
Jakarta (Trigger.id) – Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., menekankan pentingnya sekolah menyediakan ruang aman bagi siswa yang mengalami kecemasan atau trauma pasca peristiwa seperti insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta.
Menurut Novi, sekolah dapat membentuk “Ruang Jeda”, yaitu waktu tenang bagi siswa dan guru untuk menenangkan diri, baik sebelum pelajaran dimulai, setelah istirahat, maupun menjelang pulang sekolah.
“Anak-anak bisa diajak untuk bermeditasi sejenak, diam tanpa aktivitas tertentu. Hal sederhana ini dapat membantu menurunkan kecemasan dan menstabilkan emosi,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa tanda-tanda trauma pada anak dapat bervariasi, mulai dari rasa takut berlebihan, menarik diri dari lingkungan, hingga perilaku agresif. Namun, beberapa anak justru tampak terlalu ceria untuk menutupi luka batin yang mereka rasakan.
Untuk membantu proses pemulihan, Novi menyarankan agar sekolah menghadirkan kegiatan Social Emotional Learning (SEL) seperti melukis, bermain musik, menulis jurnal, diskusi kelompok kecil (circle time), atau kegiatan di alam terbuka. Aktivitas ini dapat membantu siswa mengenali, mengelola, dan menyalurkan emosinya secara sehat.
Selain itu, Novi juga menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah dan orang tua. Hasil kegiatan SEL dapat dijadikan portofolio perkembangan emosional siswa yang nantinya dibahas bersama wali murid.
“Pemulihan pascatrauma bukan hanya soal akademik, tetapi tentang bagaimana memberi ruang aman bagi anak untuk kembali terkoneksi dengan Tuhan, sesama, dan alam. Dengan begitu, mereka bisa tumbuh dengan kepercayaan diri dan empati yang lebih kuat,” jelasnya.
Novi mengingatkan, jika gejala trauma tidak menunjukkan perbaikan atau justru memburuk, anak perlu segera mendapat pendampingan psikolog profesional.
Sementara itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melaporkan bahwa kegiatan belajar mengajar di SMAN 72 Jakarta kini telah berlangsung secara daring dan berjalan kondusif. Proses ini dibarengi dengan pelaksanaan dukungan psikososial awal berbasis Psychological First Aid (PFA) bagi siswa, guru, dan orang tua.
Sekretaris Jenderal Kemendikdasmen, Suharti, menjelaskan bahwa pendampingan psikososial dilakukan oleh 56 psikolog dari Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI), Psikolog Polri, serta Dinas PPAPP, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.
“Layanan psikososial pascabencana ini bertujuan membantu warga sekolah mengatasi trauma. HIMPSI menjadi mitra utama kami dalam pelaksanaan layanan psikososial di lapangan,” ujar Suharti. (ian)



Tinggalkan Balasan