

Tidak mudah untuk mewujudkan janji kampanye presiden-wakil presiden terpilih. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Makan bergizi gratis (MBG), menjadi program unggulan yang paling banyak menjadi sorotan publik. Pasalnya mayoritas ketersediaan susu sapi yang menjadi tulang punggung MBG, masih harus diimpor. Persoalan itulah yang kemudian memunculkan berbagai macam inovasi, dalam rangka memenuhi kebutuhan susu. “Susu ikan” merupakan salah satu alternatif “pengganti” susu sapi yang saat ini sedang diupayakan.
Disebut alternatif pengganti, karena nilai gizinya tidak terpaut jauh dengan susu sapi yang sebenarnya. Jangan dibayangkan “susu ikan” sebagai produk ikan yang menghasilkan susu, seperti halnya sapi. Dikatakan sebagai susu, karena produk olahan ikan itu menyerupai susu. Baunya yang khas agak amis, merupakan pembeda yang nyata dengan susu sapi. Mungkin dengan proses pengolahan dan penambahan aditif makanan tertentu, bau tak nyaman tersebut bisa dieliminasi.
Ikan yang “dimanfaatkan” sebagai susu pun hanya dari jenis tertentu saja. Peperek (Leiognathidae) dan selar (Selaroidesleptolepis), merupakan dua jenis ikan yang berpotensi “dijadikan susu”. Keduanya kurang memiliki nilai ekonomi.Karena itulah bukan merupakan target tangkapan yang ideal bagi nelayan. Umumnya ikan-ikan tersebut tertangkap secara tidak sengaja oleh jaring nelayan.Bahkan setelah terjaring, tidak jarang akan dibuang kembali ke laut. Selain berukuran kecil (maksimal 15 cm), tubuhnya dilengkapi sirip, sisik, dan duri yang relatif banyak dan keras. Dagingnya yang bisa dikonsumsi, bisa dibilang amat sedikit. Itu sebanding dengan ukuran tubuhnya yang kecil pula. Biasanya hanya dijadikan konsumsi lokal oleh nelayan. Bila akan diperdagangkan, umumnya harus dikeringkan atau diasinkan. Bisa juga dijadikan pakan ternak, khususnya bebek. Dalam sekala yang lebih besar, akan dibekukan kemudian diolah menjadi tepung ikan.
Di perairan Indonesia, kedua jenis ikan tadi bisa didapatkan dalam jumlah yang cukup melimpah. Ikan-ikan itu biasanya berenang dalam gerombolan yang besar pada kedalaman kurang dari 50 m.Populasinya sangat mudah ditemui di area yang tidak jauh dari pantai. Aktivitas ikan selar kuning, terutama pada malam hari (nokturnal) dengan makanan utamanya fitoplankton. Kadang siput, remis, dan kerang-kerangan, menjadi santapannya pula.
Proses produksi
Protein ikan dikenal memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, dengan perbandingan komponen nutrisi yang ideal. Untuk meningkatkan sifat fungsional dan nutrisi proteinnya, dikembangkan melalui teknologi protein hidrolisat. Prosesnya melalui mekanisme kimiawi atau enzimatik. Tujuannya menjadikan molekul-molekul protein yang tadinya berukuran besar, menjadi bentuk molekul peptida yang lebih kecil. Selain efisien diserap pencernaan, protein hidrolisat menjadi formula yang hipoalegenik. Manfaatnya bisa memiliki nilai lebih, terutama pada anak-anak yang memiliki bakat alergi (atopi).
Waspada bahaya mikroplastik
Pada tahun 2022, Indonesia menghasilkan sekitar 68,5 juta ton sampah. Sebanyak 18,5 persennya berupa sampah plastik. Dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia, negara kita menduduki peringkat kelima sebagai negara penghasil sampah terbesar. Data itu mengacu pada Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Kerumitan tersebut, masih harus bertambah lagi dengan persoalan impor sampah plastik. Pada tahun yang sama, sebanyak 194 ribu ton sampah plastik dari mancanegara, memasuki bumi Indonesia. Negara kita termasuk salah satu pengimpor sampah plastik terbesar di dunia. Realitas itu sungguh-sungguh merupakan bahaya nyata bagi kelestarian ekologi dan kesehatan masyarakat Indonesia !
Sebenarnya negara kita telah menerbitkan beberapa regulasi. Antara lain adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Regulasi tersebut diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012, tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Di sisi lain PP Nomor 27 Tahun 2020, mengatur tentang pengelolaan sampah spesifik. Semua regulasi tersebut bertujuan menetapkan target nasional pengurangan sampah sebanyak 30 persen pada tahun 2025. Harapannya pada akhir tahun 2029, dapat menghentikan secara bertahap beberapa jenis plastik sekali pakai.
Pada dasarnya plastik dirancang untuk memudahkan kehidupan manusia. Tetapi di sisi lain telah menjadi bahaya nyata bagi kelestarian lingkungan dan makhluk hidup di bumi. Secara ekonomi, rendahnya biaya produksi plastik tidak pararel dengan tingginya biaya daur ulang atau pembuangan limbahnya. Hingga kini hanya ada tiga cara pengelolaan limbah plastik. Pertama, dimusnahkan dengan proses insinerasi yang bisa menghasilkan energi listrik atau panas. Tetapi biaya ekonominya tinggi, serta berpotensi meningkatkan polusi udara. Kedua, melalui proses daur ulang. Ketiga, membuangnya langsung ke tempat sampah. Diperkirakan sebanyak 80 persen volume sampah dunia, didapatkan melalui skenario yang ketiga itu.
Bahan plastik merupakan bagian terbesar (60-80 persen) sampah yang ada di laut. Sebanyak 90 persen sampah yang mengapung di lautan, mengandung material plastik. Akibatnya mayoritas fauna dan biota laut, telah terpapar dan terkena dampak toksiknya.
Dengan teknologi terkini, sampah plastik belum dapat diurai sepenuhnya. Secara alamiah senyawa dan struktur yang menyusun plastik tidak dapat terurai oleh mikroorganisme, karena tidak memiliki enzimnya. Plastik hanya bisa terdegradasi menghasilkan partikel mikroplastik (MP) yang tidak kasat mata. Ukurannya lebih kecil dari lima mm. Selanjutnya MP bisa mengalami degradasi menjadi partikel yang lebih kecil lagi, disebut dengan nanoplastik (NP). Paparan radiasi ultraviolet matahari, dapat mempercepat terbentuknya MP dan NP (fotodegradasi). Pemanasan global yang terjadi saat ini, menjadi katalis meningkatnya risiko paparan polutan plastik di air maupun udara pada makhluk hidup. Di lautan, partikel mikro itu menyerupai plankton, sehingga menjadi santapan fauna akuatik. Manusia sebagai puncak rantai makanan, pada gilirannya semakin banyak terpapar oleh akumulasi polutan tersebut.
Riset tentang efek toksik MP dan NP bagi kesehatan manusia, kini sedang banyak diteliti para ahli. Disinyalir berdampak buruk pada berbagai faal organ manusia. Antara lain berisiko tinggi sebagai karsinogen (pemicu kanker) dan peradangan saluran cerna. Organ/faal tubuh lainnya yang bisa terganggu, antara lain pada sistem endokrin/hormon, fungsi imunitas, sistem reproduksi, hingga penyakit kardiovaskuler, serta dapat mempercepat degenerasi sel-sel susunan saraf pusat. Senyampang susu ikan belum resmi dimanfaatkan sebagai MBG, sebaiknya perlu dikaji ulang. Dampak negatif MP dan NP dalam produk tersebut, patut dipertimbangkan masak-masak. Dengan teknologi produksi makanan/minuman terkini, proses filtrasi MP dan khususnya NP, tidak dapat menjamin seratus persen efektif. Demikian pula teknologi protein hidrolisat dalam produksi “susu ikan”, berpotensi menambah beban biaya produksi yang tidak sedikit.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di :Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan