
“Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam kawasan ring of fire. wilayah bertemunya sejumlah lempeng bumi.”
Oleh: dr. Ari Baskoro, Sp.PD-KAI (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo-Surabaya)

Anugerah dan bencana adalah kehendakNya. Sepenggal lirik lagu “untuk kita renungkan” yang dilantunkan Ebiet G Ade, mungkin sesuai dengan suasana memprihatinkan saat ini.
Musibah gempa bumi yang melanda Cianjur dan Garut yang masih dalam proses penanganan, disusul erupsi gunung Semeru.Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pun, menaikkan status aktivitas gunung berapi ke level empat ( Awas). Peningkatan derajat kewaspadaan itu, terhitung sejak siang hari tanggal 4 Desember 2022.
Bencana alam erupsi gunung Semeru mengingatkan kita akan “sisi gelap” gunung berapi. Namun tidak adil rasanya bila terlalu menyesali suatu bencana atas anugerah alam gunung yang telah memberikan banyak kemakmuran. Sebagai sumber penyimpan air, tanah yang subur dan mineral logam serta barang tambang, merupakan manfaat utama gunung berapi.Bahan bangunan dengan kualitas terbaik juga “disediakan” oleh gunung. Obyek wisata alam yang mengandalkan suasana indah gunung, menjadikannya andalan pendapatan daerah kabupaten/kota di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam kawasan ring of fire atau “cincin api Pasifik”. Secara geografis negara kita menjadi wilayah bertemunya sejumlah lempeng bumi. Posisi alam yang demikian ini menempatkan bumi Indonesia pada deretan gunung berapi. Setidaknya terdapat 127 gunung berapi dalam kategori aktif. Gunung Krakatau, Toba danTambora, merupakan contoh beberapa gunung di Indonesia yang dampak letusannya mendunia. Jumlah korban manusia saat itu tergolong luar biasa besarnya.
Gunung Semeru yang saat ini mendapat “giliran” erupsi, merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Dengan ketinggian 3676 meter dari permukaan laut, gunung yang terkenal dengan kawah Jonggring Saloko nya, menempati posisi ketiga tertinggi di Indonesia. Peringkat pertama dan kedua ditempati Gunung Kerinci di Sumatera dan Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Menurut berita terakhir, gunung yang terletak dalam dua wilayah administratif (Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang) ini, menimbulkan dampak awan panas guguran (APG). Untuk mencegah terjadinya korban jiwa, ribuan warga telah diungsikan menuju ke tempat yang lebih aman.
Pada saat erupsi, gunung berapi menyemburkan abu vulkanik yang dapat menyebar padaarea yang cukup luas. Material vulkanik ini dapat berbahaya bagi kesehatan manusia, khususnya pada saluran nafas. Walaupun erupsi pada umumnya berlangsung dalam jangka waktu relatif singkat, namun dampak yang merugikan pada kesehatan manusia dapat berlangsung lama.Deposit abu vulkanik dapat mempengaruhi kualitas polutan lingkungan hingga beberapa tahun. Bahkan beberapa penelitian menyatakan, bisa berdampak lebih dari satu dekade. Tiupan angin dan aktivitas manusia, bisa mengakibatkan partikel-partikel abu yang tadinyamengendap, menjadi melayang-layang lagi di udara.
Debu vulkanik mempunyai diameter 2 mm atau lebih kecil lagi, tergantung pada mekanisme terbentuknya. Secara fisis dan kimiawi, mempunyai komposisi yang berbeda-beda. Dengan demikian reaktivitas pada jaringan biologi manusia, bisa berbeda pula. Dampaknya pada gangguan kesehatan saluran nafas pun bisa bersifat spesifik. Permukaan partikel abu vulkanik bersifat relatif stabil, tidak banyak dipengaruhi kondisi cuaca/lingkungan. Selain tahan terhadap proses oksidasi, juga mengandung kondensat asam, polycyclichydrocarbon dan material logam dalam jumlah yang sangat kecil. Muatan ion yang dikandungnyabisa bereaksi terhadap jaringan saluran nafas manusia, terutama paru. Dampak iritasi terutama diakibatkan kandungan sulfur dan asam. Kandungan asam kuat yang bereaksi dengan komponen silikat, membentuk calsium sulfat dan sodium chlorideyangmembentuk lapisan luar dari abu vulkanik.Jikalau terkena air hujan, lapisan inimembentuk kerak yang merupakan lapisan teratas deposit material abu vulkanik. Apabila melayang-layang di udara, kemudian ikut terhirup pada saluran nafas manusia, dapat memicu serangan asma. Serangan akut sesak nafas ini,terutama akibat Sulfur Dioksida (SO2) atau aerosol asam. Ini bisa terjadi walaupun dalam konsentrasi yang sangat kecil.
Para ahli menghubungkan ukuran partikel abu vulkanikpada dampak spesifik yang ditimbulkan pada saluran nafas. Ukuran ini sering dikenal dengan istilah aero dynamic diameter. Dengan ukuran kurang dari 10micro meter/um ( PM10), dapat terhirup hingga saluran nafas bagian atas (tracheadan bronchus).
Akibatnya dapat menimbulkan radang yang disebut tracheitis dan bronchitis. Partikel yang berukuran lebih kecil, misalnya empat micrometer(PM4), dapat mencapai bagian ujung saluran nafas (alveoli). Dalam jangka panjang bisa berdampak memicu timbulnya penyakit kronis yang disebut silicosis. Risiko terjadinya kanker paru juga bisa dijelaskan melalui mekanisme ini.
Manifestasi klinis berupa sesak nafas kronis akibat fungsi dan anatomi saluran nafas yang terganggu, bisa juga terjadi. Penyakit ini biasa dikenal dengan sebutan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Radang pada rongga hidung (rhinitis) dan radang pita suara (laryngitis), umumnya dikaitkan dengan PM15. Sebaliknya, ukuran partikel yang sangat kecil (PM1) atau yang lebih kecil lagi ( ultrafines/ kurang dari 0,01 um), sering kali bersifat toksik.
Gejala
Pada saat kondisi akut setelah terpapar abu vulkanik, gejala yang khas adalah sesak nafas, batuk, dada terasa menyempit serta “mengi”. Biasanya kumpulan manifestasi ini disebut sebagai serangan asma atau bronchitis.
Efek jangka panjang mempunyai pola klinis yang berbeda. Silicosismenggambarkan adanya jaringan parut (fibrosis/scarring) yang biasanya terjadi setelah paparan abu vulkanik dalam jangka waktu tahunan hingga puluhan tahun. Kelainan yang bersifat permanen ini, memerlukan perawatan medis yang lebih intensif.
Selain akibat langsung pada saluran nafas, abu vulkanik juga bisa menimbulkan dampak iritasi pada mata dan kulit.
Pencegahan
Walaupun tidak sepenuhnya dapat dihindari, berada sejauh mungkin dari pusat lokasi erupsi merupakan langkah pertama yang harus segera dilakukan. Sedapat mungkin harus selalu menggunakan masker, guna mengurangi jumlah paparan abu vulkanis tersebut. Tindakan ini terutama dilakukan, apabila terpaksa harus melakukan aktivitas pada ruang terbuka. Penggunaan kaca mata yang rapat, dapat mengurangi risiko terjadinya iritasi pada mata. Untuk membersihkan area yang berdebu, dianjurkan membasahi atau memerciki dengan air. Hal ini untuk menghindari material abu vulkanis “beterbangan” kembali.Jika menimbulkan akibat klinis yang terasa mengganggu, sebaiknya segera memeriksakan diri pada tenaga kesehatan terdekat.
Musibah dan bencana memang menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia. Suatu saat pengalaman pahit ini, akan menjadi pelajaran penting dalam hidup kita.
Tinggalkan Balasan