

Tahap demi tahap agenda Pemilihan Umum 14 Februari 2024 terus bergulir. Post-COVID-19 society, dipilih sebagai suatu topik kesehatan yang akan dibahas dalam perdebatan Capres-Cawapres.
Bagaimana mengelola dampak luar biasa akibat pandemi pada periode pasca pandemi COVID-19, menjadi visi penting calon pemimpin bangsa ini yang mestinya diketahui publik.
Tidak diragukan lagi, pandemi COVID-19 yang diawali pada akhir tahun 2020, mengakibatkan penderitaan bagi kehidupan manusia.
Banyak orang di seluruh dunia mengalami trauma, keterkejutan, kecemasan, dan ketakutan. Imbasnya memicu terjadinya isolasi sosial, kerentanan finansial, kekerasan, kejahatan, serta masalah sosial lainnya. Demikian pula dampak ikutannya terhadap masalah kesehatan, kesejahteraan, dan kualitas hidup masyarakat, bisa berlangsung dalam jangka panjang.
Saat pandemi, krisis kesehatan yang mengganggu kehidupan setiap manusia, segera berubah menjadi krisis kemanusiaan, ekonomi, dan sosial. Semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, mengalami tekanan dan tantangan berat. Meski demikian, ada sebagian kelompok masyarakat tertentu yang terkena dampak lebih berat. Mereka adalah warga yang “terpinggirkan” dan rentan (kemiskinan, lansia, penyandang disabilitas,).
Hal yang sama terjadi juga pada tuna wisma, orang-orang terlantar, dan warga yang tidak memiliki akses terhadap air bersih. Imbas gangguan sosial dan ekonomi yang sangat besar, memaksa terjadinya transformasi cepat pada masyarakat global.
Efek pandemi memicu ketimpangan dan kesenjangan sosial yang berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Utamanya terjadi pada negara-negara berpendapatan rendah atau negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kondisi perekonomian diperburuk oleh faktor kehilangan pekerjaan (terutama sektor informal), pemotongan gaji, berkurangnya kesempatan kerja yang terjadi selama periode pembatasan sosial. Kementerian Kesehatan memperkirakan, ada sekitar 24 juta tenaga kerja dari sektor informal di tanah air yang harus kehilangan pekerjaan.
Saat itu negara kita menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian beralih menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Pandemi COVID-19 juga mengungkapkan besarnya kesenjangan digital. Adanya PPKM, memaksa aktivitas publik dan kehidupan sosial, lebih banyak menggunakan internet. Itu dilakukan mulai dari membeli makanan/ keperluan sehari-hari, bekerja dari rumah, hingga sistem pembelajaran. Kegiatan belajar dan mengajar, beralih dari tata cara tradisional/tatap muka ke modalitas online/daring.
Namun demikian, efektivitas kegiatan tersebut bergantung pada ketersediaan infrastruktur, konektivitas internet, dan kompetensi/keterampilan menggunakan perangkat komputer. Kesulitan terutama tetap dialami oleh masyarakat pedesaan dalam mengakses fasilitas daring. Bagi pelajar, penutupan sekolah berakibat pada hilangnya kehidupan sosial antar kelompok sebaya. Sejumlah remaja dan anak-anak, terutama perempuan, berada dalam ancaman putus sekolah.
Fasilitas pelayanan kesehatan mengalami tekanan hebat saat pandemi berlangsung. Kesenjangan dalam mengakses pelayanan kesehatan, berimbas pada memburuknya kualitas kesehatan masyarakat. Hal itu terutama terjadi pada segmen masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi.
Saat pandemi berlangsung, hampir semua sumber daya bidang kesehatan yang kita miliki, difokuskan bagi mitigasi dampak pandemi. Akibatnya, pengelolaan kasus-kasus medis non- COVID-19 menjadi relatif terbengkalai. Itu terjadi mulai dari layanan pencegahan penyakit (misalnya program imunisasi nasional), pengelolaan penyakit kronis ( kanker, diabetes, hipertensi, kardiovaskuler, ginjal, gangguan sistem imun), hingga layanan darurat.
Problem kesehatan mental dan penyalahgunaan napza (narkotika, psikotropika, zat adiktif), juga menjadi terabaikan. Sebagai imbasnya, semua masalah kesehatan tersebut tampak mencuat pasca pandemi. Contohnya terjadi penurunan yang signifikan pada imunisasi rutin lengkap pada anak saat pandemi. Karena itu, sekitar 800 ribu anak di seluruh Indonesia menjadi berisiko terpapar difteri, tetanus, campak, rubela, dan polio.
Terhambatnya program pengendalian penyakit kronis (Prolanis), berdampak memicu pemburukan penyakit atau komplikasi yang efeknya dirasakan hingga kini.
Kerugian besar didapatkan pula pada penyandang kanker. Konsekuensinya probabilitas kesembuhan melalui operasi, kemoterapi, atau radiasi , menjadi tertekan akibat pandemi. Keterlambatan penanganan, memicu peningkatan stadium kanker yang berujung pada risiko kematian. Perubahan kesehatan mental terkait pandemi COVID-19, telah diteliti secara luas. Dampaknya bisa memantik risiko terjadinya depresi, kecemasan, insomnia, stres akut atau gangguan stres pasca trauma.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perilaku bunuh diri, adalah masalah kesehatan mental yang relatif lebih sering ditemui sebagai imbas pandemi. Salah satu penyebabnya adalah tekanan ekonomi. Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, pandemi menyebabkan 88 hingga 115 juta orang di seluruh dunia dalam kemiskinan ekstrem, pada tahun 2020.
Meski tidak seluruhnya terkait dampak pandemi, isu kesehatan mental menjadi banyak diperbincangkan di negara kita saat ini. Prevalensi gangguan kesehatan mental penduduk Indonesia terbilang memprihatinkan. Angkanya mencapai 20 persen. Setidaknya kondisi tersebut berimbas pada meningkatnya risiko kasus KDRT dan bunuh diri.
Data statistik Pusat Informasi Kriminal Nasional Kepolisian Republik Indonesia (Pusiknas Polri), menunjukkan angka bunuh diri di Indonesia meningkat signifikan. Kesimpulan itu diperoleh melalui rentang waktu tahun 2018 hingga 2023.
Membangun kembali masyarakat yang lebih baik
Sejarah menunjukkan, bahwa pandemi pada masa lampau dan krisis lainnya, dapat menjadi katalis untuk membangun kembali masyarakat dengan cara-cara baru. Namun hal itu memerlukan visi dan saling terhubungnya antar pembuat kebijakan di tingkat pusat, provinsi, ataupun daerah.
Kini hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia sedang berbenah di semua lini.
Pembangunan berkelanjutan sebagai tujuan global yang terhambat sebagai dampak pandemi, harus segera dipulihkan lagi. Poinnya mencakup pembangunan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan keuangan. Diharapkan pula mampu mewujudkan kesetaraan gender, memperkuat institusi sosial, dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Pandemi telah mengakibatkan pupusnya sebagian lapangan kerja (khususnya usaha dan industri skala kecil) dan hilangnya pendapatan warga, karena meninggalnya anggota keluarga yang mempunyai penghasilan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, program pembangunan, investasi ekonomi, dan kebijakan jaminan sosial pada era pasca pandemi, merupakan prioritas penting.
Semoga adu gagasan dalam debat Capres-Cawapres nantinya, dapat memaparkan pola penanggulangan dampak buruk akibat pandemi di berbagai sektor kehidupan bangsa ini.
—–o—–
*Penulis:
Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Penulis buku:
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan