

Seorang orientalis bernama Philip K. Hitti, dalam karya-karyanya seperti History of the Arabs, sering membahas perbandingan antara peradaban Islam dan peradaban Barat, terutama pada masa kejayaan Islam. Ketika peradaban Islam berada pada puncak kemajuan, seperti pada era Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, dunia Barat, yang berpusat di kota-kota seperti London, berada dalam masa yang disebut Dark Ages atau Abad Kegelapan.
Pada masa kejayaan Abbasiyah (abad ke-8 hingga ke-13), Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Institusi seperti Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) menjadi tempat berkumpulnya ilmuwan dari berbagai latar belakang untuk menerjemahkan, menulis, dan mengembangkan ilmu dari Yunani, Persia, dan India.
Ilmuwan seperti Al-Khwarizmi, Ibn Sina (Avicenna), dan Al-Razi (Rhazes) menghasilkan karya besar yang memengaruhi ilmu pengetahuan dunia hingga hari ini.
Islam mendorong pencarian ilmu pengetahuan sebagai bagian dari ibadah (iqra’ dalam Al-Qur’an). Sistem ekonomi dan politik yang stabil, serta dukungan kekhalifahan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Interaksi lintas budaya melalui perdagangan dan ekspansi wilayah, yang mempertemukan Islam dengan tradisi intelektual lain.
Sementara itu, London dan sebagian besar Eropa berada dalam masa Abad Kegelapan. Kekurangan pendidikan, kemunduran ekonomi, dan konflik internal menjadi ciri khas peradaban Barat saat itu.Ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani banyak yang dilupakan, hingga kemudian diperkenalkan kembali melalui peradaban Islam pada abad ke-12-13 melalui penerjemahan teks-teks Arab ke Latin.
Peradaban Islam yang unggul pada masa Bani Abbasiyah mengalami kehancuran akibat kombinasi dari berbagai faktor internal dan eksternal. Pertama karena banyak pemimpin Abbasiyah yang terlibat dalam korupsi dan kehidupan mewah yang mengabaikan kesejahteraan rakyat. Para pemimpin dan elit sering kali lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan negara dan umat Islam.
Selain itu juga karena kekhalifahan Abbasiyah mulai kehilangan kendali atas wilayah-wilayah yang jauh, seperti Spanyol, yang membentuk Kekhalifahan tersendiri di Cordoba dan Mesir (yang kemudian dikuasai oleh Dinasti Fatimiyah).
Puncak kehancuran Bani Abbasiyah terjadi ketika Hulagu Khan, pemimpin Mongol, menyerbu Baghdad. Kota ini dihancurkan, ribuan ulama dan penduduk dibunuh, serta perpustakaan Baitul Hikmah yang menyimpan jutaan manuskrip ilmu pengetahuan dibakar. Dengan kehancuran Baghdad, dunia Islam kehilangan pusat intelektual, politik, dan ekonomi utamanya.
Masa kejayaan Abbasiyah runtuh karena kombinasi antara kelemahan internal, seperti korupsi dan disintegrasi politik, serta ancaman eksternal, seperti invasi Mongol dan Perang Salib. Untuk mencegah kehancuran serupa, umat Islam harus belajar dari sejarah dengan menjaga moralitas, persatuan, dan komitmen terhadap ilmu pengetahuan serta keadilan sosial. Tanpa itu, kejayaan hanya akan menjadi kenangan.
Indonesia berpeluang menjadi kiblat peradaban Islam jilid II
Prof. Fazlur Rahman, seorang intelektual Muslim terkemuka yang banyak memengaruhi pemikiran modern Islam, memang pernah memberikan perhatian besar pada Indonesia. Ketika ia mengunjungi Indonesia pada tahun 1984, ia mengamati secara mendalam kondisi umat Islam dan potensi negara ini. Setelah dua bulan berkeliling, ia menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kiblat Peradaban Islam Jilid II. Pernyataan tersebut didasarkan pada beberapa hal berikut:
Pertama, Indonesia dikenal sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, namun tetap mampu menjaga keharmonisan di tengah keberagaman agama, budaya, dan suku. Fazlur Rahman melihat ini sebagai modal besar untuk menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dalam sejarah peradaban Islam, keberagaman yang harmonis menjadi salah satu kunci sukses masa keemasan, seperti pada era Abbasiyah.
Kedua, Dengan populasi Muslim terbesar, Indonesia memiliki jumlah generasi muda yang melimpah. Bagi Fazlur Rahman, ini adalah peluang emas jika generasi muda diarahkan untuk:
- Menjadi agen perubahan sosial yang membawa kebaikan dan kemajuan.
- Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, Fazlur Rahman melihat bahwa Islam di Indonesia memiliki karakter moderat yang ditunjukkan melalui pendekatan Islam yang inklusif, toleran, dan kontekstual. Karakter ini cocok untuk menjawab tantangan dunia modern, yang membutuhkan wajah Islam yang damai, progresif, dan berorientasi pada keadilan sosial.
Keempat, Indonesia memiliki tradisi intelektual Islam yang terus berkembang. Fazlur Rahman terkesan dengan keberadaan intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid dan Amin Rais yang mempromosikan pemikiran Islam modern. Beliau juga melihat bahwa tradisi ini dapat menjadi fondasi untuk membangun peradaban Islam yang unggul.
Kelima, Indonesia tidak hanya kaya akan sumber daya alam, tetapi juga memiliki potensi sumber daya manusia yang besar. Jika kekayaan ini dikelola dengan nilai-nilai Islam yang adil dan amanah, Indonesia dapat menjadi pusat ekonomi Islam dunia.
Meski melihat potensi besar, Fazlur Rahman juga menyadari tantangan yang harus diatasi oleh umat Islam Indonesia untuk mewujudkan visi tersebut:
- Pendidikan: Meningkatkan kualitas pendidikan, baik agama maupun umum, agar dapat bersaing di tingkat global.
- Korupsi: Mengatasi budaya korupsi yang merusak kepercayaan masyarakat.
- Kesadaran Kolektif: Membangun kesadaran umat untuk bersama-sama membangun peradaban.
- Inovasi dalam Pemikiran Islam: Mengembangkan pemikiran Islam yang relevan dengan zaman, tanpa meninggalkan esensi ajarannya.
Pandangan Fazlur Rahman memberikan dorongan besar bagi umat Islam di Indonesia untuk menyadari potensi mereka dalam membangun peradaban Islam jilid II. Dengan memanfaatkan kekayaan demografi, budaya, dan intelektual, serta mengatasi tantangan yang ada, Indonesia dapat menjadi model peradaban Islam modern yang menginspirasi dunia. Namun, semua ini memerlukan komitmen kolektif dan kerja keras dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari individu hingga pemerintah. Jika umat Islam Indonesia mampu menyatukan iman, ilmu, dan amal, kejayaan peradaban Islam bukanlah impian semata.
—000—
*Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim
Tinggalkan Balasan