

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan, kini tengah mengembangkan vaksin penguat untuk penyakit Tuberkulosis (TB). Upaya tersebut patut diapresiasi dan didukung sepenuhnya oleh segenap masyarakat Indonesia. Pasalnya,negara kita saat ini tengah menghadapi persoalan “kedaruratan” TB. Banyak faktor penyulit yang terkait dengan program pemberantasan penyakit menular itu, dan sudah selayaknya mendapatkan respons cepat. Vaksinasi yang aman dan efektif,dinilai merupakan modalitas penting dan utama, mengatasi peliknya laju morbiditas dan mortalitas TB.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TB merupakan penyebab kematian tertinggi kedua di dunia akibat penyakit menular, setelah COVID-19. Diperkirakan sepanjang tahun 2021, terjadi pertambahan sepuluh juta kasus baru TB di seluruh dunia. Tanpa terkecuali, penyakit ini dapat menyasar pada semua usia.Tetapi mayoritas terjadi pada fase produktif, dengan rentang usia antara 45 hingga 54 tahun. Infeksi yang berujung pada fatalitas, sering kali terjadi pada seseorang dengan sistem imunitas yang terganggu (misalnya HIV, malnutrisi, diabetes). Secara global,angka mortalitasnya mencapai sekitar 1,6 juta orang. Sebanyak 214 ribu orang di antaranya, disertai dengan HIV/AIDS.Lebih dari 95 persen kasus baru dan kematiannya, terjadi di negara-negara berkembang.TB pada anak-anak dan remaja sering kali terabaikan, serta acap kali relatif lebih sulit didiagnosis dan diobati.Semua data itu terekam oleh WHO pada tahun 2021. Negara kita menduduki peringkat kedua terbanyak di dunia, setelah India dari sisi jumlah penderita TB.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, lebih dari 700 ribu kasus baru TB, terdeteksi di negara kita pada tahun 2022. Angka mortalitasnya mencapai 93 ribu per tahun, atau setara dengan sebelas kematian per jam.Salah satu faktor yang mendasari penyebab kematiannya yang tinggi, adalah problem resistensi bakteri terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). TB resistenobat (TB-RO), masih merupakan krisis dan menjadi ancaman keamanan kesehatan masyarakat. Pada tahun 2020, hanya sekitar 33 persen kasus TB-RO yang dapat mengakses pengobatan.
Sejatinya masalah TB di Indonesia bukan melulu persoalan medis, melainkan sangat erat kaitannya dengan masalah ekonomi dan kesejahteraan sosial. Mayoritas penyakit menular ini, menjangkiti masyarakat miskin/stunting yang tinggal di kawasan kumuh.Individu yang mengalami kekurangan gizi, berisiko tiga kali lipat mengalami TB aktif dibanding pada status gizi normal.Demikian pula pada orang-orang dengan penyalahgunaan alkohol/minuman keras dan perokok, meningkatkan risiko berturut-turut sebesar 3,3 dan 1,6 kali lipat. Karena itulah program deteksi dini yang segera ditindaklanjuti dengan pengobatan, menjadi sangat penting. Meski demikian,upaya tindakan preventif berupa vaksinasi, dipandang sebagai langkah prioritas utama strategi penanggulangannya.
Program vaksinasi BCG yang saat ini dilakukan pada bayi, hanya memberikan proteksi secara parsial pada anak-anak. Khususnya terhadap risiko timbulnya manifestasi klinis TB yang berat. Tetapi pada individu remaja dan dewasa, kemampuan proteksinya semakin menurun dengan berjalannya waktu. Durasi waktu efektivitasnya “hanya” sekitar 15-20 tahun. Padahal TB pada orang dewasa, justru merupakan sumber penularan utama yang terjadi di masyarakat.
WHO telah mencanangkan target penurunan angka mortalitas hingga mencapailevel 95 persen. Insidennya juga ditargetkan menurun hingga 90 persen di seluruh dunia, pada tahun 2035. Target itu tidak akan mungkin tercapai, tanpa ditemukannya vaksin baru yang efektif untuk diterapkan pada semua usia. Terutama pada remaja dan dewasa. Pengembangan vaksin ini nantinya, juga diharapkan dapat menjawab tantangan terhadap percepatan terjadinya resistensi bakteri TB terhadap OAT. Pasalnya, tulang punggung tatalaksana TB saat ini adalah OAT. Di sisi lain, jangka waktu pengobatan standar yang minimal memerlukan waktu hingga enam bulan, atau bahkan jauh lebih lama (pada kasus yang telah kebal terhadap OAT), berakibat langsung pada berkurangnya kepatuhan berobat. Dampak buruknya bisa terjadi kegagalan terapi, kambuhnya kembali penyakit pasca dinyatakan sembuh, atau justru semakin memicu berkembangnya kasus-kasus yang kebal terhadap OAT. Vaksinasi booster(penguat) diharapkan berpotensi meningkatkan efek imunoterapi, bersamaan waktunya dengan dilakukannya terapi OAT. Secara imunologis, pola penerapan pengobatan semacam itu dapat mempercepat pemberantasan/pembersihan bakteri,pada seorang penderita TB. Tingkat kekambuhan penyakit pun, diharapkan dapat ditekan atau bahkan mampu mempersingkat lamanya pengobatan.
Riset vaksin TB
Vaksin yang saat ini digunakan di seluruh dunia sebagai modalitas pencegahan TB, adalah BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Nama vaksin tersebut sesuai dengan penemunya, yakni Albert Calmette dan Camille Guerin. Khususnya di negara-negara dengan prevalensi TB yang tinggi, vaksinasi menjadi andalan utama pencegahan penyakit. Indikasinya diberikan pada bayi yang sehat segera setelah lahir, sebanyak satu dosis. Vaksin ini mulai diterapkan secara medis pada tahun 1921, dan pengembangannya saat itu memerlukan waktu hingga13 tahun.
Karakteristik pengembangan vaksin baru nantinya, diharapkan memiliki beberapa parameter. Misalnyadapat memenuhi kualifikasi terkait indikasinya, target populasi, dan strategi vaksinasi yang akan dijalankan. Seperti vaksin-vaksin lain pada umumnya, seharusnya memiliki standar efektivitas dan keamanan tertentu. WHO baru-baru ini telah merilis ada sebanyak 14 kandidat vaksin dari berbagai platform yang sedang dalam proses pengembangan. Rata-rata sudah memasuki fase uji klinis. Pengembangnya pada umumnya berasal dari negara-negara maju atau perusahaan farmasi terkemuka dunia.
Tidak mudah untuk mengembangkan suatu temuan vaksin baru TB yang aman dan efektif. Kendala yang sebenarnya merupakan tantangan besar adalah pertumbuhan bakteri TB patogen yang amat lambat. Penyakitnya pun mengalami progresivitas yang lambat dan tidak ada gelombang epidemi. Hingga saat ini belum ditemukan parameter imunologis yang sesuai,sebagai pencerminan status protektif secara laboratoris. Oleh karena itu, rata-rata waktu yang diperlukan untuk suatu uji klinis, sedikitnya memerlukan durasi hingga lima tahun.
Para peneliti sepakat menyatakan : TB vaccine development is not a 100-day dash; itis an endurance marathon that requiresanal together different kind of stamina” Semoga kerja keras BRIN dapat menuai temuan vaksin penguat TB yang aman dan efektif, serta mampu menanggulangi sebagian peliknya program pemberantasan TB di Indonesia.
—–o—–
*Penulis:
Staf pengajar senior di:
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik – Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo
- Prodi Magister IKESOR (Ilmu Kesehatan Olah Raga) Unair – Surabay
Penulis buku:
- Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan