

Di era serba digital, kita—terutama generasi muda—tumbuh besar dengan satu jari menelusuri layar. Dunia ada dalam genggaman, dan informasi tersedia tanpa batas. Namun, di balik limpahan konten dan koneksi, banyak dari kita merasa kosong, lelah, dan kehilangan arah. Kita kenyang oleh banjir informasi, namun lapar akan makna. Fenomena ini kini dikenal sebagai malnutrisi digital.
Apa itu Malnutrisi Digital?
Istilah ini bukan sekadar metafora. Seperti tubuh yang bisa kekurangan gizi karena asupan makanan yang tidak sehat, pikiran pun bisa “kekurangan gizi” akibat konsumsi konten digital yang tidak bernutrisi. Psikolog dan peneliti media, Dr. Sherry Turkle dari MIT, menyebut kondisi ini sebagai “connected but alone”, di mana seseorang sangat terhubung secara digital, tapi kesepian secara emosional dan intelektual.
Media sosial, dengan algoritma yang dirancang untuk mempertahankan perhatian selama mungkin, menyajikan konten yang seringkali dangkal, sensasional, dan membentuk kebiasaan scroll tanpa tujuan. Dampaknya? Kita kehilangan kapasitas untuk fokus, merenung, dan berpikir kritis.
Dibesarkan oleh Algoritma
Studi dari Common Sense Media (2023) menunjukkan bahwa remaja menghabiskan rata-rata lebih dari 8 jam per hari untuk mengonsumsi konten digital. Dari waktu tersebut, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk aktivitas produktif atau edukatif. Sebagian besar dihabiskan untuk konten hiburan cepat seperti video pendek, meme, atau berita viral.
Sosiolog dari UGM, Dr. Nur Hidayati, menilai bahwa “Anak muda sekarang tidak lagi sekadar pengguna, tetapi sudah menjadi produk dari algoritma. Identitas mereka dibentuk dari apa yang mereka konsumsi dan tampilkan secara online.”
Krisis Makna di Tengah Lonceng Notifikasi
Perasaan hampa yang dialami banyak anak muda bukan hal sepele. Riset dari University of Bath (2022) mengungkap bahwa mereka yang mengurangi waktu di media sosial selama seminggu mengalami peningkatan signifikan dalam kebahagiaan dan kepuasan hidup.
Salah seorang mahasiswa, Raka (22 tahun), menyatakan:
“Saya sadar saya terus mencari validasi dari like dan komentar. Tapi semakin saya dapat, semakin saya merasa kosong. Saya mulai membatasi media sosial dan fokus membangun makna lewat aktivitas nyata.”
Menemukan Jalan Keluar
Fenomena ini adalah panggilan bagi generasi muda untuk menyadari pentingnya kurasi konten dan membangun relasi yang bermakna di luar dunia digital. Psikolog klinis, Dr. A. Setiawan, M.Psi, menyarankan beberapa langkah:
- Puasa Digital: Lakukan detoks digital berkala, bahkan hanya beberapa jam sehari, untuk mengembalikan fokus dan kepekaan terhadap dunia nyata.
- Konten Bernutrisi: Pilih konsumsi digital yang edukatif, reflektif, dan memperluas wawasan, bukan hanya yang bersifat hiburan instan.
- Aktivitas Offline: Perbanyak kegiatan seperti membaca buku fisik, berdiskusi, berkarya, atau berkegiatan sosial yang memberi pengalaman nyata dan rasa pencapaian.
Menjadi Generasi yang Sadar, Bukan Sekadar Konsumen
Tidak ada yang salah dengan teknologi. Yang salah adalah ketika kita membiarkan hidup kita dikendalikan oleh desain yang hanya mementingkan engagement, bukan nilai. Kita adalah generasi pertama yang hidup sepenuhnya di dunia digital, dan karena itu, kita harus belajar menjadi manusia utuh yang tidak tercerabut dari makna oleh algoritma.
Mari kita kembali bertanya: Apakah konten yang kita konsumsi memberi gizi pada jiwa dan akal? Jangan sampai kita jadi generasi yang kenyang konten tapi lapar makna.
—000—
*Jurnalis senior, tinggal di Sidoarjo Jatim
Tinggalkan Balasan