

Merebaknya kasus pneumonia (radang paru) yang terjadi pada pertengahan Oktober tahun lalu di Tiongkok, sempat memicu kekhawatiran dunia. Wajar saja bila kecemasan itu terjadi. Masyarakat global masih trauma terhadap pandemi COVID-19 yang belum lama berlangsung.
Setiap munculnya kejadian luar biasa (KLB), kontan memicu kekhawatiran baru terhadap suatu patogen yang belum teridentifikasi. Saat itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) segera meresponsnya dengan cepat. Data patogen penyebab pneumonia harus segera diungkap. “Untungnya” bukan disebabkan oleh patogen anyar. Mycoplasmapneumonia (MP), Respiratorysyncytial virus (RSV), dan influenza, sebagai mikroba yang bertanggung jawab, sudah dipahami dengan baik tabiatnya. Dengan sendirinya pola mitigasinyapun, telah tertata dan teruji dengan baik.
Kejadian serupa seperti di Tiongkok itu, diprediksi masih akan terus berlangsung. Kekhawatiran terhadap munculnya penyakit “X” yang kini sedang ramai diperbincangkan, pada hakikatnya bentuk kewaspadaan terhadap substansi yang belum terjadi. Sifatnya baru tataran suatu hipotesis yang nantinya memerlukan pembuktian sahih. Terutama terhadap mikroba penyebabnya yang berpotensi memicu pandemi baru. Meski belum diketahui polanya, tetapi otoritas kesehatan di seluruh dunia harus selalu siap menanggapinya, bila sewaktu-waktu harus terjadi. Perencanaan dari A hingga Z menghadapi pandemi berikutnya, merupakan wujud kesiapsiagaan terhadap penyakit “X”.
Seperti juga makhluk hidup lainnya, mikroba secara alamiah akan senantiasa berupaya mempertahankan eksistensinya. Kemampuannya bermutasi bahkan mengalami evolusi, memantik suatu probabilitas “kelahiran” jenis mikroba baru. Setiap mikroba patogen yang sebelumnya belum dikenal oleh sistem imun manusia, berisiko memicu morbiditas dan mortalitas hingga pada level tertentu. Dampaknya tergantung pada derajat patologi yang ditimbulkannya. Karena itu diperlukan langkah-langkah tindakan antisipatif yang mampu beradaptasi dengan tepat. Khususnya terkait modalitas diagnosis, pengobatan, atau pencegahannya. Sistem dan fasilitas kesehatannya pun, harus bisa segera menanggapinya. Pada dasarnya pandemi COVID-19 yang lalu, telah memberikan pelajaranberharga perihal gagapnya merespons wabah di semua lini. Tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun seluruh dunia juga mengalaminya.
Belajar dari sejarah pandemi masa lalu
Pandemi COVID-19 bukan satu-satunya peristiwa tragis terhadap kemanusiaan yang diakibatkan suatu penyakit. Hingga kini telah tercatat lebih dari 772 juta orang yang terpapar COVID-19 dengan angka kematian global sedikitnya mencapai tujuh juta jiwa. Sebarannya telah melampaui 200 negara di seluruh dunia.
Dampak pandemi cacar (smallpox) jauh lebih miris. Meski WHO telah mendeklarasikan dunia telah bebas dari cacar pada tahun 1979, tetapi korbannya terlanjur melaju hingga mencapai sekitar 400 juta jiwa. Diperlukan waktu hingga 200 tahun lamanya untuk bisa melakukan eradikasi. Vaksinasi cacar telah terbukti sebagai tulang punggung pengendalian pandemi tersebut.
Pandemi flu Spanyol yang bersamaan peristiwanya dengan perang dunia pertama tahun 1918-1920, telah memakan korban nyawa hingga 50 juta.Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia yang waktu itu berjumlah 1,7 miliar jiwa telah terpapar. Herdimmunity (kekebalan kelompok) alamiah, akhirnya mampu “menyelamatkan” jatuhnya korban lebih banyak lagi. Saat itu belum ditemukan vaksin yang mampu menghadang keganasan virus influenza subtipe H1N1.
Faktor pemicu penyakit “X”
Banyak faktor yang patut diperhitungkan sebagai latar belakang munculnya mikroba patogen baru yang berpotensi memantik terjadinya wabah. Perubahan kondisi lingkungan hidup, merupakan faktor utama yang layak diantisipasi. Secara teori, problem pemanasan global dan polusi, dapat memengaruhi penularan penyakit melalui berbagai cara. Itu bisa menyangkut suatu patogen yang sifat penyebarannya mempunyai kecenderungan pada waktu atau musim-musim tertentu.
Persediaan air bersih yang tidak adekuat atau mencukupi, persoalan sanitasi yang buruk, masalah kelaparan dan kecukupan gizi, masih berpotensi melanda sebagian penduduk dunia. Distribusi dan kuantitas populasi vektor pembawa penyakit, juga sangat dipengaruhi perubahan iklim. Belum lagi dampak terjadinya banjir dan bencana lingkungan yang rutin terjadi. Tegasnya, kerusakan lingkungan dan problem deforestasi hutan, perlu mendapatkan penanganan serius dari seluruh pemangku kepentingan.
Kewaspadaan terhadap penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia), menjadi perhatian utama para ahli di seluruh dunia. Banyak satwa liar yang secara alami sebagai pembawa virus, menjadi lebih intens berinteraksi dengan kehidupan manusia. Kerusakan ekosistem berada di balik persoalan tersebut. Sebagai contoh, banyak penyakit infeksi menular yang diperantarai oleh kelelawar. SARS-CoV-2 sebagai penyebab COVID-19, pada awalnya disinyalir ditularkan melalui binatang nokturnal itu.
Ada virus-virus lainnya yang juga ditularkan oleh kelelawar dan tingkat bahayanya jauh melampaui COVID-19. Misalnya adalah virus Ebola, Marburg, MERS-CoV, dan Nipah. Ebola sudah beberapa kali mengancam dunia. Tahun 2014-2016 sempat memicu krisis kemanusiaan di Afrika Barat. Fatalitasnya sangat tinggi, dengan persentase kematian mencapai 50-90 persen dari kasus yang tertular. Sebagai perbandingan, angka mortalitas global COVID-19 “hanya” sebesar 3,4 persen. Karena itu WHO menempatkan Ebola dalam sekala prioritas mitigasinya. Pasalnya hingga kini belum ditemukan obat maupun vaksinasinya. Satwa liar lain yang berpotensi menebar virus, antara lain adalah tikus, monyet, unggas liar, mamalia laut ataupun satwa pengerat.
Kemajuan pesat teknologi di satu sisi, amat memudahkan kehidupan manusia. Tetapi sebaliknya bisa “mencelakakan”. Laju perkembangan dalam bidang biologi molekuler, penyuntingan gen, dan rekayasa genetika, bisa memicu peluang “terciptanya” mikroba baru. Temuan tersebut yang berasal dari laboratorium, dapat “diternakkan” untuk berbagai kepentingan.Salah satu kekhawatiran umat manusia, adalah dalam bentuk “kejahatan biologi”. Mikroba sintetis yang membawa efek mematikan, bisa disalahgunakan untuk kepentingan jahat. Misalnya dalam bentuk aksi teror, atau senjata biologi dalam suatu peperangan. Contohnya pada perang dunia pertama, Jerman menggunakan bakteri patogen untuk menginfeksi ternak dan kuda tentara sekutu. Bakteri tersebut adalah BacillusAnthracis dan Burkholderia Mallei. Meski kemungkinan terburuk seperti itu relatif “kecil”, tetapi masih ada risiko lain akibat “kecelakaan” laboratorium dengan “lepasnya” mikroba berbahaya.
Bakteri juga berpotensi memantik timbulnya pandemi. Saat ini dunia sedang dihadapkan pada berkembangnya bakteri yang kebal obat. Masalah itu dipicu penggunaan antibiotika yang serampangan dan irasional.
Antisipasi
Pengamatan yang sistematis dan berkesinambungan, merupakan tonggak utama deteksi dini penyebaran penyakit baru. Fasilitas riset yang memadai sebagai unsur penunjang penting, harus mampu segera mengidentifikasi patogen penyebabnya. Langkah ini sebagai pijakan selanjutnya untuk penanggulangan, dalam bentuk riset obat-obat baru yang efektif serta temuan vaksinnya. Ada pula protokol pencegahan non-farmakologis yang seyogianya berlaku secara global.
Masih banyak tantangan menghadapi risiko penyakit “X”. Kesiapsiagaan pendanaan, fasilitas medis, kerja sama internasional, dan gerakan anti-sains masih merupakan kendala yang layak diperhitungkan. Semoga dengan kewaspadaan internasional, penyakit “X” benar-benar hanya merupakan suatu hipotesis saja.
——o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan