

Banyak orang yang salah atau kurang tepat dalam memahami datangnya rezeki. Mereka berpikir rezeki dari Allah itu hanya dapat diperoleh jika kita mau berusaha atau mau bekerja saja. Sehingga banyak orang berlomba mencarinya, bahkan mereka rela banting tulang peras keringat, berangkat pagi pulang malam, untuk mencari rejekinya Allah.
Pendapat tersebut tidaklah salah namun sayang jika jalur rezeki hanya dimaknai dari satu pintu saja. Perbedaan sudut pandang dalam memahami jalur rezeki pernah menjadi perdebatan yang menarik antara Imam Syafi’i dan gurunya, Imam Malik. Imam Malik menyandarkan pendapatnya itu kepada sebuah hadist Rasulullah SAW:”Andai kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan kepada burung yang pergi dalam keadaan lapar lalu pulang dalam keadaan kenyang.”
Namun, pendapat yang berbeda disampaikan Imam Syafii. Dia mengungkapkan pendapatnya kepada sang guru.”Wahai imam, seandainya burung tersebut tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki?” tanya as-Syafi’i.
Dua pendiri mazhab itu bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Hingga satu saat, saat Imam Syafii berjalan-jalan, dia bertemu dengan serombongan orang sedang memanen buah anggur. Sang imam pun ikut membantu mereka. Setelah pekerjaan selesai, sang imam mendapatkan beberapa ikat buah anggur sebagai imbalan jasa dari pekerjaannya membantu para petani.
Imam Syafi’i amat senang. Dia gembira bukan karena mendapatkan beberapa ikat anggur. Namun dia telah memperoleh bukti yang bisa digunakan sebagai alasan untuk disampaikan kepada Imam Malik jika pendapatnya itu benar. Rezeki harus dicari.
Dengan bergegas, Imam Syafii pun menemui Imam Malik yang sedang duduk santai. Sambil meletakkan seluruh anggur yang didapatkannya, Imam Syafii berkata mengenai pengalamannya tersebut. “Seandainya saya tidak pernah keluar untuk memanen, tentu saja anggur itu tidak akan pernah sampai ke tangan saya.”
Mendengar dalil muridnya, Imam Malik hanya tersenyum. Dia mengambil anggur itu dan mencicipinya. Dia pun berucap pelan, “Sehari ini aku memang tidak keluar pondok. Hanya mengambil tugas sebagai guru dan sedikit berpikir jika alangkah nikmatnya dalam hari yang panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawa beberapa ikat anggur untukku. Bukankah ini juga menjadi bagian rezeki yang datang tanpa sebab?Lakukan yang menjadi bagianmu. Selanjutnya biarkan Allah yang mengurusnya.”
Imam Syafi’i langsung tertawa mendengar penjelasan tersebut. Kedua guru dan murid itu tertawa bersama meski mengambil dua hukum yang berbeda dari hadis yang sama.

Imam Al Ghazali membagi rizki menjadi empat maqom dan jenis jalur rezeki. Antara lain rezeki yang dijamin (Madhmun), rezeki yang dibagikan (Maqsum), rezeki yang dimiliki (Mamluk) dan rezeki yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala (Mau’ud).
Rezeki yang dijamin mengarah kepada makanan dan segala apa yang menopang atau menguatkan tubuh dan jiwa kita. Jenis rizki itu tidak terkait dengan sumber-sumber lainnya di dunia. Jaminan terhadap rezeki jenis ini datang dari Allah Ta’ala secara langsung sebab namanya saja adalah rizki yang dijamin. Maka, bertawakal terhadap rezeki jenis ini wajib berdasarkan dalil aqli dan naqli. Sebab, Allah telah membebankan kita untuk ibadah kepada-Nya dan menaati-Nya dengan tubuh dan anggota badan kita. Dia pasti telah menjamin apa-apa yang menjadi sumber energi bagi seluruh organ dan sel-sel tubuh kita agar kita dapat melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh-Nya.
Rezeki (Maqsum) yang dibagi adalah apa yang telah dibagikan oleh Allah dan telah tertulis di Lauhul Mahfuzh secara komprehensif. Masing-masing dibagikan sesuai dengan kadar yang telah ditentukan dan waktu yang telah ditetapkan, tidak lebih dan tidak kurang, tidak maju dan tidak mundur dari apa yang tertulis itu. Itulah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan dibagi sesuai kehendak dan Kuasa-Nya.
Rasulullah SAW bersabda, “Rizki itu telah dibagikan dan kemudian telah diberikan semuanya. Tidaklah ketakwaan seseorang dapat menambahkannya dan tidak pula kejahatan orang yang berlaku jahat dapat menguranginya.” Maka dalam konteks itu Rizki yang disindir Baginda Nabi adalah Rizki yang Maqsum atau dibagi.
Sedangkan rizki yang dimiliki atu Mamluk adalah harta benda dunia yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dia miliki. Dan ini termasuk rezeki dari Allah. Maka tidak heran banyak orang yang tidak ibadah bahkan kafir, tapi tidak kurang rizkinya bahkan berlimpahrua. Allah berfirman:
… اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰكُمۡ….
“Belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah : 254).
Adapun rizki yang dijanjikan (Mau’ud) adalah segala apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dengan syarat ketakwaan, sebagai rezeki yang halal, seperti dijeaskan dalam surat Ath-Thalaq.
۞ وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
Meskipun Allah SWT telah mengatur dan menjamin rezeki hambanya, namun perkara ini tetap harus diupayakan. Karena setiap yang terlahir tidak semua orang dari kalangan keluarga yang berada, maka setiap dari kita harus selalu berupaya dan berdoa kepada Allah SWT dalam setiap melangkahkan kaki untuk mengais rezeki.
Dalam pengertian rezeki mayoritas dari sebagian kita menafsirkan tentang harta kekayaan saja, padahal sesungguhnya Allah SWT telah banyak memberikan rezeki kepada kita baik dari kesehatan, makanan, minum untuk seluruh makhluk yang hidup di bumi ini. Ini adalah rezeki dasar yang harus kita syukuri.
- Penulis adalah Muslem Influencer tinggal di Sidoarjo
Tinggalkan Balasan