

Padang Arafah bukanlah sekadar hamparan pasir yang tandus. Ia adalah panggung suci tempat jutaan hati berhimpun dalam satu cita: kembali kepada Allah SWT. Hari ini (05/06/2025) jutaan manusia berkumpul di tempat bersejarah tersebut.
Hari wukuf adalah hari agung, ketika manusia melepaskan ego, status, dan warna kulit untuk menyatu dalam balutan ihram putih yang seragam, menghadap langit dan menggantungkan segala harap hanya kepada Rabb semesta alam.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lainnya, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Al-hajju Arafah” — “Haji itu adalah Arafah.” Satu kalimat singkat namun sarat makna. Tanpa wukuf di Arafah, ibadah haji menjadi tak sah. Inilah momen inti, titik balik ruhani yang paling menentukan dalam perjalanan menuju Allah.
Pandangan Ulama Salafus Shalih
Para ulama salafus shalih sangat mengagungkan hari Arafah. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Zad al-Ma’ad, “Hari Arafah adalah hari pengampunan dosa-dosa, hari dibebaskannya manusia dari api neraka, dan hari doa yang tidak ditolak.” Ia bahkan menyebut bahwa hari ini lebih mulia daripada hari-hari sepuluh terakhir Ramadhan, karena berkumpulnya unsur puncak dari amal ibadah: tauhid, doa, pengakuan dosa, dan harap pada ampunan.
Imam al-Ghazali menggambarkan wukuf di Arafah sebagai miniatur mahsyar, tempat manusia kelak dikumpulkan pada hari kiamat. “Lihatlah, bagaimana manusia berdiri di tengah padang tandus, dengan tubuh lelah, mata berkaca, dan hati penuh penyesalan—itulah gambaran akhir hidup manusia sebelum diputuskan nasibnya oleh Allah,” tulisnya dalam Ihya Ulumuddin.
Hasan al-Bashri, seorang tabi’in terkemuka, berkata: “Seandainya engkau melihat Arafah, engkau akan melihat manusia menangis seperti anak kecil kehilangan ibunya, karena mereka tahu bahwa hari itu adalah peluang emas yang tak selalu datang.”
Khutbah Rasulullah di Arafah: Salam Perpisahan dari Sang Nabi
Di Arafah pula, pada tahun kesepuluh Hijriyah, Rasulullah Muhammad SAW berdiri di hadapan lebih dari seratus ribu sahabat dan menyampaikan Khutbah Arafah, yang dikenal sebagai khutbah wada’ (khutbah perpisahan). Ia naik di atas unta Qashwa, dengan air mata membasahi pipinya, lalu berseru dengan suara berat namun penuh kasih:
“Wahai manusia, dengarkanlah baik-baik ucapanku. Aku tidak tahu, barangkali aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian setelah tahun ini, di tempat ini.”
Ucapan itu mengguncang hati para sahabat. Mereka menangis tersedu, menyadari bahwa inilah kali terakhir Nabi mereka berbicara dalam sebuah majelis haji. Rasulullah kemudian menyampaikan pesan-pesan agung: tentang kesetaraan manusia, larangan menumpahkan darah dan mengambil harta tanpa hak, pentingnya menjaga amanah wanita, serta penegasan bahwa Islam telah sempurna:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Kuridai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Seketika Umar bin Khattab RA menangis haru, sebab ia merasa bahwa ayat ini bukan hanya penegasan kesempurnaan agama, tetapi juga isyarat bahwa tugas Nabi SAW telah usai. Dan memang benar, setelah haji itu, tak lama kemudian Rasulullah SAW wafat meninggalkan umatnya dengan warisan ajaran yang sempurna.
Penutup: Arafah, Cermin Kehidupan dan Kematian
Hari wukuf adalah hari bercermin. Setiap insan memandangi dirinya sendiri dalam debu dan peluh. Di sanalah mereka sadar: manusia hanyalah hamba yang sangat bergantung pada kasih-Nya. Tak heran jika langit Arafah menjadi saksi bagi air mata yang mengalir tanpa henti, bagi doa yang menembus langit, dan bagi janji-janji baru untuk menjadi insan yang lebih bertakwa.
Di Arafah, seluruh dunia menjadi satu. Tak ada jarak antara raja dan rakyat, antara kaya dan miskin. Yang ada hanyalah pengakuan akan kelemahan, dan harapan akan ampunan.
Arafah bukan hanya tempat, tetapi juga pelajaran. Bahwa hidup ini sesungguhnya hanya perjalanan kembali ke titik asal—Allah SWT. Dan setiap wukuf yang sungguh-sungguh adalah sebuah langkah menuju kemenangan abadi di sisi-Nya.
—000—
*Wartawan senior, tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan