan modifikasi gen. Teknologi tersebut, sejatinya sudah lama diterapkan pada industri pertanian. Contohnya pada teknik penyilangan antar spesies tanaman, guna memperolah bibit unggul. Hasilnya akan diperoleh varietas yang lebih produktif atau lebih tahan terhadap hama suatu penyakit. Fokus rekayasa genetika adalah pada tingkat molekuler sebuah sel.
Teknologi rekayasa genetika pada nyamuk,mungkin akan efektif bila diterapkan. Meski demikian, tidak sedikit yang menentangnya, karena terkait dengan persoalan etika. Perkembangan keilmuan, khususnya dalam bidang biologi dan kesehatan/kedokteran yang pesat, berisiko memantik masalah etik. Diperlukan suatu rumusan panduan dalam pengembangan dan penerapan sains, khususnya menyangkut etika ilmu pengetahuan dan etika riset. Dampak risiko ekologi negatif terhadap ekosistem,patut menjadi pertimbangan penting.
Intervensi biologi non rekayasa genetika
Teknologi intervensi biologi lainnya terhadap nyamuk Aedes aegypti, yakni dengan cara menyisipkan bakteri Wolbachia. Konsepnya tidak melalui perubahan genetik pada bakteri ataupun nyamuk tersebut. Telah bisa dipahami, bahwa hanya nyamuk Aedes betina yang menggigit manusia. Darah yang dihisapnya berfungsi untuk pematangan sel telur, guna perkembangbiakannya. Bersamaan dengan menghisap darah itulah, Aedes yang terinfeksi virus dengue, akan “memuntahkan” virus tersebut melalui air liurnya. Maka terjadilah penularan pada manusia.
Teknologi Aedes yang “bermuatan” Wolbachia, diawali dari telur-telurnya yang dilakukan “mikro injeksi” dengan bakteri Wolbachia. Telur yang akhirnya menetas, akan menjadi nyamuk dewasa yang juga mengandung bakteri tersebut. Bila nyamuk jantan hasil modifikasi non genetik itu kawin dengan nyamuk betina liar yang berada di sekitar lingkungan masyarakat, telurnya tidak akan bisa menetas. Sebaliknya bila nyamuk betina ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk jantan liar, telur dan keturunannya akan tetap mengandung bakteri tersebut. Dalam tubuh nyamuk, bakteri tersebut dapat menghambat replikasi virus dengue, Zika, dan Chikungunya. Hasilnya diharapkan tidak akan terjadi penularan virus-virus tersebut pada manusia.
Nyamuk yang bermuatan Wolbachia, dapat “diternakkan” secara masal di suatu laboratorium produksi. Nantinya, nyamuk-nyamuk tersebut akan disebarkan di daerah-daerah tertentu, terutama yang insiden DBD-nya tinggi.Wolbachia sejatinya merupakan bakteri yang hidup bersimbiosis pada berbagai serangga, serta tidak akan berbahaya/menimbulkan penyakit pada manusia ataupun hewan peliharaan.
Semoga mitigasi DBD di Indonesia dapat berjalan lancar dengan partisipasi penuh masyarakat.
——o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan