
“Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih menyatakannya sebagai fase transisi.”
Oleh: Dr. Ari Baskoro SpPD. (Divisi Alergi-Imunologi KlinikDepartemen/KSM Ilmu Penyakit DalamFK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya)

Dari tahun ke tahun, mudik lebaran selalu menjadi topik pembicaraan hangat masyarakat. Untuk mewujudkannya, diperlukan persiapan yang optimal dari semua aspek. Termasuk rencana vaksinasi booster kedua, sebagai persyaratan perjalanan bagi para pemudik tahun 2023.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kebijakan itu sedang dikaji secara mendalam. Banyak perkembangan terkini yang layak jadi bahan pertimbangan, guna memutuskan peraturan tersebut. Tidak dapat dipungkiri, setelah tiga tahun pandemi, kini kondisi Covid-19 di dalam negeri semakin terkendali.
Namun demikian, pintu endemi belum terbuka. Banyak ahli menyatakan, saat ini kita sedang dalam situasi transisi dari pandemi ke endemi. Pandemi dan endemi Kategori terminologi tersebut, berdasarkan sejauh mana Covid-19 menyebar dan berdampak pada masalah kesehatan masyarakat.
Fase pandemi yang saat ini masih berlangsung, mengacu pada penyebaran penyakit yang terjadi di banyak negara. Bahkan di seluruh dunia. Laju infeksi bersifat eksponensial. Artinya hanya dalam hitungan waktu tertentu yang relatif singkat (hari, minggu, bulan, dan sebagainya), angka infeksi meningkat dengan tajam.
Di sisi lain, endemi merujuk terjadinya infeksi hanya terbatas pada wilayah/area tertentu saja, dan dapat dikelola dengan baik. Contohnya adalah penyakit malaria, demam berdarah dengue (DBD) dan influenza musiman.
Berbeda dengan Indonesia, di beberapa negara lainnya, Covid-19 masih belum dapat dikendalikan dengan baik. Atas dasar pertimbangan tersebut, saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih menyatakannya sebagai fase transisi. Pintu menuju endemi akan terjadi, seiring dengan berjalannya waktu. Hal itu akan bisa terwujud, bila mayoritas populasi global telah mampu membentuk kekebalan terhadap virus Covid-19.
Imunitas masyarakat akan terbangun melalui infeksi alami, maupun pasca vaksinasi. Dalam kasus Covid-19, herd immunity (kekebalan komunal), tidak cukup hanya 70 persen. Untuk menekan laju infeksi dan penyebaran virus, seyogianya proteksi masyarakat pada ambang mendekati 100 persen. Dasar pertimbangannya karena omicron dan subvariannya yang selalu bermutasi, memiliki daya tular yang sangat tinggi. Saat situasi menjadi endemi, masyarakat berharap bahwa kehidupan akan menjadi “normal” kembali, seperti sebelum pandemi.
Mungkinkah semua aktivitas kehidupan berjalan tanpa protokol kesehatan (prokes) lagi ? Sementara itu, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), telah dicabut sejak 30 Desember 2022. Di sisi lain, hampir bisa dipastikan vaksinasi masih akan tetap memainkan peranan yang krusial.
Peran vaksinasi
Selain prokes, vaksinasi terbukti mampu menekan laju penyebaran Covid-19. Dari beberapa riset, diperoleh data yang menarik. Kekebalan yang diperoleh pasca vaksinasi, mempunyai daya proteksi yang lebih baik, dibanding setelah mengalami infeksi alamiah.
Antibodi pasca vaksinasi, dapat dikembangkan berdasarkan target terhadap berbagai macam varian virus penyebab Covid-19.
Penelitian lainnya menyatakan, kadar antibodi juga lebih tinggi pada penyintas Covid-19 yang kemudian dilakukan vaksinasi. “Imunitas hibrida” semacam ini, relatif lebih tangguh dalam membentuk kekebalan komunal. Hasil yang terbukti melegakan adalah pada penekanan dampak klinisnya.
Manifestasi klinis penyakit yang sedang dan berat, bahkan yang memerlukan rawat inap, dapat ditekan hingga 100 persen. Demikian pula terhadap aspek fatalitas dan angka kematiannya.
Vaksinasi bukanlah tanpa kendala. Selain tingkat kepatuhan masyarakat yang kian berkurang (“apatisme Covid”), antibodi yang terbentuk juga semakin melandai dengan berjalannya waktu. Pada umumnya titernya akan cenderung menurun, setelah enam hingga delapan bulan. Rata-rata kadarnya akan berkurang hingga 50 persen, setelah tiga bulan. Daya proteksi antibodi akan meningkat kembali, setelah mendapatkan vaksinasi booster. Saat ini para peneliti masih melakukan riset, bagaimana cara memperoleh derajat imunitas yang bisa bertahan lebih lama. Riset yang dilakukan Yale School of Public Health, bisa menjadi bahan pertimbangan. Prediksinya sangat mungkin pada era endemi nanti, skenario vaksinasi booster secara reguler akan tetap dilakukan. Bisa jadi setiap enam bulan, atau mungkin satu tahun sekali.
Modalitas preventif ini, dapat menekan risiko terinfeksi secara signifikan. Terlebih pada orang-orang yang mengalami defisiensi sistem imun, akibat berbagai faktor (lansia, kanker dan kemoterapi, serta penyakit-penyakit sistem imun dan kondisi-kondisi lainnya).
Vaksinasi booster Covid-19 secara reguler, sangat mirip dengan tata laksana vaksin influenza musiman yang selalu diperbarui setiap tahunnya. Tercapainya fase endemi, membutuhkan komitmen komunitas global.
Diperlukan kebijakan yang konsisten, terutama dari segi pasokan, akses, dan distribusi vaksin yang merata. Sejak tanggal 24 Januari 2023, pemerintah sudah memberikan layanan publik untuk vaksinasi booster kedua. Itu berlaku untuk usia 18 tahun ke atas.
Sebelumnya telah diberlakukan kebijakan vaksinasi booster kedua kepada tenaga kesehatan (nakes) dan lansia. Sayang sekali masyarakat lambat meresponsnya. Sangat mungkin angka pertambahan vaksinasi booster kedua ini nantinya, akan berjalan lambat. Prediksi ini didasarkan atas cakupan vaksinasi booster pertama yang kurang gereget.
Sejak dimulai pada 12 Januari 2022, hingga kini cenderung stagnan. Sementara hanya mencapai 29,67 persen. Untuk booster kedua, baru mencakup 0,71 persen. Data tersebut tercatat tanggal 6 Februari 2023 (Vaksin Dashboard-Kemenkes).
Perkembangan Covid-19 terkiniLambatnya cakupan vaksinasi booster pertama dan kedua, tidak terlepas dari semakin terkendalinya Covid-19 di tanah air. PPKM telah dicabut. Laju mobilisasi warga, arus pariwisata, dan kegiatan ekonomi, semakin menunjukkan ke arah pemulihan. Aktivitas kehidupan sosial masyarakat telah kembali normal. Tampak seperti sebelum terjadinya pandemi. Tidak sedikit warga masyarakat yang mengira, bahwa pandemi telah berlalu. Dampaknya disiplin prokes semakin sering diabaikan.
Vaksinasi booster seolah-olah menjadi tidak penting lagi. Ada beberapa indikator yang menjadi acuan, bahwa penanggulangan pandemi Covid-19 sudah pada jalur yang benar. Libur natal dan tahun baru 2023, telah dilalui tanpa terjadinya lonjakan kasus Covid-19. Pertambahan kasus baru, positivity rate dan angka okupansi rumah sakit, semuanya masih di bawah standar acuan WHO. Padahal pada saat yang sama, terjadi “ancaman” omicron subvarian BF.7. Virus mutan ini masih menjadi masalah besar dengan angka fatalitas yang relatif tinggi di Tiongkok.
Namun sebaliknya, tidak menimbulkan lonjakan kasus di tanah air. Demikian pula terdeteksinya omicron subvarian XBB 1.5, tidak berdampak pada peningkatan kasus Covid-19 di dalam negeri. Padahal omicron subvarian yang lebih dikenal dengan sebutan “Kraken” ini, menimbulkan dampak penyebaran penularan yang signifikan di Amerika serikat. Sebelumnya saat aktivitas mudik lebaran 2022 dan penyelenggaraan kompetisi sepak bola liga satu (hingga dihentikan akibat tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022), juga tidak menunjukkan peningkatan kasus Covid-19 secara bermakna. Demikian pula penyelenggaraan haji 2022 dan umroh pun, berjalan tanpa kendala Covid-19 yang berarti. Dalam kaitan itu, prokes dan vaksinasi, telah terbukti menunjukkan peran pentingnya.
Harapan Pandemi belum berakhir. Virus Covid-19 masih berada di sekitar kita dan akan selalu bermutasi. Munculnya varian-varian virus baru yang mungkin lebih membahayakan, seharusnya tetap menjadi kewaspadaan bersama. Transisi menuju era endemi, merupakan tantangan yang bisa dicapai dengan mempertahankan status imunitas masyarakat. Hingga kini, disiplin prokes dan vaksinasi, masih menjadi kunci penanggulangan Covid-19. Semoga kebijakan vaksinasi booster kedua sebagai syarat perjalanan mudik 2023, merupakan pilihan yang tepat bagi semua pihak.
Tinggalkan Balasan