

Suasana pagi di sebuah desa di Jawa Tengah. Embun masih menempel di pucuk daun padi, sementara Pak Suyatno (57) sudah berdiri di pematang sawahnya. Dengan topi caping tua yang setia menemaninya sejak puluhan tahun lalu, ia menatap hamparan sawah yang kian menyempit, sebagian sudah berubah menjadi deretan perumahan baru. “Dulu semua ini sawah, Nak. Sekarang tinggal sedikit,” katanya lirih.
Potret kecil ini menggambarkan persoalan besar yang tengah dihadapi pertanian Indonesia. Di satu sisi, sektor pertanian masih menjadi penopang penting ketahanan pangan nasional. Namun di sisi lain, tantangannya semakin berat: lahan pertanian yang terus tergerus alih fungsi, ancaman krisis iklim, hingga menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia tani.
Lahan Kian Terbatas
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir Indonesia kehilangan ratusan ribu hektare lahan sawah akibat alih fungsi menjadi kawasan industri, perumahan, dan infrastruktur. Padahal, kebutuhan pangan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Ironisnya, semakin sedikit lahan yang tersedia, semakin berat pula beban petani untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Pemerintah sebenarnya telah mencoba menahan laju alih fungsi melalui program lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Namun, di lapangan, banyak petani yang akhirnya menjual lahannya karena tekanan ekonomi.
Generasi Muda dan Tantangan Regenerasi
Di balik sempitnya lahan, ada tantangan lain: regenerasi petani. Data Kementerian Pertanian menunjukkan, mayoritas petani Indonesia saat ini berusia di atas 45 tahun. Sementara itu, hanya sedikit anak muda yang berminat melanjutkan jejak orang tuanya.
Bagi banyak pemuda desa, bekerja di sektor pertanian sering dianggap kurang menjanjikan. Pendapatan tidak menentu, bergantung pada cuaca, harga pasar kerap tak berpihak. “Anak saya lebih pilih kerja di pabrik, katanya lebih pasti daripada bertani,” ujar Pak Suyatno.
Padahal, di era digital saat ini, peluang untuk mengembangkan pertanian modern terbuka lebar. Teknologi smart farming, precision agriculture, hingga pemanfaatan aplikasi pemasaran daring bisa membuat pertanian jauh lebih efisien dan menguntungkan. Namun, semua itu membutuhkan dukungan kebijakan, pelatihan, dan pembukaan akses bagi generasi muda agar mau kembali melihat pertanian sebagai masa depan, bukan sekadar masa lalu.
Pertanian dan Masa Depan Kehidupan
Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September seharusnya bukan sekadar seremoni. Momentum ini menjadi pengingat bahwa pertanian bukan hanya urusan petani, tetapi urusan kita semua. Dari nasi yang kita makan, sayur yang kita santap, hingga kopi yang menemani pagi, semuanya berasal dari kerja keras para petani.
Pertanian adalah jantung kehidupan. Tanpa petani, tanpa lahan, tanpa pangan—tidak ada masa depan. Oleh karena itu, membicarakan nasib pertanian berarti membicarakan masa depan bangsa.
Harapan masih ada. Beberapa komunitas muda sudah mulai kembali ke sawah, membawa semangat baru dengan menggabungkan tradisi dan teknologi. Mereka percaya, menjadi petani bukan sekadar profesi, melainkan sebuah panggilan untuk menjaga bumi dan memberi makan dunia.
Penutup
Di Hari Tani ini, mungkin kita perlu merenung sejenak: sejauh mana kita peduli terhadap pertanian? Apakah kita masih menganggapnya sektor pinggiran, atau sudah menempatkannya sebagai prioritas masa depan?
Karena menjaga keberlanjutan pertanian sejatinya adalah menjaga keberlanjutan kehidupan.
—000—
*Jurnalis senior, tinggal di Sidoarjo



Tinggalkan Balasan