
“Dari tahun ke tahun prevalensi kanker semakin meningkat. Semula “hanya” 1,4 per seribu penduduk pada 2013, menjadi 1,79 per seribu, pada tahun 2018.”
Oleh: dr. Ari Baskoro, Sp.PD-KAI (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo– Surabaya)

“Closethecare gap”. Itulah kata singkat penuh makna yang merupakan tema peringatan Hari Kanker Sedunia tahun 2023 yang bertepatan dengan tanggal 4 Februari.
Tonggak sejarah kanker sebagai masalah besar umat manusia di seluruh dunia, diinisiasi dari Paris-Perancis. Charterof Paris Against Cancer (Piagam Paris Melawan Kanker) ditandatangani 4 Februari 2000 oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yang merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Kini setelah 23 tahun lamanya riwayat bersejarah itu, kanker masih menjadi realitas buruk bagi penyandangnya. Masih banyak kesenjangan pada penanggulangan kanker. Akses menuju perawatan paripurna bagi sebagian besar penyandangnya, masih jauh dari harapan.
Hingga kini, kanker merupakan masalah kesehatan yang dominan.Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Penyakit katastropik ini menduduki peringkat kedua penyebab kematian terbanyak, setelah penyakit kardiovaskuler. Data dari Global Burden of Cancer (Globocan) yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), patut menjadi bahan perhatian semua pihak. Terjadi pertambahan 396.914 kasus baru kanker di Indonesia, pada tahun 2020. Total jumlah kematiannya mencapai 234.511 orang.
Dari tahun ke tahun prevalensi kanker semakin meningkat. Semula “hanya” 1,4 per seribu penduduk pada 2013, menjadi 1,79 per seribu, pada tahun 2018. Diprediksi jumlah penyandang dan laju kematiannya akan terus meningkat, bila tidak dilakukan tindakan antisipatif yang komprehensif.
Penyebab angka kematian yang tinggi ini, mayoritas terkait dengan keterlambatan memeriksakan diri. Dampaknya, sekitar 70 persen kasus terdiagnosis pada stadium yang sudah lanjut. Latar belakang persoalannya sangat bervariasi. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat menjadi masalah utama. Tambahan pula akibat terbatasnya kemampuan finansial, membawa masyarakat mencari pengobatan alternatif atau perawatan tradisional.
Kanker payudara menduduki peringkat tertinggi di Indonesia. Disusul kanker serviks (leher rahim) di urutan kedua. Tingkatan selanjutnya ditempati kanker paru, kanker hati dan kanker nasofaring (area seputar bagian belakang tenggorok). Masih banyak jenis kanker lainnya yang jumlahnya semakin meningkat pula.
Penyakit katastropik
Sebagai salah satu penyakit katastropik (berbiaya mahal), kanker menempati proporsi pembiayaan sebesar 18 persen dari klaim layanan kesehatan. Bisa menghabiskan dana hingga Rp3,5 triliun untuk 2,5 juta kasus. Biaya tersebut belum termasuk yang di luar tanggungan BPJS Kesehatan. Mayoritas anggaran tersedot pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Sayangnya terjadi kesenjangan pengelolaan yang cukup signifikan, antara beberapa provinsi di Indonesia.
Masalahnya penanganan kasus kanker, memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidangnya. Saat ini jumlah tenaga dokter yang berkecimpung di bidang onkologi/kanker, masih amat terbatas. Diperlukan akselerasi kebijakan,untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun demikian, tanpa disertai unsur penunjang yang didukung peralatan canggih, tidak akan memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan. Tidak mengherankan, hingga kini pengelolaan kanker masih terpusat dikota-kota besar tertentu saja. Terutama DKI Jakarta,semua provinsidi Jawa, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sebaliknya, masih relatif rendah untuk Indonesia bagian timur.
Beban biaya hidup penyandang dan pendampingnya, akan semakin meningkat pada kasus yang dirujuk dari faskes tingkat pertama (FKTP)menuju ke FKRTL. Pemerataan layanan penanganan kanker, merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Saat ini tercatat sebanyak 714 rumah sakit (rumkit) yang dilengkapi dengan sarana kemoterapi (obat-obatan anti kanker).Onkologi board hanya ada di 507 rumkit, sedangkan sarana radio terapi baru ada di 35 rumkit.
Pada tahun 2021, jumlah rumkit di Indonesia tercatat sebanyak 2522 unit. Transformasi besar-besaran di bidang kesehatan yang belakangan ini sering disuarakan pemerintah, salah satunya untuk mengatasi persoalan ini. Diperlukan waktu yang tidak singkat, untuk menghasilkan dokter-dokter yang berkompeten di bidang onkologi.Pemerataannya di seluruh Indonesia, merupakan sesuatu yang mendesak dan memerlukan kebijakan pemerintah yang komprehensif dari semua aspek.
Problem pengelolaan
Penyebab kanker sangat beragam. Masing-masing berkaitan dengan interaksi berbagai faktor pemicu, melalui suatu pola tertentu. Faktor risiko berkembangnya penyakit keganasan ini, sangat bervariasi. Mulai dari faktor genetik, gangguan sistem imunitas tubuh, obesitas, konsumsi minuman keras, rokok, polutan udara, hingga pajanan radiasi sinar ultra violet yang berlebihan.
Masih banyak lagi faktor risiko lainnya. Pada kanker tertentu, sangat erat kaitannya dengan paparan virus. Misalnya human papilloma virus (HPV), sebagai penyebab utama kanker serviks. Virus Hepatitis B (VHB) atau Hepatitis C (VHC), merupakan etiologi utama kanker hati. Oleh karena itu, vaksinasi untuk mencegah infeksi HPV ataupun VHB, sangat efektif untuk mencegah terjadinya kanker pada organ-organ tersebut. Kedua jenis vaksin tersebut,telah masuk dalam program imunisasi nasional.
Deteksi dini kanker merupakan modalitas yang sangat penting. Tidak hanya mengurangi risiko tingkat parahnya penyakit, tetapi di sisi lain sangat penting untuk menekan aspek pembiayaan. Sayangnya prosedur deteksi dini, belum semuanya dapat dijamin BPJS Kesehatan. Bila diagnosis kanker ditegakkan pada stadium yang sudah relatif lanjut, maka dengan sendirinya biaya pengobatannyapun akan jauh lebih mahal. Masalah lainnya, beberapa obat yang tergolong cukup efektif malah tidak ditanggulangi oleh BPJS Kesehatan. Dinilai obat-obatan tersebut tidak memenuhi kriteria costeffective.
Imunoterapi kanker
Modalitas pengobatan ini bertujuan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Sistem imun yang telah dimodulasi, dapat mendeteksi sel-sel ganas dan menghancurkannya. Saat ini imunoterapi diindikasikan untuk berbagai jenis kanker. Dapat digunakan secara tersendiri atau dikombinasikan dengan modalitas tata laksana kanker lainnya ( operasi, kemoterapi, radioterapi).
Antibodi monoklonal yang bisa diproduksi dalam jumlah besar di laboratorium industri farmasi, dapat dirancang untuk melawan kanker melalui berbagai cara.Melalui target tertentu, antibodi tersebut dapat memblokir aktivitas protein abnormal pada sel-sel kanker. Titik tangkapnya spesifik pada gen-gen tertentu pemicu kanker, atau lingkungan mikro jaringan yang membantu sel kanker untuk tumbuh dan berkembang.
Obat-obatan yang tergolong dalam imunoterapi kanker, umumnya relatif sangat mahal dan di luar jangkauan kemampuan pembiayaan masyarakat. Hampir seluruhnya masih harus diimpor dari luar negeri. Dampak negatifnya, tidak semua pembiayaan obat-obatan tersebut bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Untuk pertama kalinya BPOM(Badan Pengawas Obat dan Makanan), telah menerbitkan izin edar produk antibodi monoklonal buatan Indonesia, pada 28 Desember 2022. Obat tersebut diindikasikan untuk melawan kanker kelenjar getah bening jenis tertentu.
Masih banyak kendala yang harus dihadapi, baik bagi masyarakat penyandang kanker ataupun pemerintah sebagai penyedia layanan kesehatan. Namun “mimpi” memperbaiki kesenjangan pengelolaan kanker, selayaknya tetap diupayakan secara maksimal oleh semua pihak.
Tinggalkan Balasan