

Fase pemungutan suara Pemilu 14 Februari telah rampung. Sebagian masyarakat mengklaim Pemilu telah berlangsung dengan aman dan lancar. Tetapi tidak sedikit pula warga yang menyatakan Pemilu kali ini diwarnai dengan berbagai kecurangan.
Di sisi lain, punggawa yang bertugas sebagai garda terdepan Pemilu, diberitakan mulai ada yang bertumbangan. Menurut data Kementerian Kesehatan RI pada 21-2-2024, sedikitnya dilaporkan ada sekitar 94 petugas Pemilu yang wafat. Sebanyak 13.675 petugas lainnya, dinyatakan tengah menjalani perawatan di rumah sakit, usai bertugas. Faktor kelelahan yang berlebihan, disinyalir sebagai faktor pemicu keadaan yang memprihatinkan itu.
Meski semua pihak tidak berharap, tetapi ancaman tragedi Pemilu 2019 agaknya masih mungkin akan berulang kembali. Pihak terkait mengklaim pada Pemilu 2024, telah terjadi penurunan angka morbiditas dan mortalitas, dibanding Pemilu tahun 2019.
Masih segar dalam ingatan kita, saat itu sebanyak 894 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) telah gugur. Sebanyak 5.175 orang lainnya jatuh sakit dan sebagian besar memerlukan perawatan di rumah sakit.
Banyak pemangku kepentingan telah mengingatkan, agar Pemilu harus jujur dan adil bagi semua pihak, termasuk terhadap KPPS. Artinya pemerintah harusnya adil dalam menjamin penuh akan hak-hak mereka atas keselamatan dan kesehatannya, sebagai petugas penyelenggara Pemilu.
Dalam jargon Pemilu sebagai “pesta demokrasi”, diharapkan partisipasi semua warga masyarakat dengan gembira, tanpa menimbulkan duka cita pada salah satu pihak. Sejak dilantik tanggal 25 Januari 2024, anggota KPPS harus bekerja keras menyelesaikan tugas-tugas mereka, hingga dinyatakan rampung nantinya pada tanggal 25 Februari 2024.
Puncak aktivitas kerjanya, diawali sekitar dua-tiga hari menjelang pemungutan suara, hingga fase penghitungan/rekapitulasi suara. Pada hari “H” Pemilu, para petugas KPPS tersebut bisa bekerja non-stop selama 24 jam, bahkan bisa lebih, dengan jam istirahat ala kadarnya.
Situasi tersebut jauh melampaui kemampuan jam kerja fisiologis seseorang. Kemampuan fisik dalam menopang konsentrasi penyelesaian pekerjaan, idealnya hanya berlangsung sekitar delapan jam saja. Maksimal setelah sepuluh jam, lazimnya akan terjadi kemunduran performa fisik dalam berbagai bentuk manifestasi. Misalnya timbul sakit kepala, sesak nafas, mual-muntah, menggigil, lemah atau nyeri otot, dan sebagainya. Itu terutama terjadi pada individu yang tidak terbiasa/terlatih menjalankan tugas, di luar kemampuan ritme biologi (sirkadian) yang telah rutin dijalaninya.
Tidak ada waktu penyesuaian yang optimal (mekanisme homeostasis) yang harusnya diperlukan oleh setiap individu yang normal, untuk mendapatkan suatu tantangan yang lebih.
Bagi individu yang sehat secara fisik dan psikis, lonjakan beban kerja tersebut tidak akan banyak berakibat merugikan atau berdampak fatal. Tetapi bagi seseorang yang telah memiliki kapasitas fungsional yang terbatas, mekanisme kompensasi dari berbagai organ tubuhnya berpotensi mengalami kegagalan. Dampak klinisnya dapat berupa melonjaknya tekanan darah, meningginya denyut jantung, peningkatan laju pernapasan , hingga timbulnya serangan jantung atau stroke.
Sistem imunitasnya pun akan tertekan hebat, sehingga berdampak pada kerentanan mengalami infeksi. Semua proses “hilir” tersebut, dilandasi berbagai faktor “hulu” yang sejatinya sudah berlangsung lama. Tanpa mekanisme skrining yang saksama, niscaya tidak akan mudah mendeteksi “bahaya laten” yang akan muncul, saat seseorang mengalami beban kerja yang jauh berlebih.
Pemeriksaan (skrining) kesehatan yang dilakukan pada (calon) petugas KPPS, terbilang sangat tidak mencukupi. Hal itu bila ditakar sebagai jawaban atas tugas-tugas berat mereka menyukseskan Pemilu.
Pemeriksaan fisik, tekanan darah, kadar lemak, dan gula darah, sangat jauh dari kata ideal. Bila terdeteksi suatu kelainan, mestinya memerlukan pemeriksaan dan pengobatan yang lebih memadai dari seorang ahli terkait. Alternatif lainnya yang “lebih gampang”, menolak individu tersebut bertugas sebagai KPPS.
Tetapi memang ada kendala terhadap pengambilan kebijakan tersebut. Persoalannya menyangkut beban biaya skrining kesehatan yang bisa membengkak, atau terbatasnya warga masyarakat yang mau mendedikasikan dirinya bertugas sebagai anggota KPPS.
Analogi dengan masalah kesehatan haji
Analogi tragedi yang terjadi pada petugas Pemilu, tak ubahnya seperti peristiwa banyaknya jemaah haji (JH) yang wafat pada penyelenggaraan haji tahun 2023.
Saat itu ada sebanyak 824 JH reguler yang wafat. Bila diperinci, sebanyak 752 JH wafat saat operasional haji. Ada 26 orang yang wafat pasca operasional haji, dan 46 orang lainnya meninggal saat embarkasi/debarkasi haji.
Dalam sejarah penyelenggaraan haji Indonesia, angka-angka tersebut merupakan “rekor” yang sangat menyedihkan. Jumlah JH yang mendapatkan pelayanan rawat inap dalam lima tahun penyelenggaraan haji, mencapai lebih dari empat ribu JH setiap tahunnya.
Sama dengan petugas Pemilu, kelelahan yang berlebihan, diduga kuat sebagai pemicu banyaknya JH yang wafat atau jatuh sakit. Momen itu terutama terjadi usai pelaksanaan puncak ibadah haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armuzna).
Data yang memprihatinkan tersebut, tidak lepas dari proporsi JH berisiko tinggi. Sebanyak 73,72 persennya berusia lebih dari 60 tahun, atau yang memiliki penyakit kronik yang sudah diidapnya sebelum pemberangkatan haji.
Meski saat itu telah mengusung jargon “Haji Ramah Lansia”, segala persiapan antisipatif seolah kandas dengan banyaknya JH yang wafat. Penyakit kardiovaskuler (jantung, tekanan darah tinggi, , stroke) dan saluran napas, selalu mendominasi penyebab kematiannya.
Faktor risiko yang mendasarinya adalah diabetes, hipertensi, kadar lemak darah yang tinggi, dan gangguan fungsi ginjal.
Agar “tragedi” haji 2023 tidak berulang, saat ini pemerintah menerapkan skema persyaratan haji yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Pada musim haji 2024, status kesehatan dengan skrining yang ketat, merupakan prasyarat utama pelunasan biaya perjalanan haji (BIPIH). Bila gagal memenuhi kualifikasi kesehatan yang telah ditentukan, bisa berakibat kegagalan berangkat menunaikan ibadah haji. Bahkan bagi penyandang diabetes, kadar HBA1C (indikator regulasi gula darah selama tiga bulan terakhir), harus “cukup baik” di bawah delapan persen.
Akankah tragedi Pemilu yang berulang itu akan membawa perubahan regulasi perundang-undangan, khususnya dalam persiapan menghadapi Pemilu berikutnya?.
Intinya penekanan pada aspek keselamatan dan kesehatan petugasnya, seperti halnya perubahan pada skema persyaratan haji?.
Semuanya itu demi menghormati hak-hak warga Indonesia dan kewajiban pemerintah, melindungi rakyatnya atas keselamatan dan kesehatannya.
—–o—–
*Penulis:
Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan