

Penyakit tangan-kaki-mulut (PTKM), atau lebih dikenal dengan sebutan flu Singapura, kini kasusnya sedang melonjak di Indonesia. Beberapa daerah, khususnya di sebagian kota-kota besar, telah melaporkan peningkatan jumlah kasusnya.
Sejak awal tahun hingga minggu ketiga bulan April 2024, angka kejadiannya telah mencapai sekitar 8.500 kasus. Jumlah itu menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan dibanding periode yang sama setahun sebelumnya. Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah, merupakan area yang paling terkena dampak penyakit yang ditandai dengan ruam-ruam kemerahan pada tangan, kaki, dan sekitar mulut itu.
Sementara ini masyarakat hanya dihimbau selalu waspada dengan menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Bila menampakkan gejala “khas” PTKM, warga diminta segera mencari pengobatan di fasilitas kesehatan (faskes) terdekat. Ada kesan PTKM dianggap sebagai “penyakit musiman biasa” yang akan berlalu dengan sendirinya.
Karena itu pemerintah tampaknya tidak melakukan mitigasi khusus, atau menyatakannya sebagai ancaman terhadap potensi terjadinya wabah. Kebijakan yang diambil pemerintah itu, terutama didasarkan atas risiko fatalitas atau kematian yang relatif minim pada PTKM. Hingga kini, data terkait komplikasi ataupun kematian akibat PTKM, juga belum pernah dipublikasikan. Demikian pula publik belum bisa mengakses informasi mengenai estimasi biaya pengobatan (rawat jalan ataupun rawat inap), serta kerugian akibat absen sekolah/bekerja.
Pihak-pihak pemangku kepentingan juga belum mengeluarkan suatu aturan/prosedur standar operasional, bila siswa di suatu sekolah terpapar PTKM. Masalahnya penyakit tersebut dikategorikan sangat menular, terutama di tempat-tempat berkumpulnya banyak orang. Insidennya lebih menonjol di daerah perkotaan, pusat-pusat transportasi, dan daerah dengan tingkat ekonomi yang lebih maju. Kepadatan dan mobilitas penduduk yang lebih tinggi, merupakan faktor penyebabnya. Individu yang terpapar virus penyebab PTKM, dapat menularkannya pada warga lainnya, sebelum timbulnya gejala hingga beberapa bulan setelah sembuh. Tanpa suatu data epidemiologi yang riil, akan sulit diputuskan suatu kebijakan mitigasi yang efektif.
Berkaca dari data epidemiologi di beberapa negara, khususnya kawasan Asia-Pasifik, persoalan PTKM harusnya tidak bisa dianggap sepele. Sejak tahun 1997, negara-negara tertentu seperti Taiwan, Malaysia, Singapura , dan Vietnam, telah mengalami siklus epidemi yang terjadi setiap dua atau tiga tahun sekali. Di Tiongkok, dari tahun 2008 hingga 2012, PTKM telah menyebabkan lebih dari tujuh juta kasus. Angka kematiannya tercatat sebanyak 2.457 kasus.
Karena itulah, mestinya Indonesia lebih waspada. Selama beberapa tahun terakhir ini, pemahaman tentang PTKM telah berkembang signifikan. Ternyata virus tertentu penyebab PTKM itu, dikaitkan dengan risiko komplikasi pada susunan saraf pusat (SSP), jantung, serta paru yang bisa terbilang fatal.
Ada lima kategori hasil akhir PTKM. Tanpa gejala (12,7 persen), gejala ringan (86,2 persen), parah dan kritis (1,1 persen), serta kematian (0,03 persen). PTKM sering kali disalah artikan dengan penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ternak. Antara keduanya disebabkan oleh virus yang berbeda dan tidak akan dapat saling menularkan.
Ada empat macam virus yang pernah menimbulkan wabah PTKM di beberapa negara di dunia. Masing-masing adalah Enterovirus A71(EV-A71), Coxsackievirus A16 (CVA16), CVA6, dan Echovirus (Echo). Ada beberapa spesies virus penyebab PTKM lainnya, meski dalam jumlah kasus yang relatif kecil. Khususnya di negara-negara kawasan Asia-Pasifik, EV-A71 merupakan virus yang paling berisiko memantik terjadinya komplikasi.
Sekali lagi, negara kita belum memiliki data/peta virologi semacam itu.Beberapa indikator perlu diwaspadai, bahwa PTKM yang pada umumnya ringan, gradasinya bisa memberat atau berisiko memicu komplikasi. Indikator tersebut adalah demam tinggi, keterlibatan SSP, ritme pernapasan yang tidak normal, disfungsi sirkulasi darah, dan peningkatan kadar sel darah putih. Temuan tersebut akan lebih signifikan, bila didapatkan peningkatan kadar glukosa dan laktat darah.
Risiko fatalitas akan semakin meningkat, pada individu yang memiliki gangguan sistem imun (misalnya stunting/tengkes), minimnya pemberian air susu ibu (ASI), atau adanya penyakit komorbid (misalnya diabetes).
Hingga kini belum ada pengobatan anti virus yang spesifik untuk PTKM. Tata laksananya hanya bersifat simtomatis dan suportif saja. Paparan penyakit ini pada individu dengan sistem imun yang normal, akan sembuh dengan sendirinya (self limiting disease), dalam waktu tujuh hingga sepuluh hari.
Isolasi mandiri untuk sementara waktu sangat diperlukan, karena daya tular virus penyebabnya yang sangat tinggi. Pencegahan Saat ini PHBS dan isolasi mandiri pada individu yang terpapar PTKM, merupakan cara pencegahan penularan yang paling dianjurkan. Pasalnya penularan secara fecal-oral (berasal dari makanan atau minuman yang terkontaminasi kotoran individu yang terpapar PTKM), merupakan jalur penularan yang utama.
Selain itu, transmisi virus penyebabnya juga dapat terjadi melalui kontak langsung (melalui droplet/percikan lendir saluran napas). Di negara-negara tertentu, terutama negara-negara maju, vaksinasi PTKM sudah banyak diterapkan. Sayang sekali negara kita belum merencanakan sama sekali tindakan vaksinasi tersebut.
Berdasarkan perhitungan ekonomi kesehatan, vaksinasi merupakan modalitas yang terbukti paling efektif dan efisien dari sisi biaya, untuk mengendalikan dampak buruk penyakit menular (termasuk PTKM).
Vaksin yang digunakan saat ini oleh beberapa negara, terutama ditujukan secara spesifik terhadap EV-A71 (vaksin monovalen). Vaksin tersebut dirancang dari EV-A71 yang dinonaktifkan.
Meski demikian memiliki efektivitas yang tinggi. Karena sifatnya yang monovalen, tidak akan dapat mencegah penularan virus-virus lainnya sebagai penyebab PTKM.
Saat ini banyak riset yang berupaya merancang vaksin yang mampu mencegah semua virus penyebab PTKM (vaksin poli/multivalen). Indonesia (melalui Bio Farma) yang dikenal sebagai produsen vaksin terbesar ke-5 di dunia, mestinya mampu juga berperan aktif melalukan riset vaksin PTKM. Sebagai contohnya, vaksin polio produksi Bio Farma telah mendunia.
Sebanyak 64 persen kebutuhan global, dipasok dari perusahaan berpelat merah tersebut. Antara polio dan EV-A71, memiliki kemiripan. Keduanya merupakan enterovirus (penularannya melalui saluran cerna). Secara virologi, EV-A71 dikategorikan sebagai enterovirus non-polio.
Tidak berlebihan kiranya bila negara kita diharapkan mampu melakukan riset sendiri, untuk menghasilkan vaksin EV-A71. Jadi tidak perlu harus mendatangkannya dari negara lain. Kendalanya sangat mungkin dari sisi pendanaan. Di tengah penghapusan mandatory spending bidang kesehatan, riset terkait vaksin tidak akan mudah dilakukan.
Semoga ada solusi yang komprehensif terhadap mitigasi PTKM, agar kasusnya tidak semakin meluas dan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
—–o—–
*Penulis :Staf pengajar senior di: Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
*Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri) dan Serba-serbi Obrolan Medis
*Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Tinggalkan Balasan