
Surabaya (Trigger.id) – Kasus kanker usus buntu (appendix cancer) dilaporkan meningkat tajam di kalangan Generasi X dan milenial tua, menurut studi terbaru yang dipublikasikan dalam Annals of Internal Medicine pada 10 Juni 2024. Temuan ini menunjukkan adanya tren baru yang mengkhawatirkan dalam epidemiologi kanker, terutama di kalangan orang dewasa muda.
Meski tetap tergolong penyakit langka, para ahli menilai peningkatan ini cukup signifikan untuk menjadi perhatian. “Data ini mendukung kesan umum bahwa diagnosis kanker usus buntu meningkat,” ujar Dr. Garrett Nash, ahli bedah kolorektal di Memorial Sloan Kettering Cancer Center.
Apa Itu Kanker Usus Buntu?
Kanker usus buntu berkembang dari sel-sel yang membentuk organ kecil bernama appendix, yang terletak di perut dan merupakan bagian dari sistem pencernaan. Meski fungsi pastinya belum sepenuhnya dipahami, usus buntu diduga berperan dalam sistem kekebalan tubuh.
Terdapat dua jenis utama kanker usus buntu:
- Kanker neuroendokrin: Jenis paling umum, berasal dari sel penghasil hormon yang membantu pencernaan.
- Kanker epitelial: Terjadi pada sel-sel pelapis usus buntu.
Sering kali, kanker ini terdeteksi secara tidak sengaja setelah pasien menjalani operasi usus buntu akibat radang (apendisitis). “Peluang sembuh sangat tinggi jika kanker masih terbatas di dalam usus buntu,” kata Dr. Nash. Namun jika usus buntu pecah, sel kanker bisa menyebar ke seluruh rongga perut.
Mengapa Kasusnya Meningkat?
Dalam studi yang melibatkan 4.858 pasien berusia 20 tahun ke atas antara tahun 1975 hingga 2019, peneliti menemukan bahwa dibandingkan generasi kelahiran 1940-an, tingkat kanker usus buntu meningkat lebih dari tiga kali lipat pada Generasi X (kelahiran 1970-an hingga awal 1980-an) dan empat kali lipat pada milenial tua (kelahiran 1981–1990).
Peningkatan ini sejalan dengan tren serupa pada jenis kanker lain seperti kanker usus besar, payudara, rahim, prostat, dan lambung yang juga meningkat di kalangan orang dewasa muda.
Dr. Andreana Holowatyj dari Vanderbilt University Medical Center, yang memimpin penelitian tersebut, menyebut bahwa sepertiga kasus kanker usus buntu terjadi sebelum usia 50 tahun.
Meski begitu, angka kasus masih relatif kecil, hanya sekitar 1–2 kasus per sejuta orang per tahun, menurut National Cancer Institute. Namun, peningkatan itu tetap mencolok.
Faktor penyebabnya belum sepenuhnya diketahui. Diet, gaya hidup, paparan toksin lingkungan, dan penggunaan antibiotik diduga berkontribusi. “Kemungkinan penyebabnya adalah kombinasi dari berbagai faktor,” ujar Holowatyj. Dr. Nash juga menambahkan bahwa paparan lingkungan menjadi dugaan utama.
Waspadai Gejala dan Risiko
Dalam penelitian tambahan terhadap 352 pasien, ditemukan bahwa orang muda lebih sering mengalami gejala dibandingkan lansia. Beberapa gejala yang umum antara lain:
- Nyeri perut
- Perut kembung atau membesar
- Nyeri panggul
- Adanya massa di perut atau panggul
Gejala lainnya bisa meliputi penumpukan cairan, pembesaran lingkar pinggang, diare, mual, dan muntah. Namun, sebagian besar pasien baru menunjukkan gejala saat kanker sudah pada stadium lanjut.
Tanpa metode skrining preventif dan diagnosis yang sulit tanpa operasi, Holowatyj menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap gejala. Bagi mereka yang pernah mengalami radang usus buntu tanpa operasi pengangkatan, disarankan untuk menjalani pemindaian lanjutan guna mendeteksi kemungkinan tumor yang tersembunyi.
“Pesan utamanya sederhana,” ujar Holowatyj, “Jika ada yang terasa tidak biasa di tubuh Anda — katakanlah kepada dokter.”
Meskipun masih sangat langka, peningkatan kasus kanker usus buntu di kalangan muda memperlihatkan perlunya pendekatan lebih serius terhadap kesehatan gastrointestinal, termasuk perubahan gaya hidup dan perhatian dini terhadap gejala-gejala yang tampaknya sepele. (ian)
Sumber: Health
Tinggalkan Balasan