

Bagi tenaga kesehatan (Nakes), nyawa sangat berharga. “Code blue, code blue, code blue”, pernahkah anda mendengar seruan tersebut melalui pengeras suara di suatu rumah sakit? Itulah kode gawat darurat medis. Ketika isyarat emergency bergaung, segala kemampuan tim medis dikerahkan. Tidak hanya Nakes yang merawat pasien, tetapi tim terlatih dari ruang perawatan lainnya pun bergegas menuju kegawatan medis terjadi. Setiap detik menjadi waktu krusial yang sangat berharga. Keterlambatan berisiko kegagalan menyelamatkan nyawa.
Time saving it’s live saving (waktu adalah nyawa), merupakan filosofi kedaruratan medis. Semuanya memerlukan respons cepat dan tepat. Tindakannya harus benar-benar efektif dan efisien. Enam puluh menit pertama setelah “lonceng” kedaruratan medis bergema, berpotensi menjadi penentu antara hidup dan mati. “Golden hour”, berpeluang besar menyelamatkan kematian yang potensial dapat dicegah.
Etika menyelamatkan jiwa, telah diajarkan Hippocrates. Beliau adalah sang “Bapak Kedokteran Modern” yang telah menanamkan konsepnya beberapa abad yang lalu. Kini semua dokter wajib meneruskan “wasiatnya”. Dokter penanggung jawab pelayanan pasien (DPJP), selalu bersandarkan pada pepatah Jawa. “Ojo rumongso biso, nanging bisoho rumongso”. Sepenggal narasi “sederhana” itu, seyogianya menyadarkan kita untuk selalu bisa menerima masukan demi kebaikan bersama. Konsultasi, kolaborasi, dan memobilisasi bantuan, merupakan pilihan terbaik demi menyelamatkan jiwa. Sekali lagi, untuk nyawa, kerahkanlah segala kemampuan untuk menyelamatkannya.
Nyawa dan takdir adalah “hak prerogatif” Sang Pencipta. Tetapi upaya maksimal menyelamatkannya, harus tetap dilakukan. Institusi pengampu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) terkait penyelamatan jiwa, harus berbasiskan pada prosedur standar operasional (PSO) tertentu. Contohnya, dinas pemadam kebakaran. PSO merespons kebakaran, lazimnya ditetapkan tujuh menit. Maksimal tenggat waktunya tidak boleh lebih dari 15 menit. Artinya dalam rentang waktu tersebut, satuan pemadam kebakaran harus sudah berada pada lokasi terjadinya kebakaran. Pasalnya, potensi hilangnya nyawa tidak hanya akibat terbakar saja. Dengan cepat, kepulan asap pekat mampu mengakibatkan gagal napas dan kematian.
Badan penanggulangan bencana daerah (BPBD), memiliki PSO serupa. Penyelamatan dan evakuasi korban bencana, berlandaskan pada “golden period” 60-120 menit. Baik aparat terkait, sarana-prasarana, rescue unit, dan alat komunikasi, wajib didayagunakan seluruhnya. Setiap tindakan yang akan diambil berdasarkan PSO, akan lebih terarah, efisien, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Darurat bencana
Musibah yang kini terjadi di tiga provinsi Indonesia, mencerminkan gagapnya PSO darurat bencana. Asumsinya berdasarkan atas respons pertama. Tanpa analisis yang komprehensif, banjir bandang Sumatera dikatakan hanya mencekam di media sosial. Meski setelah meninjau langsung kondisi di lapangan, membuahkan kesimpulan yang sangat bertolak belakang. Tetapi korban nyawa terlanjur terus berjatuhan. Belum lagi terhitung harta, benda, dan infrastruktur. Hingga akhir tanggal 20-12-2025, jumlah korban tewas telah tembus 1090 jiwa. Jumlah itu berpotensi masih akan terus bertambah. Pasalnya, masih ratusan korban lainnya yang masih dinyatakan hilang.
Sejatinya mitigasi bencana telah dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pertolongan korban, pemulihan akses dan infrastruktur terdampak, serta distribusi bantuan dan penanganan pengungsi, telah diupayakan. Operasi pencarian dan pertolongan (SAR) pun, masih terus berlangsung.
Polemik penetapan bencana nasional
Pemerintah pusat menyatakan, bencana Sumatera berstatus sebagai bencana tingkat provinsi. Meski demikian, mitigasinya dikategorikan telah memenuhi level optimal. Perbedaan pandangan terjadi. Pasalnya pemerintah provinsi terdampak, khususnya Aceh, mengharapkan ditetapkan sebagai bencana nasional. Pertimbangannya didasarkan atas jumlah korban, kerusakan infrastruktur, serta luasnya cakupan wilayah bencana. Karenanya, Provinsi terdampak menyatakan tidak mampu lagi menangani akibat bencana.
Perbedaan status administratif bencana, relevan dengan kebijakan fiskal. Sebab penetapan status bencana nasional, merupakan keputusan luar biasa (extraordinary policy). Keputusan itu sekaligus sebagai penanggung jawab anggaran. Masalahnya, baik anggaran belanja daerah (APBD) maupun nasional (APBN), telah diperhitungkan hingga tutup tahun (31 Desember 2025). Ruang fiskal yang terbatas, menyulitkan kedua belah pihak, baik pemerintah pusat ataupun daerah. Anggaran pusat yang telah disiapkan sejumlah Rp.60 triliun, bukan hanya bantuan darurat. Tetapi diproyeksikan bagi rehabilitasi dan rekonstruksi dalam jangka panjang. Mempertimbangkan urgensinya, masuk akal bila anggaran makan bergizi gratis diwacanakan dialihkan (sementara) untuk bencana. Anggaran program prioritas Presiden Prabowo itu, telah dihitung hingga 20 Desember 2025 dan dialokasikan sebesar Rp.71 triliun.
Mepetnya anggaran, berisiko keterlambatan mitigasi bencana dengan segala akibatnya. Tanpa komunikasi optimal, kondisi tak menguntungkan tersebut memantik mispersepsi antara pusat dan daerah.
Sejatinya bencana bersifat universal. Ada resolusi Majelis Umum PBB A/RES/79/139 yang mendasarinya. Isinya berkaitan dengan penguatan kerangka operasional dan hukum, untuk bantuan bencana internasional dan pemulihan awal. Sebagai anggota PBB, negara kita juga terlibat mengusung resolusi tersebut.
Lembaga internasional dan lembaga asing non-pemerintah, dapat berperan aktif dalam penanggulangan bencana. Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam pendanaan dan restorasi hutan tropis. Itu dinyatakan dalam forum Tropical Forest Forever Facility, 6 November 2025 di Brasil. Meski bukan bertujuan memitigasi bencana secara langsung, tetapi pertemuan itu bertujuan mencegah deforestasi hutan tropis. Anggaran yang disiapkan pemerintah mencapai Rp.16 triliun.
Indonesia juga tercatat pernah membantu bencana gempa bumi Iran (2004), Myanmar (2025), topan Haiyan-Filipina (2013), dan beberapa negara lainnya. Bahkan untuk korban perang Palestina, Indonesia telah siap membantu pengobatan dua ribu warga Gaza di Pulau Galang.
Kini ketika rakyat Aceh mengibarkan bendera putih, saatnya bagi pemerintah pusat mempertimbangkan lagi status bencana nasional. Demi Sumatera. Demi Indonesia. Semoga.
—–o—–
*Penulis :
- Pengajar senior di :
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
- Catatan Harian Seorang Dokter
- Sisi Jurnalisme Seorang Dokter (dua jilid)



Tinggalkan Balasan