

Sejak di bangku Sekolah Dasar, guru selalu mengajarkan pepatah lama : “berikan kailnya, jangan ikannya”. Kemampuan murid untuk mandiri nantinya, sangat diharapkan oleh pahlawan tanpa tanda jasa itu. Makan ikannya secara langsung, memang nyaman. Tidak perlu memeras keringat untuk menikmatinya. Kini filosofi kuno tadi, tampaknya mulai “berkarat”. Harus “dipoles” dengan paradigma baru. Demi janji politik yang manis dan lebih praktis, langsung saja diberikan ikannya. Rakyat lebih senang, bukan ?
Guru yang sangat berjasa, kini justru membutuhkan “ikan”. Tentu dalam pengertian sesungguhnya yang lebih luas. Beliau-beliau itu tidak hanya berharap pahala dari profesi mulianya. Tapi juga membutuhkan penopang keberlangsungan hidupnya dari berbagai aspek. Bagaimana mungkin seorang guru honorer bisa hidup sejahtera dengan 300 ribu rupiah per bulan? Mereka sementara ini harus “ikhlas”. Haknya untuk hidup lebih layak, “terpaksa” harus dialihkan pada murid-muridnya, demi menikmati makan bergizi gratis (MBG). Tidak perlu kail. Langsung diberikan “ikannya”. Gratis pula.
Bayangkan, bagaimana kesenjangan di lapangan terjadi. DPR telah mengesahkan RAPBN 2026. MBG ditempatkan sebagai salah satu prioritas terbesar. Tidak main-main, anggarannya mencapai Rp. 335 triliun. Sungguh ironis, ternyata sebanyak Rp. 223 triliun diperoleh dari mengalihkan pos pendidikan. Semula anggaran pendidikan dipatok sebesar Rp. 769,1 triliun. Artinya, sebanyak 30 persen dikorbankan untuk program MBG. Bisa dikatakan, pemerintah dan DPR telah melenceng dari amanat konstitusi. Anggaran pendidikan yang harusnya 20 persen dari APBN, kini “disunat” secara legal menjadi hanya 14 persen. Sekali lagi, hal itu mencerminkan pengorbanan yang luar biasa seorang guru terhadap murid-muridnya. Pengorbanan besar institusi pendidikan, khususnya guru honorer, juga tercermin dari gaji karyawan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Dari video media sosial yang viral, seorang pencuci ompreng MBG sangat bersyukur bisa meraup nominal sekitar tiga juta per bulan. Alhamdulillah, penulis ikut senang. Setidaknya SPPG telah berkontribusi terhadap ilusi 19 juta lapangan kerja yang dijanjikan Wapres Gibran. Namun di sisi lain, penulis berharap tidak terjadi eksodus guru honorer yang akhirnya berminat menjadi karyawan SPPG. Apa jadinya masa depan anak bangsa nantinya ?
“Anehnya”, kini beberapa anggota DPR yang “sadar”, justru mengkritisi alur pelaksanaan MBG yang menimbulkan berbagai efek samping. Keracunan masal secara beruntun di banyak daerah, merupakan sinyal “malapraktik” dari Badan Gizi Nasional (BGN). Atau mungkin SPPG yang harus bertanggung jawab mutlak, karena tidak menjalankan prosedur standar operasional (PSO)? Pasalnya pola kerja SPPG patut dipertanyakan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 22 September 2025, hanya ada 34 SPPG yang sudah memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS). Padahal kini tercatat sudah ada sebanyak 8.583 SPPG. SLHS diterbitkan oleh Kemenkes. Pertanyaan besarnya, mampukah institusi yang belum memiliki jam terbang yang optimal itu, menjalankan amanat Presiden Prabowo ? Profesionalitasnya pun, patut dipertanyakan. Pasalnya mereka bekerja ibarat pengemudi yang tidak memiliki SIM.
Terkait wanprestasi BGN atau SPPG, penulis sengaja menggunakan diksi malapraktik. Ungkapan itu “biasanya” disematkan pada tenaga medis, jika upaya penyembuhan yang dilakukannya menemui kendala. Bisa dianggap salah, tidak tepat, dan bahkan menyalahi kode etik atau undang-undang.
Perhatikan suara rakyat
Media sosial benar-benar menjadi corong keresahan andalan publik. Termasuk menumpahkan kekecewaannya pada program MBG. Meski di beberapa daerah terjadi “intimidasi” agar tidak komplain terhadap kekurangan MBG, tapi akhirnya viral juga. Banyak ujaran lucu namun mengena, diungkapkan oleh orang tua siswa. “Mereka (baca: penerima manfaat) yang makan, tapi kita yang waswas”. Fenomena kritis itu mencerminkan, betapa tingkat kepercayaan rakyat terhadap MBG semakin memudar. Ekspresi kecemasan seorang ibu, juga tampak dari demonstrasi yang natural. Aksi Suara Ibu Indonesia di Yogyakarta, sangat menarik perhatian warga. Tuntutan mereka orasikan, sambil diiringi “musik dapur”. Personifikasi pukulan panci, sotil, dan wajan, mencerminkan hilangnya batas kesabaran para ibu. Mereka tidak anarkis. Maklum, mereka adalah kumpulan akademisi, pegiat sosial, seniman, dan aktivis masyarakat lainnya. Pesannya cukup singkat. Hentikan program prioritas MBG yang sentralistik dan militeristik!
Evaluasi
Jangan hanya bangga dengan persoalan kuantitas. Berdasarkan klaim BGN, MBG sudah melayani lebih dari 20 juta penerima manfaat. Secara perhitungan statistik, angka keracunan yang melibatkan 5.914 penerima manfaat memang “kecil”. Dipandang dari sisi kebijakan publik, program MBG memang mulia. Tetapi jika satu masalah saja menimbulkan unintended consequences, berisiko memantik trauma dan kekecewaan publik. Pada gilirannya berpotensi menimbulkan unanticipated consequences. Keraguan, bahkan kemarahan warga terhadap kebijakan publik yang diterapkan pemerintah, mestinya bisa diprediksi. Tapi bisa jadi hal itu memang “diabaikan”. Tekanan politis, konservatisme, dan karena memang karakter “keras kepala” pengambil kebijakan, menjadi latar belakangnya. Pendapat Robert K Merton (RKM) tadi, disokong oleh Frank de Zwart (FDZ). RKM adalah seorang sosiolog yang terkenal dengan teorinya “keseimbangan bersih”. Sedangkan FDZ merupakan ahli politik komparatif dan analisis kebijakan, dari Universitas Amsterdam dan Leiden.
Pembuat kebijakan dianggap memiliki kapasitas untuk melakukan kalkulasi. Karena itu mestinya bisa mengantisipasi berbagai konsekuensi dari keputusan politik yang diambilnya, baik positif maupun negatif.
Kini jelas, bahwa klaim MBG mencapai keberhasilan hingga 99,99 persen patut dipertanyakan. Apalagi dikatakan kalau banyak negara lain yang ingin mempelajari MBG di Indonesia. Kita sebaiknya tidak mereduksi angka-angka keracunan MBG yang “dianggap kecil”, demi mengamankan legitimasi politik. Meski belum ada yang tewas akibat keracunan MBG, risiko trauma kejiwaan dan kesehatan anak layak dinomor satukan. Ada dimensi hak asasi manusia (HAM), moral, dan hukum yang harus dipertanggungjawabkan kelak.
Kita berharap angin segar mewarnai pelaksanaan MBG yang akuntabel, dengan mengutamakan kualitas dibanding kuantitas. Semoga harapan tersebut dapat terwujud.
—–o—–
*Penulis :
- Pengajar senior di :
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
- Catatan Harian Seorang Dokter
- Sisi Jurnalisme Seorang Dokter (dua seri)
Tinggalkan Balasan