

Dunia saat ini sedang “tidak baik-baik saja”. Banyak pakar bidang militer dan pertahanan yang memperingatkan potensi pecahnya perang dunia (PD) ketiga. Penyebabnya tak lain sikap keras kepala Israel yang mengabaikan seruan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mengakhiri pertempuran. Dukungan Amerika Serikat (AS) terhadap sekutunya di Timur Tengah itulah yang semakin menjauhkan dari kata damai. Keberhasilan masyarakat global melawan pandemi COVID-19, kini terancam eskalasi pertempuran di Timur Tengah. Dampak buruknya bisa memantik risiko lainnya yang mungkin lebih kompleks. Negara-negara agresor seakan lupa tentang sejarah kelam pandemi flu Spanyol. Situasi mencekam menghadapi pandemi flu saat itu, dipicu oleh PD pertama. Peperangan selama empat tahun (1914-1918), merenggut sekitar sembilan hingga 15 juta jiwa dari pihak-pihak yang bertikai. Tetapi jumlah itu tidak sepadan dengan jatuhnya korban akibat pandemi flu Spanyol yang waktunya bersamaan dengan PD pertama. Hanya dalam tempo satu tahun saja (1918-1919), virus Influenza H1N1 telah menginfeksi sekitar 500 juta penduduk dunia. Jumlah tersebut identik dengan 33 persen populasi global saat itu. Virus penyebab pandemi, ternyata lebih mematikan ketimbang senjata. Total korban tewas akibat pandemi, diperkirakan tembus hingga 50 juta orang.
Sejatinya penyebutan flu Spanyol kurang tepat. Justru inisiasi merebaknya kasus influenza H1N1, berasal dari kamp-kamp militer AS. Hanya dalam waktu beberapa minggu saja, ribuan tentara telah terpapar virus ganas tersebut. Akhirnya sebagian di antaranya tewas sebelum bertempur. “Anehnya” pemerintah AS saat itu, tidak meresponsnya secara tepat. Sebaliknya malah ditutup-tutupi. Penguasa merasa takut, pasalnya keterbukaan dikhawatirkan dapat menyurutkan mental pasukannya. Masifnya persebaran virus maut itu ke seantero dunia, mengikuti alur mobilitas pasukan yang bertempur.
Sebaliknya media massa Spanyol kala itu, bersikap lebih jujur dan terbuka. Mereka aktif mewartakan peristiwa “tersembunyi” tersebut. Hampir tidak ada kantor berita negara lainnya yang mengeksposnya. Fokusnya hanya pada peristiwa perang. Karena itu para jurnalis Spanyol dinilai telah berkontribusi besar dalam mengungkap fakta yang sebenarnya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Sebutan flu Spanyol sudah terlanjur disematkan sebagai pengganti nama flu AS.
Contoh peristiwa wabah berikutnya, terjadi di kawasan Afrika. Liberia, Guinea, dan Sierra Leone, mengalami wabah virus Ebola pada tahun 2013-214. Dalam waktu singkat puluhan ribu rakyatnya terpapar virus mematikan. Angka mortalitasnya mencapai 90 persen. Tidak ada respons yang memadai terhadap krisis kesehatan yang terjadi, dari masing-masing pemerintah ketiga negara. Persoalan stabilitas politik dalam negeri dan konflik bersenjata masyarakat sipil, menjadi biang masalahnya.
Wabah Mpox (cacar monyet) yang kini sedang berlangsung, harusnya menjadi pelajaran berharga berikutnya. Sasaran wilayahnya di seputar Afrika. Khususnya Afrika Tengah dan Timur. Republik Demokratik Kongo (RDK), merupakan “episentrumnya”. Buruknya stabilitas politik negara padat penduduk itu, memicu perebutan kekuasaan dan perang saudara yang tidak berkesudahan. Negara-negara sekitarnya yang juga terkena dampak wabah, memiliki permasalahan serupa dengan RDK.
Setelah selama puluhan tahun “menghilang”, kini penyakit polio mulai bangkit kembali. Gaza-Palestina menjadi “episentrumnya”. Imbas perang, wilayah tersebut terdeteksi sebagai tempat berkembang biaknya virus polio. Sanitasi yang buruk menjadi biang masalahnya. Jeda pertempuran yang hanya beberapa hari, memberi kesempatan melakukan vaksinasi polio pada sedikitnya 600 ribu anak. Harapannya dapat menekan persebaran polio secara global.
Ancaman pandemi
Ibarat gempa bumi, pandemi memiliki suatu “siklus”. Meski akan terjadi, tetapi sulit diprediksi kapan waktunya. Belum lama ini para pakar kesehatan mengadakan simulasi, tentang kemungkinan terjadinya pandemi berikutnya setelah COVID-19. Itu sebagai wujud kesiapsiagaan menghadapi wabah. Pandemi penyakit “X”, disebut sebagai salah satu hipotesis penyebabnya. Potensi wabah selalu dihasilkan dari interaksi tiga faktor. Gangguan keseimbangan antara inang/manusia yang rentan, mikroba patogen, dan faktor lingkungan, berpotensi memantik penyakit baru.
Perubahan kondisi lingkungan hidup, merupakan faktor utama yang layak diantisipasi. Secara teori, problem pemanasan global dan polusi yang kini terjadi, dapat memengaruhi penularan penyakit melalui berbagai cara. Ledakan bom dan senjata dalam peperangan, menambah beban polusi udara. Persediaan air bersih yang tidak adekuat, buruknya sanitasi, masalah kelaparan dan kecukupan gizi, berpotensi melanda sebagian penduduk dunia. Kini realitas itu bisa kita saksikan di wilayah yang sedang dilanda peperangan. Situasi buruk semakin diperparah dengan hancurnya infrastruktur kesehatan. Stres fisik dan psikis yang melanda tentara ataupun rakyat, sangat menekan daya imunitas. Akibatnya bisa semakin memantik risiko fatalitas.
Semoga semua pihak dapat mengambil pelajaran berharga dari sejarah kelam.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di :Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku: – Serial Kajian COVID-19 (tiga seri), Serba-serbi Obrolan Medis dan Catatan Harian Seorang Dokter.
Tinggalkan Balasan