

Jokowi diberitakan mengalami penyakit “alergi biasa”. Cuaca dingin Vatikan, dituding sebagai pemicu ruam-ruam di wajah dan tubuh Presiden RI ke-7 itu. Sebab awal munculnya penyakit tersebut, terjadi setelah kembalinya dari menghadiri pemakaman Paus Fransiskus. Benarkah cuaca dingin bisa memantik munculnya penyakit alergi ?
Kini Indonesia memasuki fenomena “bediding” yang disertai kemarau basah. Hujan sekala lokal pada musim kemarau bersamaan suhu dingin (“bediding”), diprediksi terjadi selama bulan Juli-Agustus. Selain memantik alergi, suhu lingkungan yang relatif rendah dari biasanya, berpotensi meningkatkan risiko “masuk angin”.
Homeostasis-imunitas
Konsep penyakit sering kali diawali dengan gangguan homeostasis. Homeostasis merujuk pada keseimbangan yang dinamis, antara tubuh/imunitas, lingkungan, dan paparan mikroba. “Masuk angin” erat kaitannya dengan fungsi imunitas yang tertekan. Sistem imun diibaratkan layaknya TNI yang bertugas memelihara pertahanan dan keamanan wilayah negara, dari ancaman asing. Bila sistem imun tertekan, berakibat mikroba (“agen asing”) di sekitar lingkungan, berpotensi lebih leluasa menginvasi manusia. Misalnya melonjaknya insiden infeksi respiratory syncytial virus (RSV), saat cuaca dingin atau hujan. RSV merupakan salah satu dari ratusan mikroba penyebab common cold. Meningkatnya daya tahan dan peluang perkembangbiakan berbagai macam virus telah diketahui. Itu dapat terjadi terutama saat suhu udara lebih dingin, kering, dan minim sinar matahari.
Cuaca dingin yang disertai kelembaban udara yang rendah, berpotensi mengganggu barrier imunitas saluran napas dan kulit. Hidung dan saluran napas manusia, dilapisi pelindung berupa lendir dan silia. Lendir mengandung senyawa anti mikroba. Sedangkan silia yang terdapat pada lapisan epitel saluran napas, berperan bagaikan sapu. Fungsinya sebagai penghalang, mengusir mikroba atau benda asing (antigen). Singkatnya, mikroba yang merugikan (patogen), akan “dibungkus” lendir, “dibunuh”, dan selanjutnya “disingkirkan” keluar dari saluran napas. Menghirup udara dingin dan kering dalam jangka waktu tertentu, berpotensi mengurangi lendir dan aktivitas silia. Alhasil kinerja barrier sistem imun menjadi terganggu.
Seperti halnya barrier saluran napas, pertahanan lini pertama lapisan kulit juga dapat terganggu. Salah satu penyebabnya adalah cuaca dingin dan kelembaban udara yang rendah. Akibatnya kelembaban alamiah kulit menjadi menurun. Lapisan lemak pelindungnya pun, menjadi berkurang. Dampaknya memicu “kulit kering”, pecah-pecah, dan rentan terhadap paparan antigen/alergen.
“Masuk angin”
Istilah “masuk angin”, hanya dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Padahal dunia kedokteran hanya menganggapnya sebagai mitos belaka. Meski “masuk angin” diyakini sebagai penyakit yang nyata, tetapi hingga kini belum ada bukti medis yang mendukung klaim tersebut. Saat “bediding”, masalah “masuk angin” semakin banyak dikeluhkan warga.
Sejatinya pada setiap pergantian musim, selalu disertai peningkatan insiden “masuk angin”. Hal itu “lazim” terjadi. Entah dari musim hujan ke musim kemarau, atau justru sebaliknya. Pada hakikatnya fenomena “masuk angin” hanya suatu sindrom (kumpulan gejala). Rasa tidak enak badan (meriang/menggigil), acap kali terjadi setelah mengalami kelelahan, terlambat makan, atau stres psikis. Konon “angin yang tidak diundang”, mengakibatkan akumulasi gas pada saluran cerna. Dampaknya memicu perasaan begah, mulas, mual, cegukan, dan muntah. Tidak jarang sindrom tersebut disertai pula dengan demam, mudah lelah, pilek, keringat dingin, meningkatnya frekuensi kentut, sakit kepala, dan berkurangnya nafsu makan. Dalam dunia medis, istilah “masuk angin” bisa dikategorikan sebagai common cold. Tertekannya imunitas, menjadi latar belakang penyebabnya.
Alergi
Seperti juga “masuk angin”, penyakit alergi tertentu juga meningkat saat cuaca dingin. Contohnya biduran (cold urticaria), rinitis alergi, dan asma. Pada hakikatnya alergi merupakan respons imun yang berlebihan (hipersensitivitas), terhadap pajanan antigen/alergen. Padahal antigen tersebut tidak menimbulkan efek merugikan sedikit pun pada individu lain. Pajanan alergen pada kondisi barrier sistem imun yang terganggu, berisiko meningkatkan kambuhnya penyakit alergi. Penyakit hipersensitivitas itu, mayoritas dilatarbelakangi faktor genetik
Pencegahan
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), merupakan pilar penting mencegah gangguan kesehatan saat “bediding”. Akan lebih optimal lagi jika disertai konsumsi makanan sehat, tidur yang cukup, rutin berolah raga, dan tidak merokok.
—–000—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan