
Palu (Trigger.id) – Di Palu, Sabtu pagi yang hangat menjadi saksi sebuah kabar menggembirakan bagi masyarakat Parigi Moutong. Lalampa Toboli—kuliner yang selama ini hadir di banyak pertemuan keluarga dan menjadi bekal perjalanan para perantau—kini resmi tercatat sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) oleh Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah.
Bagi warga Toboli, Lalampa bukan sekadar makanan. Ia adalah cerita panjang tentang tradisi, tentang dapur-dapur kayu yang mengepul, dan tentang rasa yang diwariskan antar generasi. Kepala Bidang Kekayaan Intelektual Kanwil Kemenkum Sulteng, Aida Julpha Tangkere, menegaskan bahwa Lalampa Toboli memenuhi seluruh unsur yang melambangkan warisan budaya hidup.
“Lalampa memiliki nilai tradisi, diwariskan turun-temurun, dan merupakan praktik komunal. Karena itu, ia layak mendapatkan status KIK,” ujarnya.

Dibuat dari beras ketan yang dipadukan dengan suwiran ikan—biasanya tuna atau tongkol—Lalampa dibungkus rapi dengan daun pisang kemudian dibakar perlahan di atas bara api. Proses ini menciptakan aroma asap yang lembut namun menggoda, sebuah ciri khas yang membedakannya dari lemper atau olahan ketan serupa. Bagi banyak perantau, satu gigitan Lalampa seolah membawa kembali kenangan tentang kampung halaman.
Status KIK ini menjadi bentuk perlindungan, memastikan bahwa Lalampa Toboli tidak diklaim oleh pihak lain dan tetap menjadi jati diri masyarakat Toboli serta Parigi Moutong. “Negara memberikan pengakuan atas nilai budaya, sejarah, dan manfaat sosial Lalampa Toboli,” kata Aida.
Kepala Kanwil Kemenkum Sulteng, Rakhmat Renaldy, turut mengajak daerah-daerah lain di Sulteng untuk aktif mendokumentasikan kekayaan budaya masing-masing. Menurutnya, jangan sampai warisan leluhur baru dihargai setelah muncul sengketa atau klaim dari luar.
“Setiap daerah punya kekayaan unik. Dokumentasikan dan daftarkan sekarang,” tegasnya.
Rakhmat melihat potensi besar Lalampa Toboli untuk dikembangkan sebagai ikon wisata gastronomi Sulawesi Tengah. Dengan adanya perlindungan hukum, identitas kuliner ini dapat tetap terjaga sekaligus menjadi peluang ekonomi bagi masyarakat.
Pelindungan budaya, ujarnya, bukan hanya menjaga masa lalu, tetapi juga investasi untuk masa depan. Ia memastikan pihaknya akan memberikan pendampingan teknis agar lebih banyak kekayaan budaya lokal dapat diakui dan dilestarikan.
Kini, Lalampa Toboli bukan hanya makanan—ia adalah simbol cinta pada tanah kelahiran, sebuah warisan yang akhirnya diakui secara resmi, dan cerita rasa yang siap terus hidup dari generasi ke generasi. (ian)



Tinggalkan Balasan