

Setiap 11 Desember, dunia memperingati Hari Gunung Internasional—sebuah momentum global untuk mengingatkan betapa pentingnya pegunungan bagi keberlangsungan hidup manusia. Bagi anak-anak, gunung kerap dipahami sebagai tempat bermain, rekreasi, atau pemandangan indah. Namun bagi masyarakat luas, pegunungan adalah penopang kehidupan: sumber air bersih, pusat keanekaragaman hayati, penyedia pangan, energi bersih, hingga ruang hidup bagi komunitas adat.
Tahun ini, tema “Perempuan Menggerakkan Pegunungan” mengajak dunia untuk melihat peran penting perempuan sebagai penjaga ekosistem pegunungan. Mereka menjaga benih, mengelola lahan, mempertahankan tradisi, dan sekaligus menjadi kelompok paling terdampak ketika lingkungan rusak. Namun lebih dari itu, peringatan tahun ini harus kita kaitkan dengan ancaman yang terus membesar: meningkatnya bencana akibat alih fungsi lahan dan kerusakan ekosistem pegunungan.
Ketika Gunung Kehilangan Fungsinya
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi lonjakan bencana ekologis—longsor, banjir bandang, kekeringan berulang, hingga sedimentasi sungai. Sebagian besar bencana ini bermula dari kawasan pegunungan yang kehilangan daya dukungnya.
Hutan yang dibabat untuk permukiman, vila, industri pariwisata, hingga perkebunan monokultur membuat tanah tak lagi stabil. Gunung yang dahulu berfungsi sebagai “menara air” kini berubah menjadi lahan gundul yang tak mampu menyerap curah hujan ekstrem. Dampaknya mengalir ke hilir: sungai meluap, sawah rusak, dan masyarakat menanggung kerugian sosial-ekonomi yang luar biasa.
Kita sering menyebutnya bencana alam. Padahal sering kali, penyebabnya adalah bencana buatan manusia.
Kesalahan Cara Pandang terhadap Gunung
Kerusakan ekosistem pegunungan terjadi bukan hanya karena pembukaan lahan, tetapi karena cara pandang kita yang keliru. Gunung diperlakukan sebagai ruang kosong yang boleh dikapling, ditambang, atau dibangun sesuka hati.
Beberapa kesalahan mendasar yang masih kita temui:
- Pegunungan dilihat sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai ekosistem rapuh.
- Pariwisata massal memaksa pembangunan vila, resort, dan jalan baru hingga zona sensitif.
- Perkebunan skala besar menggantikan hutan, menghilangkan fungsi penahan air alami.
- Pertambangan merusak kontur tanah, mempercepat erosi dan ancaman longsor.
Dalam kondisi seperti ini, perempuan di desa-desa pegunungan menjadi kelompok yang paling terdampak: kehilangan sumber air, kesulitan bertani, beban ekonomi meningkat, dan risiko keselamatan semakin tinggi saat bencana terjadi.
Tema peringatan tahun ini menegaskan bahwa keadilan gender tak bisa dipisahkan dari keadilan ekologis.
Mengapa Kita Harus Bertindak Sekarang?
Karena kerusakan gunung adalah kerusakan kehidupan. Ketika hutan hilang dan pegunungan rusak, dampaknya dirasakan oleh semua:
- Kota-kota mengalami krisis air bersih.
- Sungai meluap karena sedimentasi tinggi.
- Sawah dan kebun gagal panen.
- Infrastruktur rusak akibat banjir bandang.
- Risiko longsor meningkat setiap tahun.
Hari Gunung Internasional seharusnya menjadi alarm serius bahwa kerusakan ini tidak boleh dibiarkan lebih jauh.
Langkah Nyata yang Harus Dilakukan
1. Hentikan alih fungsi lahan yang merusak
Kawasan pegunungan perlu dikembalikan sebagai ruang lindung, bukan ruang bisnis tanpa batas.
2. Berdayakan perempuan penjaga gunung
Perempuan adalah pusat ekosistem sosial-pegunungan. Penguatan peran mereka berarti memperkuat keberlanjutan.
3. Tegakkan kebijakan konservasi secara konsisten
Moratorium pembukaan lahan, pertambangan, dan pariwisata masif di area rawan harus dijalankan tanpa kompromi.
4. Kembangkan pariwisata yang ramah lingkungan
Ekowisata yang dikelola masyarakat jauh lebih berkelanjutan dibanding pariwisata massal.
5. Edukasi generasi muda tentang pentingnya gunung
Anak-anak harus tumbuh dengan pemahaman bahwa gunung adalah sumber kehidupan, bukan aset eksploitasi.
Hari Gunung Internasional bukan sekadar peringatan tahunan, melainkan panggilan moral untuk menyelamatkan penyangga kehidupan kita. Gunung sedang menjerit—melalui longsor, banjir bandang, hutan gundul, dan krisis air. Jika kita terus mengabaikan tanda-tanda ini, masa depan yang rusak akan menjadi warisan bagi generasi berikutnya.
Melindungi gunung berarti melindungi manusia.
Melestarikan hutan berarti melestarikan masa depan.
Dan menghormati peran perempuan di pegunungan berarti menghargai penjaga kehidupan yang selama ini bekerja dalam diam.
Saatnya mendengar jeritan gunung sebelum semuanya terlambat.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id



Tinggalkan Balasan