
Surabaya (Trigger.id) – Korupsi yang dilakukan Kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) bukan barang baru. Menko Polhukam Mahfud MD. pernah menyatakan kondisi demokrasi negara kita sedang tidak-baik saja, termasuk menanggapi korupsi yang dilakukan kepala daerah.
“Simulasi saya bersama LSM-LSM menyatakan pimpinan-pimpinan daerah 92 persen terpilih karena cukong. Tapi kalau hitungan KPK 84 persen kepala daerah terpilih karena cukong,” tegas Mahfud MD., seperti dikutip akun IG @matanajwa.
Operasi Tangkap Tangan atau OTT Kepala Daerah, dari bupati, wali kota, hingga gubernur, selalu membuat kita geram dan mengelus dada. Bukan sekali dua kali, tapi sering sekali berita OTT Kepala Daerah mewarnai pemberitaan. Terakhir Gubernur Papua Lukas Enembe tertangkap KPK karena diduga korupsi dana pengelolaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua.
Data KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga Januari 2022 ada 22 gubernur dan 148 bupati atau walikota yang ditangkap KPK. Itu baru data KPK, belum lagi jika digabungkan dengan data Kejaksaan dan Kepolisian.
Berdasarkan pengumpulan data oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010-Juni 2018 ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.
Selain sifat serakah, ada penyebab lainnya mengapa kepala daerah korupsi, yaitu tingginya biaya politik ketika mereka mencalonkan diri. ICW mencatat biaya politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying).
Kajian Litbang Kemendagri pada 2015 menyebut, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20–100 miliar. Padahal, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.
Biaya politik yang mahal membuat para calon kepala daerah menerima bantuan dari donatur atau sponsor. Hal ini menjadi perhatian Ketua KPK Firli Bahuri saat menyampaikan Seminar Nasional Antikorupsi di Lampung pada Senin, 25 April 2022, lalu.
Firli menyitir hasil penelitian KPK tahun 2017 yang menyebut 82,3 persen calon kepala daerah dibantu pendanaannya oleh sponsor. Bahkan kata Firli, biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah pada Pilkada jauh lebih besar dari harta kekayaan yang dimilikinya.
Dengan menerima bantuan sponsor, para calon kepala daerah merasa utang budi dan harus membayar “kebaikan” tersebut. Akhirnya hal ini menimbulkan konflik kepentingan yang mendorong mereka untuk korupsi. (ian)
Tinggalkan Balasan