
Roma, Italia (Trigger.id) – Di tengah megahnya markas besar Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma, Italia, alunan nada bambu dari alat musik tradisional Indonesia, angklung, mengalun lembut, menyentuh hati para tamu yang hadir. Pada 1 Juli lalu, sekelompok pemuda Indonesia membawakan harmoni khas tanah air dalam acara bertajuk “Celebrating Forests and Culture, Youth and Music – Forest Harmonies.”
Kelompok kesenian angklung ini bukan sembarang grup. Mereka adalah duta budaya binaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Roma, yang mayoritas anggotanya terdiri dari pelajar Indonesia di Italia serta pegawai muda KBRI. Mereka datang bukan hanya membawa alat musik, tetapi juga semangat persatuan, keharmonisan, dan diplomasi budaya yang berakar kuat pada nilai-nilai bangsa Indonesia.
Suasana aula FAO yang semula hening berubah menjadi hangat saat lagu-lagu daerah seperti “Apuse” dan “Bolelebo” dimainkan. Suara angklung yang khas—jernih, ritmis, dan penuh getaran alam—menghanyutkan para tamu undangan. Bahkan ketika lagu klasik internasional “Que Sera Sera” dan lagu populer Italia “O Sole Mio” dibawakan, para hadirin memberikan tepuk tangan panjang, tanda keterpukauan atas penampilan lintas budaya itu.
Lebih dari sekadar hiburan, penampilan kelompok angklung Indonesia ini merupakan simbol nyata diplomasi budaya yang lembut namun berdampak besar. Dalam acara yang turut membuka perayaan 80 tahun berdirinya FAO ini, musik menjadi bahasa universal yang menghubungkan berbagai bangsa, dan angklung hadir sebagai pengingat bahwa seni bisa menjadi jembatan yang kokoh antara manusia dan alam.
Menurut KBRI Roma, keikutsertaan mereka di acara FAO bukan hanya membawa nama Indonesia di panggung internasional, tetapi juga menghidupkan kembali pentingnya keharmonisan antara budaya, generasi muda, dan kelestarian hutan. Angklung, dengan segala kesederhanaannya, menjadi simbol dari keseimbangan alam dan kolaborasi sosial—nilai-nilai yang juga diusung FAO dalam peringatan tersebut.
Tak bisa dilupakan, pengakuan UNESCO pada 2010 terhadap angklung sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia menjadi penguat bahwa alat musik ini bukan hanya produk seni, tetapi juga penjaga identitas dan nilai luhur bangsa. Di Roma, di panggung dunia, suara angklung membuktikan bahwa diplomasi tak selalu harus lewat diplomasi formal—harmoni bisa hadir lewat nada, bambu, dan tangan-tangan muda penuh semangat. (ian)
Tinggalkan Balasan