
Surabaya (Trigger.id) – Kementerian Kesehatan merilis hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adult Tobacco Survey – GATS) yang dilaksanakan tahun 2011 dan diulang pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden.
Dalam temuannya, selama kurun waktu 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.
“Ini merupakan tantangan bagi kita semua untuk melakukan upaya-upaya penghentian merokok,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam Peluncuran Data Survei Global Penggunaan Tembakau Pada Masyarakat Indonesia Tahun 2021 (GATS 2021), Mei lalu.
Hasil survei GATS juga menunjukkan adanya kenaikan prevalensi perokok elektronik hingga 10 kali lipat, dari 0.3% (2011) menjadi 3% (2021). Sementara itu, prevalensi perokok pasif juga tercatat naik menjadi 120 juta orang.
Wamenkes menyebutkan persentase keterpaparan asap rokok di beberapa tempat tempat umum seperti di restoran, rumah tangga, gedung pemerintah, tempat kerja, transportasi umum, dan bahkan di fasilitas pelayanan kesehatan juga terlihat masih tinggi.
Terkait label peringatan pada bungkus rokok, hasil survey menyebutkan angka keterpaparan terhadap peringatan kesehatan dari 77,2% (2011) menjadi 77,6% (2021).
Temuan lainnya adalah rokok sangat berdampak pada sosial ekonomi masyarakat. Saat ini, rokok menjadi pengeluaran belanja terbesar kedua pada orang miskin, lebih tinggi dari belanja untuk makanan bergizi.
Kemudian keinginan untuk berhenti merokok cukup tinggi yakni sebesar 63.4% dan sejumlah 43,8% yang berupaya untuk berhenti merokok.
Sementara itu, mengutip Voa Indonesia, Tobacco Atlas melaporkan dalam terbitannya yang ketujuh bahwa pengendalian tembakau membantu menyelamatkan jutaan nyawa, tetapi skala epidemi konsumsi nikotin masih memprihatinkan dan menuntut perhatian dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan terkait secara berkelanjutan.
Tobacco Atlas tersebut menyatakan bahwa di seluruh dunia, hampir lima triliun batang rokok dikonsumsi setiap tahun, dan berkontribusi pada sekitar delapan juta kematian serta kerugian ekonomi hampir US$2 triliun. Sementara itu, menurut data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, jumlah konsumsi rokok di Indonesia mencapai 322 miliar batang pada 2020.
Dokter Imran Agus Nurali, Sp.KO adalah Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Dia mengatakan bahwa kerugian ekonomi akibat konsumsi tembakau, baik langsung maupun tidak langsung, mencapai hampir Rp532 triliun.
Beban ekonomi yang demikian besar tidak terlepas dari jumlah perokok yang masih tinggi di Indonesia, seperti diungkapkan oleh Kiki Soewarso, ketua Bidang Komunikasi dan Media untuk Komite Nasional Penanggulangan Tembakau (Komnas PT), yang juga aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan yang peduli dengan program-program pengendalian tembakau, termasuk Tobacco Control Support Center (TCSC), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan Aliansi Akademi Komunikasi Indonesia untuk Pengendalian Tembakau (AAKIPT); serta di Pusat Studi Literasi Gender dan Kesehatan, LSPR.
Konsumsi rokok terbesar ketiga di dunia
Mengenai prevalensi konsumsi tembakau di Indonesia, Kiki mengatakan dari jumlah perokoknya, Indonesia termasuk ke dalam 10 negara dengan jumlah perokok tertinggi di dunia. Mengutip data dari Tobacco Atlas tahun 2020, Kiki mengatakan Indonesia menempati urutan ketiga setelah China dan India.
“Jadi ini adalah data terkini negara kita berada di tiga tertinggi jumlah perokoknya di dunia, ini sangat menyedihkan,” ujar Kiki.
Menurut Kiki, sesuai jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia, pada tahun 2006 Indonesia masih menempati posisi kelima, tetapi pada tahun 2018 posisi itu naik ke peringkat kedua setelah China.
Dia menyatakan bahwa dari tahun ke tahun angka itu terus meningkat, baik dari jumlah perokok maupun rokok yang dikonsumsi. Yang semakin menyedihkan adalah, ujar Kiki, jumlah perokok anak yang juga terus meningkat, mengutip laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
“Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika menyangkut anak-anak. Umur mulai merokok semakin muda. Angka riset kesehatan dasar nasional tahun 2018 menunjukkan 77,7% perokok pemula di Indonesia itu sebelum umur 19 tahun. Jadi, selama tahun 2007 sampai 2018 perokok pemula mulai usia 10 sampai 14 tahun meningkat 240%, khusus untuk perokok pemula usia 15 sampai 19 tahun naiknya 140%. Artinya adalah dari angka-angka yang saya sebutkan itu justru mengkhawatirkan, dan memang boleh dibilang Indonesia ini darurat rokok,” keluhnya. (ian)
Tinggalkan Balasan