
Pagi di Desa Oeledo Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang tenang terasa berbeda. Dulu, langit malam terasa gelap, suara genset mengiringi malam para warga, dan kulkas menjadi barang mewah yang tak selalu menyala. Sekarang, sistem penyediaan listrik berbasis energi terbarukan telah mulai menggantikan ketergantungan lama. Lampu-lampu hangat di rumah-rumah bergantian menyala, kios pedagang kecil tetap buka, anak-anak di meja belajar tak lagi terganggu padamnya listrik.
Kisah seperti ini bukan hanya satu titik di peta kompleks energi nasional. Ia adalah bagian dari arah besar bangsa: menuju energi berdaulat—yang artinya negeri ini bisa mengendalikan sendiri pasokan dan sumber energinya—melalui akselerasi energi hijau. Dengan tema “Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat” dan subtema “Akselerasi Energi Hijau untuk Mewujudkan Masa Depan Berkelanjutan”, transformasi ini menuntut gerak cepat dari teknologi, kebijakan, dan partisipasi masyarakat.
Melacak Arah: Data yang Menunjukkan Momentum
Menurut laporan resmi Institut for Essential Services Reform (IESR), hingga semester I 2023 kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) telah mencapai sekitar 12.736,7 MW (12,7 GW), atau sekitar 15 % dari total kapasitas pembangkit nasional.
Lebih lanjut, kapasitas PLTS atap di Indonesia hingga Juli 2025 telah mencapai 538 MWp dengan sekitar 10.882 pelanggan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sedangkan proyek besar seperti pembangkit skala besar turut bergerak. Sebagai contoh, PLTS Terapung Saguling di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, resmi mulai pembangunan oleh PT PLN (Persero) melalui Sub-Holding PLN Indonesia Power pada Oktober 2025, dengan kapasitas rencana sebesar 92 MWp, yang diperkirakan akan menghasilkan lebih dari 130 GWh per tahun dan mengurangi emisi sekitar 104.000 ton CO₂ per tahun.
Data-data ini menunjukkan bahwa momentum untuk akselerasi energi hijau memang ada—meskipun tantangan tetap besar.
Transformasi di Lapangan: Kisah Nyata Kedaulatan Energi
Di sisi lain, kedaulatan energi memiliki makna konkret bagi kehidupan masyarakat. Desa-desa yang dulu bergantung pada diesel atau listrik pulau kini mulai beralih ke sistem mikro-grid berbasis surya atau campuran (hybrid) EBT. Ketika listrik lebih andal dan bersih, hasil panen bisa disimpan, usaha kecil berkembang, dan ekonomi lokal terangkat.
Desa Oeledo menjadi salah satu contoh. Dengan keberadaan listrik surya komunal, warung bisa buka lebih lama, kulkas bisa menyala, lampu belajar tak lagi padam. Hal-hal sederhana ini menandai bahwa energi bukan hanya tentang pasokan, tetapi tentang kesempatan—kesempatan belajar, berkreasi, menghidupi diri dan keluarga.
Di Jawa Barat, proyek PLTS terapung di Saguling bukan hanya membuktikan bahwa solusi inovatif bisa diterapkan di skala besar, tetapi juga bahwa energi hijau bisa menjadi aset nasional—bukan sekadar proyek teknologi, tetapi lambang kedaulatan.
Tantangan dan Jalan yang Harus Ditempuh
Walau kemajuan terlihat, tantangan pun nyata. Target nasional bauran EBT sebesar 23 % pada tahun 2025 masih jauh dari capaian saat ini. Laporan IESR menunjukkan bahwa dibanding target, masih ada “gap” yang harus ditutup segera.
Lebih spesifik, beberapa hal yang memerlukan perhatian:
- Regulasi dan skema pembiayaan — Pengembangan EBT masih terkendala tarif, investasi, dan kepastian hukum.
- Infrastruktur dan jaringan transmisi — Banyak sumber EBT berada di daerah terpencil atau luar Jawa, sehingga perlu interkoneksi yang kuat agar energi bisa menyebar ke seluruh negeri.
- Keadilan transisi — Pemerintah harus memastikan bahwa pekerja dari sektor fosil, masyarakat pinggiran, dan desa-terluar tidak tertinggal dalam proses perubahan.
- Potensi besar yang belum dimanfaatkan — Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar—misalnya potensi surya hingga ribuan gigawatt—tetapi realisasinya masih relatif kecil.
Dengan pendekatan yang tepat, transformasi ini bisa menjadi katalis untuk kedaulatan energi—bukan hanya dalam arti teknis, tetapi dalam makna sosial, ekonomi, dan kemanusiaan.
Menguat, Mandiri, dan Berkelanjutan
Kedaulatan energi bagi Indonesia bukan hanya soal suplai listrik atau mengganti fosil dengan surya/angin. Ia adalah soal mengembalikan kontrol atas sumber daya, membangun sistem yang berkelanjutan, dan menghadirkan keadilan bagi seluruh wilayah Nusantara. Saat desa-dalam terpencil bisa menikmati listrik bersih, saat proyek berskala besar seperti PLTS terapung menyumbang energi hijau nasional, maka negeri ini makin kuat—bukan hanya secara daya tetapi secara arti.
Saat matahari tenggelam di balik bukit pasir Rote atau di belakang waduk Saguling, panel-panel surya tetap memanen cahaya. Sistem listrik tetap berjalan. Itu bukan sekadar pergantian teknologi; itu adalah penegasan: Indonesia memilih jalan berbeda—jalanan yang hijau, berdaulat, dan berkelanjutan.
Dari desa yang mulai menyala hingga proyek skala nasional yang dimulai, Indonesia sedang menulis babak baru dalam cerita energi. Kedaulatan bukan mimpi, melainkan target yang bisa dicapai dengan inovasi, kebijakan yang tepat, dan partisipasi publik yang sadar. Ketika energi hijau dikembangkan secara massif dan inklusif, Indonesia menjadi bukan hanya terang — tetapi juga mandiri dan kuat.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id
Tinggalkan Balasan