
“Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),sejauh ini belum secara tegas melarang penjualan cibul.”
Oleh: Dr. Ari Baskoro SppD -Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya

Berita tentang ciki ngebul (cibul), akhir-akhir ini banyak menyita perhatian publik. Sejatinya masalah nitrogen cair dalam jajanan kaki lima, bukanlah hal yang baru. Karena nitrogen cair merupakan bagian penting dalam industri makanan dan minuman.
Ketika penggunaannya “bermigrasi” untuk meningkatkan daya tarik makanan kelas Usaha Mikro Kecil dan Menengah(UMKM), maka timbullah korban. Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta, merupakan daerah yang terbanyak memberitakan kasusnya.Hingga kini Jawa Timur telah melaporkan dua orang anak yang diduga “keracunan”, akibat mengonsumsi jajanan yang menggiurkan itu.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),sejauh ini belum secara tegas melarang penjualan cibul. Masih diperkenankan, asal pedagang patuh pada pedoman mitigasi risiko nitrogen cair dalam makanan siap saji. Pedoman itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) BPOM tanggal 6 Januari 2023.
Sisi manfaat nitrogen cair, tidak perlu diragukan lagi. Fungsi utamanya adalah sebagai “bahan penolong”, mempercepat proses pendinginan dan pembekuan produk pangan. Zat ini bukan dikategorikan sebagai bahan tambahan pangan (BTP)/foodadditives. Pemanfaatan nitrogen cair telah diatur dalam peraturan BPOM Nomor 20 tahun 2020.Food and Drug Administration (FDA), BPOMnya negara Paman Sam juga tidak melarangnya. Asal tidak mengonsumsi dalam bentuk residunya, nitrogen bukanlah zat toksik. Nilai gizi, bau, dan rasa makanan olahan pun, tidak akan berubah. Pada umumnya konsumen, khususnya anak-anak, hanya tergiur dengan sensasi dingin dan“kemebul”, saat menikmati jajanan itu.
Munculnya persoalan medis terkait dampak nitrogen cair di masyarakat, tidak terlepas dari aspek pengawasannya. Sulit bagi pedagang UMKM untuk “mau dan bisa memahami”, serta melaksanakan peraturan/pedomanyang sebenarnya sudah ada. Edukasi publik akan dampak bahayanya pun, relatif jarang dilakukan. Masyarakat, baik penjual maupun konsumen, relatif miskin literasi terhadap berbagai macam komponen dalam makanan yang aman bagi kesehatan. Persoalan yang sama, berlaku pula terhadap berbagai macam BTP.
Bahan tambahan pangan (BTP)
Selama beberapa dekade terakhir ini, terjadi perubahan signifikan dalam industri hasil pertanian, peternakan, dan perikanan.Keanekaragaman pangan dan produktivitasnya semakin meningkat. Produk makanan olahan, saat ini sudah tidak banyak tergantung pada musim. Secara ekonomis sangat menguntungkan. Harga produk, tidak banyak lagi dipengaruhi ketersediaannya pada musim-musim tertentu. Efek dominonya, mencetuskan peningkatan penggunaan BTP yang bisa memberikan manfaat pada pemeliharaan dan pengawetan makanan.
Berbeda dengan “bahan penolong” (misalnya nitrogen cair), penggunaan BTP jauh lebih mengakar. Pemanfaatannya di masyarakat telah dikenal luas dan mungkin lebih “ekstrem”.BTP sering kali ditambahkan, saat makanan dalam proses pengolahan, penyimpanan, atau pengemasan. Tujuannya meningkatkan penampilan, cita rasa, tekstur, dan lamanya daya simpan.
Banyak contoh BTP yang lazim digunakan. Misalnya yang bertujuan sebagai penyedap (Monosodiumglutamat/MSG/vetsin). Sakarin, sorbitol, dan aspartame, banyak digunakan sebagai pemanis.Untuk bahan pengawet, umumnya digunakan natrium benzoat, natrium sitrat, dan asam sorbat. Zat pewarna makanan,merupakan BTP yang paling banyak digunakan. Bisa sangat menarik minat konsumen, terutama pada anak-anak. Ada yang bersifat pewarna alami (kunyit, daun pandan, coklat, wortel), maupun yang berasal dari unsur kimiawi (tartrazin, karmoisin, briliantblue).
Selain komponen “ Empat P” (pengawet, penyedap, pemanis, pewarna), masih ada beberapa BTP lainnya.Penggunaan BTP ada regulasinya. Hal itu tercantum dalam Peraturan BPOM No.11 Tahun 2019. Dalam praktiknya, banyak pelanggaran yang terjadi. Bisa akibat unsur kesengajaan atau memang terkendala pemahaman akibat minimnya pengetahuan.
BTP berbahaya/ilegal
Walaupun sudah dilarang, beberapa BTP masih cukup sering digunakan masyarakat. Contohnya adalah boraks, formalin, kalium bromat dan zat-zat pewarna (rhodamin B, auramine, metanilyellow, black 7984, chocolatebrown FB, magenta, dan benzyl violet). Boraks umumnya disalah gunakan sebagai pengeras, pengenyal, dan pengawet. Formalin yang dalam bidang kedokteran digunakan sebagai pengawet mayat, sering disalah gunakan untuk mengawetkan makanan. Khususnya tahu, mi basah, ayam potong, dan ikan segar.
Pewarna sintetis yang biasa digunakan dalam industri tekstil atau kertas, acap kali diselewengkan sebagai pewarna makanan. Rhodamin B dan metanil yellow, merupakan contoh yang tersering.
Dampak kesehatan
Dalam dosis tertentu sesuai rekomendasi, BTP mungkin tidak menimbulkan dampak gangguan kesehatan. Efek sampingnya tidak akan tampak dalam waktu singkat. Namun dalam jangka waktu yang lebih lama dan dosis yang berlebihan, dapat menimbulkan masalah klinis yang berbahaya. Dalam bentuk yang akut, kadang-kadang dapat memicu timbulnya sakit kepala dan perubahan pada level energi,serta daya konsentrasi. Bisa juga memicu perubahan tingkah laku dan gangguan respons imunitas. Semakin banyak penelitian yang melaporkan, BTP dalam jangka waktu tertentu bisa memantik risiko timbulnya kanker.
Tartrazin dikatakan dapat menginduksi reaksi alergi terhadap obat aspirin. Angka kejadiannya sebesar 10-40 persen. Akibat mekanisme interaksi sistem imun, seseorang yang mengonsumsi obat demam atau nyeri tersebut, spontan dapat menimbulkan gejala alergi. Manifestasinya dapat berupa asma, ”biduran” (urticaria), bersin-bersin/pilek (rinitis), dan hipereaktivitas. Terutama terjadi pada anak-anak.
Natrium benzoat yang lazimnya digunakan untuk mengawetkan ikan asin, manisan buah, selai, krim salad, minuman ringan, dan bir, dapat mencetuskan reaksi alergi. Tidak jarang pula menimbulkan reaksi anafilaksis yang bisa berakibat fatal.
Pada seseorang yang rentan, MSG/vetsin dapat menimbulkan“rasa seperti tertekan”pada area wajah dan dada. Ada pula yang menyatakannya seperti rasa panas terbakar.
Pemanis buatan (aspartame, sakarin) yang rendah kalori, dalam dosis tertentu dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Bisa terjadi gangguan perilaku, hiperaktif, alergi, dan merangsang timbulnya kanker. Bahan ini sering digunakan pada pembuatan jus buah, selai dan jeli.
Boraks bersifat toksik bagi semua sel. Secara klinis dapat mengakibatkan dampak negatif pada susunan saraf pusat, ginjal, dan lever. Bahkan dapat pula memicu perdarahan saluran cerna, terjadinya kanker, gangguan sistem reproduksi, serta menekan imunitas tubuh.
Formalin sering kali menimbulkan iritasi pada kulit, mata, dan saluran pernapasan. Paparan dalam jangka waktu tertentu, bisa memantik risiko terjadinya kanker.
Rhodamin B dan metanilyellow, telah lama dilarang penggunaannya sebagai pewarna makanan di seluruh dunia. Kedua zat ini merupakan karsinogen (pemicu kanker) yang kuat. Efeknya juga dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai organ tubuh manusia.
Pengawasan terhadap BTP, seyogianya melibatkan berbagai pihak. BPOM, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat konsumen, seharusnya saling bahu membahu. Bagaimanapun juga, mengonsumsi makanan segar jauh lebih aman bila dibandingkan makanan olahan. Edukasi publik menjadi kata kunci keberhasilan mencegah dampak merugikan BTP.
Tinggalkan Balasan