
Jakarta (Trigger.id) — Di tengah kemajuan zaman dan perubahan gaya hidup masyarakat, kebaya tetap berdiri sebagai simbol budaya yang tak lekang oleh waktu. Namun, kini makna kebaya tak lagi sebatas pada estetika dan tradisi semata. Komunitas Perempuan Berkebaya (KBP) menegaskan bahwa kebaya adalah busana egaliter yang bisa dikenakan siapa saja, tanpa memandang latar belakang sosial, usia, atau status.
“Kebaya itu egaliter. Tidak ada batasan siapa yang boleh memakai. Dulu mungkin dikenakan bangsawan, tetapi sekarang semua orang bisa mengenakan kebaya,” ujar Indiah Marsaban, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, saat peringatan Hari Kebaya Nasional di Museum Mandiri, Jakarta (24/7).
Menurut Indiah, perubahan cara pandang terhadap kebaya sebagai busana inklusif mencerminkan kesadaran kolektif akan pentingnya pelestarian identitas budaya bangsa. Dari ibu negara hingga masyarakat umum, dari rumah ke ruang publik, kebaya kini kembali hadir bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi juga simbol kebanggaan.
Tak hanya menjadi penanda budaya, kebaya juga menyimpan kekuatan ekonomi dan sejarah perjuangan perempuan. Hal ini disampaikan oleh Dr. Nita Trismaya, S.Sn., M.Ds., antropolog kebaya sekaligus anggota KBP. Ia menekankan bahwa kebaya bukan sekadar pakaian, tetapi juga menyimpan nilai perjuangan. Salah satu contohnya adalah kehadiran kebaya dalam Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tahun 1928, di mana para perempuan mengenakannya sebagai simbol kesadaran, kemandirian, dan persatuan.
“Dengan berkebaya, kita tidak hanya tampil anggun. Ada jejak sejarah perjuangan perempuan di sana,” ujar Nita.
Kebaya juga membuka ruang bagi tumbuhnya sektor ekonomi kreatif, khususnya pelaku UMKM di bidang tekstil, bordir, dan perancang busana tradisional. Menurut Nita, di balik selembar kebaya terdapat tangan-tangan pengrajin yang turut berkontribusi menjaga keberlangsungan budaya sekaligus menghidupi keluarga mereka.
Meskipun sempat mengalami penurunan popularitas dalam keseharian, KBP kini tengah menggencarkan gerakan untuk mengembalikan kebaya sebagai bagian dari busana harian. Mereka menolak anggapan bahwa kebaya hanya layak dikenakan saat acara formal atau perayaan tertentu. Sebaliknya, mereka mendorong masyarakat, termasuk generasi muda, untuk mengenakan kebaya dalam kehidupan sehari-hari—di kantor, ke pasar, atau dalam kegiatan sosial.
Salah satu cara pewarisan tradisi ini dilakukan adalah melalui peragaan busana kebaya, pelatihan budaya, dan kegiatan komunitas yang melibatkan anak-anak dan remaja. Harapannya, warisan budaya ini tidak sekadar dikenang, tetapi terus hidup dalam keseharian.
“Kalau tidak diwariskan, budaya itu akan hilang,” imbuh Nita.
Sebagai bentuk pengakuan resmi atas pentingnya kebaya dalam kebudayaan Indonesia, pemerintah menetapkan 24 Juli sebagai Hari Kebaya Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2023. Pengakuan dunia pun datang saat kebaya resmi masuk dalam Daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO, dalam sidang ke-19 Komite Antar Pemerintah UNESCO di Paraguay pada 4 Desember 2024.
Kebaya kini bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah jembatan budaya yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan—mengajak semua kalangan untuk merayakan jati diri Indonesia dengan penuh kebanggaan. (bin)
Tinggalkan Balasan