
Surabaya (Trigger.id) – Petisi daring yang menolak rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen telah menarik perhatian luas dari masyarakat Indonesia. Inisiatif ini, yang diinisiasi oleh kelompok “Bareng Warga” melalui platform Change.org, mencerminkan kekhawatiran publik terhadap dampak negatif kebijakan tersebut terhadap perekonomian rakyat kecil. Petisi itu dimulai sejak 19 November 2024.
Pukul 10.00 WIB petisi ini sudah ditandatangani 95.284 orang. Petisi ini mempetisi Presiden Republik Indonesia. Jumlah ini terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap kenaikan PPN.
Para penandatangan petisi berpendapat bahwa kenaikan PPN akan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di lapisan ekonomi bawah. Mereka khawatir bahwa peningkatan pajak ini akan menyebabkan penurunan daya beli dan meningkatkan beban hidup sehari-hari.
Menanggapi aspirasi ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan bahwa pihaknya terbuka terhadap masukan dari masyarakat. DJP menekankan bahwa kebijakan perpajakan selalu mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan pendapatan negara dan kondisi ekonomi masyarakat.
Sementara itu, praktisi sekaligus pengamat pajak Yustinus Prastowo menyatakan bahwa petisi semacam ini merupakan bentuk aspirasi yang sah dan wajar dalam demokrasi. Namun, ia juga mengingatkan bahwa perubahan kebijakan memerlukan proses yang komprehensif dan mempertimbangkan berbagai aspek.
Dengan semakin banyaknya dukungan terhadap petisi ini, diharapkan pemerintah akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN dan mencari solusi yang lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Dwi Astuti menjelaskan, kebijakan penyesuaian tarif PPN ini tidak semata-mata soal kenaikan, melainkan harus dilihat dari dua hal.
Pertama, tidak semua barang dan jasa dikenakan PPN. Barang kebutuhan pokok seperti beras, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran serta jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, dibebaskan dari pengenaan PPN.
“Artinya kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (26/11).
Kedua, kata Dwi, dana yang diperoleh dari kebijakan ini akan dikembalikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan dan bantuan sosial, mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk.
Adapun pada 2023, pemerintah telah mengalokasikan Rp 269,59 triliun untuk bantuan sosial dan subsidi tersebut.
Terkait kemungkinan tetap diberlakukannya kenaikan tarif PPN pada 2025, DJP menegaskan akan menjalankan tugasnya sesuai mandat undang-undang.
“DJP akan melaksanakan sebaik-baiknya apa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan melakukan sosialisasi dan edukasi perpajakan kepada masyarakat terkait kebijakan kenaikan PPN sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UU HPP,” kata Dwi. (ian)
Tinggalkan Balasan