

Seribu hari pertama kehidupan (SHPK), merupakan waktu krusial bagi kualitas hidup seseorang. Fasenya diawali sejak terbentuknya janin, hingga kehamilan cukup bulan (270 hari). Setelahnya, selama dua tahun pertama pasca kelahiran (730 hari), akan melengkapi SHPK. SHPK identik dengan “periode emas”.
Kesehatan ibu dan anak, merupakan fondasi kualitas masa depan bangsa. Kesehatan ibu, terutama saat mengandung, merupakan faktor prediksi kerentanan penyakit tidak menular (PTM) bagi masa depan anak.
Masyarakat Indonesia paham, problem stunting/tengkes belum dapat terselesaikan. Tengkes berpotensi timbul selama SHPK. Jika terjadi, berisiko pada masa depan suram generasi penerus. Mestinya kondisi gagal tumbuh pada balita, berpeluang bisa dicegah. Pasalnya intervensi medis dan kesehatan masyarakat saat periode SHPK, lebih efektif dibanding di luar kurun waktu tersebut.
Kini muncul isu “baru” terkait SHPK. Pola mengidam yang tidak tepat, bisa berbuah “petaka” bagi masa depan janin yang dikandungnya. Konsumsi gula berlebih, disinyalir sebagai salah satu pemicunya. Mengidam makanan/minuman manis, obesitas, diabetes, kandungan glukosa air susu ibu (ASI) yang tinggi, memantik sindrom metabolik bagi masa depan anak.
Belum lama ini dipublikasikan suatu riset yang penting untuk disikapi. Membatasi konsumsi gula SHPK, berpotensi menekan risiko penyakit kronis bagi masa depan anak. Risiko diabetes turun hingga 35 persen. Prevalensi hipertensi juga berkurang hingga 20 persen, saat anak memasuki usia pertengahan (Science, Oktober 2024, Vol.386).
PTM
Kini dunia dihadapkan pada beban ganda malnutrisi. Tengkes banyak menimpa negara-negara miskin atau berkembang. Sebaliknya, terjadi “epidemi gizi berlebih” (baca : konsumsi gula), terutama di negara maju. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, satu dari tiga orang Indonesia mengalami obesitas. Khusus pada anak, satu di antara lima individu memiliki kelebihan berat badan. Diprediksi proporsinya akan terus melonjak, jika tidak dilakukan upaya preventif yang signifikan.
Kini PTM merajai negara kita. Prevalensinya cukup fantastis. Angka mortalitasnya mendominasi hingga 75 persen dari seluruh penyebab kematian (Kementerian Kesehatan,2025). Penyakit kardiovaskuler (hipertensi, jantung, stroke), merupakan kontributor utamanya. Setiap peningkatan kejadian penyakit tersebut, relevan dengan semakin melonjaknya biaya perawatan penyakit katastropik (berbiaya mahal). Anggaran kesehatan negara pun tersedot, untuk penyakit yang harusnya bisa dicegah.
Berbagai faktor risiko melandasi terjadinya PTM. Merokok, minim aktivitas fisik, dan diet tidak sehat, merupakan faktor risiko utama. Kini terjadi perubahan preferensi makanan pada generasi milenial. Makanan siap saji yang kaya kandungan gula, lemak, dan garam, menjadi opsi utama. Sebaliknya, mereka malas mengonsumsi sayur dan buah yang kaya nutrisi. Tanpa pengendalian faktor risiko yang merupakan masalah hulu, persoalan hilir PTM tidak mudah mendapatkan solusi. Seyogianya riset terkini bisa menjadi rujukan. Konsumsi gula SHPK mesti dikontrol.
Relevansi Gula dan SHPK
Konsumsi gula berlebih selama kehamilan dan menyusui, memicu risiko obesitas saat anak yang dilahirkan menginjak usia remaja. Perilaku depresi juga mengikuti tren tersebut. Malnutrisi ibu, menginduksi adaptasi epigenetik pada keturunannya. Itu merupakan respons terhadap kondisi lingkungan mikro kehamilan dan menyusui yang tidak ideal. Dalam jangka panjang memantik timbulnya peradangan dan resistansi insulin, sebagai bibit awal diabetes.
Glukosa merupakan sumber energi utama sistem saraf pusat (SSP). Ketika ibu hamil (bumil) mengonsumsi gula berlebih, terjadilah hiperstimulasi SSP janin. Risiko anak mengalami hiperaktif, “perubahan suasana hati”, dan kecemasan pun meningkat. Gula juga menginduksi efek adiktif (kecanduan). Akibatnya semakin memperkuat hasrat mengonsumsi hidangan manis berikutnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan, sebaiknya asupan gula bumil kurang dari lima persen total kalori per hari. Namun realitasnya sering kali jauh melampaui persentase tersebut. Kontributornya berasal dari permen, kue, dan makanan/minuman ringan.
Riset juga mengungkap, asupan gula selama kehamilan berkorelasi dengan kenaikan berat badan bumil. Selain berdampak buruk pada janin, berisiko pula memantik komplikasi kehamilan. Misalnya kehamilan yang disertai diabetes, “keracunan kehamilan” (preeklamsia), dan kelahiran prematur.
WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif, setidaknya hingga bayi berusia enam bulan. Setelahnya, makanan pendamping ASI (MPASI) mulai diberikan. Pemberian ASI hingga dua tahun, dapat mencegah risiko berbagai penyakit. Contohnya, diabetes, beberapa penyakit autoimun, alergi, radang usus, dan penyakit kardiovaskuler. Tetapi potensi preventifnya tergantung pada unsur nutrisi yang terkandung dalam ASI. Padahal kualitas ASI, tergantung pada nutrisi ibu. Asupan gula berlebih, menjadi sumber utama glikotoksin dalam ASI. Dampaknya buruk bagi kesehatan bayi. Sebaliknya unsur protein dalam ASI, mampu meningkatkan kualitas kesehatan bayi.
Bagaimanapun juga ASI adalah nutrisi terbaik untuk bayi. Tetapi lebih patut lagi, jika dapat mengendalikan asupan gula selama hamil dan menyusui.
Apakah nantinya terbit rekomendasi baru terkait jumlah kandungan gula dalam susu formula ataupun MPASI, sebaiknya kita nantikan bersama.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan