
Yogyakarta (Trigger.id) – Sejumlah akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia yang dinilai semakin dikuasai oleh oligarki elite partai politik. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana partisipasi rakyat justru cenderung dimanfaatkan sebagai alat legitimasi kekuasaan kelompok tertentu.
Isu tersebut mengemuka dalam acara peluncuran dan bedah buku “Polikrisis Demokrasi: Neraca Kasus Indonesia” yang digelar di Auditorium Fisipol UGM, Senin (10/11), sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Research Week Fisipol UGM 2025.
Buku yang ditulis oleh 34 akademisi lintas disiplin ilmu ini — mulai dari politik, kebijakan publik, sosiologi, komunikasi, hubungan internasional hingga sejarah — membahas secara kritis pergeseran makna demokrasi di Indonesia. Editor buku, Dosen Sosiologi UGM Dr. Kuskridho Ambardi, M.A., mengatakan bahwa karya ini lahir dari keprihatinan terhadap pesimisme global atas masa depan demokrasi.
“Demokrasi sering dipahami secara sempit hanya dari sisi prosedural seperti pemilu lima tahunan, padahal praktik di setiap negara sangat beragam,” ujar Kuskridho yang akrab disapa Dodi Ambardi.
Ia menjelaskan, konsep “polikrisis” yang menjadi tema utama buku ini diadaptasi dari situasi Eropa, namun konteksnya berbeda di Indonesia. “Kalau Eropa menghadapi krisis imigran, Indonesia dihadapkan pada tumpang tindih krisis globalisasi, radikalisasi, dan ekonomi yang saling memengaruhi,” jelasnya.
Sementara itu, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Hasrul Hanif, Ph.D., salah satu kontributor buku, menilai demokrasi tidak dapat diukur dengan satu standar tunggal. Ia membedakan antara demokrasi sebagai praktik empiris dan demokrasi sebagai cita-cita normatif.
Menurut Hasrul, penilaian terhadap demokrasi harus mempertimbangkan konteks ruang dan waktu karena realitas politik terus berubah. Ia juga menyoroti kemunculan fenomena New Developmentalism di Indonesia, di mana liberalisasi ekonomi berjalan beriringan dengan kontrol negara yang masih kuat.
Ia menjelaskan, dua pendekatan utama dalam mengukur kualitas demokrasi adalah comparative assessment (penilaian oleh para ahli) dan democracy audit (penilaian partisipatif publik). “Dulu, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sempat merepresentasikan semangat partisipatif, namun kini cenderung menjadi sekadar angka statistik,” ujarnya.
Ketua KPU DIY, Ahmad Shidqi, S.Th.I., M.Hum., yang turut hadir sebagai pembicara, meninjau perjalanan demokrasi Indonesia sejak reformasi 1998. Menurutnya, reformasi telah menjadikan penyelenggaraan pemilu lebih independen dan profesional.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa setelah pemilu usai, kekuasaan kerap kembali ke tangan oligarki partai. “Demokrasi kita masih prosedural, belum substantif. Indeks Demokrasi mungkin terlihat tinggi di atas kertas, tapi realitas di lapangan sering kali paradoks,” tegasnya.
Melalui diskusi dan penerbitan buku ini, para akademisi UGM berharap masyarakat dan pembuat kebijakan dapat lebih kritis dalam menilai kualitas demokrasi, tidak hanya dari rutinitas elektoral, tetapi juga dari seberapa besar demokrasi benar-benar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. (bin)



Tinggalkan Balasan