

Pernahkah anda mendengar istilah HbA1C? Terutama bagi penyandang diabetes, HbA1C bermakna sebagai indikator kesehatan mereka. Secara umum HbA1C menggambarkan “keberhasilan metabolik” seseorang, selama berpuasa Ramadan. Meski tidak terlalu signifikan, penurunan level HbA1C pasca Ramadan, bermanfaat penting bagi kesehatan. Lantas, apakah hubungannya dengan “yoyo” ? Mainan legendaris itu menggambarkan filosofi turunnya kadar HbA1C selama berpuasa Ramadan. Tetapi patut diwaspadai, hindari kenaikan lagi pasca lebaran. Mengapa demikian? Adakah hikmah medis puasa Syawal?
Hemoglobin A1C (HbA1C)
Aliran darah tubuh manusia, ibarat air yang mengalir dalam suatu pipa. Kecepatan dan kelancarannya, tergantung pada berbagai faktor. Selain kelenturan dan diameter pembuluh darah, dipengaruhi pula oleh substansi yang terlarut. Ada tiga jenis sel-sel darah yang bersirkulasi. Sel darah merah (eritrosit) menempati proporsi terbanyak. Berikutnya adalah sel darah putih (lekosit) dan sel darah pembekuan (trombosit).
Eritrosit bertugas memasok oksigen dari paru ke jaringan. Ukuran selnya relatif lebih besar dibanding kapiler (pembuluh darah terkecil dan terujung). Tetapi karena elastisitasnya, eritrosit mampu “menerobos rintangan sempit” itu. Untuk aktivitasnya, eritrosit membutuhkan glukosa. Secara kimiawi, hemoglobin (Hb) yang menyusun struktur eritrosit mudah mengikat glukosa. Interaksi kimiawinya disebut dengan glycohemoglobin (HbA1C) yang keberadaannya bisa diukur secara kuantitatif. Bila suplai glukosanya berlebihan, justru membuat eritrosit menjadi “kaku”/“sakit”. Akibatnya, kapasitas melewati mikrosirkulasi kapiler menjadi terganggu. Umurnya pun menjadi lebih pendek, sehingga memicu timbulnya anemia. Tambahan pula, gampang terjadi pelekatan sesama eritrosit, atau menempel pada dinding pembuluh darah. Gambarannya mirip bentukan kerak atau gumpalan. Semakin tinggi level HbA1C, semakin tinggi pula risiko komplikasi sumbatan kardiovaskuler yang berpotensi terjadi. Gejalanya bervariasi. Mulai dari stroke, penyakit jantung koroner, penyakit ginjal diabetes, borok yang sulit sembuh, hingga terjadinya gangguan penglihatan. Sistim imunitasnya pun, bisa tertekan karenanya.
Kadar HbA1C bisa dijadikan indikator diagnosis diabetes, sekaligus pemantauannya. Dikatakan normal/non diabetes, bila kadarnya di bawah 5,7 persen. Kisaran 5,7 hingga 6,4 persen, dikategorikan sebagai pre-diabetes. Disebut diabetes bila level HbA1C lebih dari 6,5 persen.
Puasa Ramadan
Pada hakikatnya puasa Ramadan memberikan kesempatan “mesin-mesin” sel (baca: organela) tubuh untuk beristirahat. Jika tidak berpuasa, tanpa henti organela tersebut harus selalu membersihkan “sampah metabolik”. Akumulasi “sampah metabolik” dan zat-zat toksik yang berasal dari lingkungan hidup manusia (misalnya polutan), mesti didetoksifikasi. Karena itulah organela sel yang “lelah”, “tua”, tidak sehat, ataupun rusak, harus didaur ulang. Regenerasi atau membangun kembali sel-sel yang fungsional, dapat dipacu melalui proses autofagi. Mekanisme autofagi bisa dianalogikan sebagai proses kanibal yang dilakukan oleh sel secara mandiri. Puasa Ramadan atau puasa intermiten, pada hakikatnya merupakan metode terbaik mempertahankan homeostasis melalui autofagi.
Berat badan
Jika seseorang menjalankan puasa Ramadan dengan benar, umumnya terjadi penurunan berat badan sekitar 3-4 kg. Restriksi asupan kalori, dapat digantikan melalui pembakaran cadangan lemak. Dengan sendirinya jaringan lemak putih/visceral (sekitar area perut), akan berkurang. Terutama individu dengan kelebihan berat badan/obesitas, lemak visceral merupakan “bom waktu”. Komponennya mengandung banyak substansi pemicu peradangan. Mempertahankan berat badan ideal, bermanfaat menekan inflamasi kronik sebagai pemantik penyakit kardiovaskuler.
Idul Fitri adalah hari kemenangan. Layak untuk dirayakan, meski tidak harus berpesta makan berlebihan. Umat Islam disunahkan menjalankan puasa Syawal selama enam hari, pasca lebaran. Bisa dilakukan secara berurutan, atau secara intermiten (disertai jeda waktu). Hikmahnya agar berat badan tidak melonjak, bagaikan “yoyo” yang sedang naik lagi. Puasa mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan pikiran.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan