

Pagi menyapa di Desa Aek Pahu, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Di tengah pepohonan yang mulai menjulang kembali, seorang warga lokal — sebut saja Bapak Jamin — dengan penuh antusias menanam bibit durian dan cempedak air di kawasan rehabilitasi yang dikawal oleh PT Agincourt Resources (PTAR). “Dulu jalannya berlumpur dan rumpun pohon hilang. Sekarang, burung-burung mulai berkicau lagi,” ujarnya.
Kisah sederhana ini mengungkap satu misi besar: bagaimana tambang emas yang beroperasi di jantung kawasan ekosistem kritis yakni Batang Toru Ecosystem (BTE) — habitat spesies langka seperti Pongo tapanuliensis (orangutan Tapanuli) — dapat berjalan selaras dengan usaha pelestarian alam. PTAR, pengelola tambang emas Martabe Gold Mine, memilih untuk tidak hanya mengeksploitasi, melainkan menempatkan konservasi dan masyarakat sebagai bagian tak terpisah dari operasinya.
Lingkungan yang Dinamis
Tambang Martabe berlokasi di wilayah selatan ekosistem Batang Toru — estimasi luas BTE sekitar 150.000 hektar, dan zona KBA (Key Biodiversity Area) sekitar 170.000 hektar yang membentang di tiga kabupaten di Sumatera Utara.
Dalam publikasi resmi, PTAR menjelaskan bahwa jejak aktif operasionalnya per Januari 2022 tercatat 509 ha, dengan proyeksi total area operasi hingga 918 ha, dan tumpang-tindih dengan BTE sebanyak 341 ha, atau kurang dari 0,25% dari total luas BTE. Manajemen perusahaan menerapkan kerangka mitigation hierarchy — yaitu menghindari → meminimalkan → memulihkan → mengimbangi.
Praktik Konservasi Nyata
Salah satu bukti nyata adalah zona konservasi seluas 57,42 ha yang dibentuk di Desa Aek Pahu (Napa Village), Kecamatan Batang Toru. Di kawasan itu, tim lingkungan PTAR mengelola penanaman kembali dan perlindungan habitat.
Lebih lanjut, pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni 2023), PTAR menanam 130 bibit pohon dan merehabilitasi lahan seluas 34,6 ha hingga akhir 2022.
Kemudian, pada Juni 2024, PTAR menanam 1.640 bibit pohon di area reklamasi dan 1.670 bibit di hutan asli, dengan total penanaman 8.860 bibit di semester I-2024 dan lahan reklamasi mencapai 64,52 ha.
Di sisi lain, pengelolaan emisi juga ditegaskan. Dalam paparan media, PTAR menyebut target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 30% dari tahun 2019 hingga 2030, dengan pemasangan solar PV 2,1 MWp serta penggunaan biofuel B35.
Masyarakat sebagai Mitra
PTAR juga menekankan bahwa keberlanjutan tidak hanya lingkungan, tetapi juga sosial. Dalam laporan, disebut bahwa pada 2021 sebanyak 73,92% tenaga kerja berasal dari lokal.
Dalam salah satu artikel, disebut bahwa program CSR di 15 desa sekitar area operasi melibatkan lebih dari 18.300 individu secara langsung dan anggaran sekitar US$2,1 juta.
Presiden Direktur PTAR, Muliady Sutio, menyatakan bahwa seluruh program keberlanjutan berdasar prinsip holistik: “We believe that the holistic and multi-stakeholder approach to improve and balance the economic, social, and environmental performances … can make sure business continuity and growth and contribute to multiple achievements of the Sustainable Goals.”
Tantangan di Lapangan
Namun, tidak semua berjalan mulus. Dalam liputan investigasi, disebut bahwa eksplorasi baru di area Martabe memicu kekhawatiran terhadap BTE. Sebuah laporan menyebut bahwa pengembangan fasilitas tailings management facility (TMF) dapat membuka hutan seluas hingga 583 ha. Kritik lainnya datang dari WALHI Sumatera Utara yang menyebut bahwa deforestasi sekitar 114 ha terjadi di kawasan konsesi selama 15 tahun terakhir.
Melihat kondisi ini, pakar konservasi, misalnya Prof. X (nama bisa dikonfirmasi ketika wawancara), mengingatkan bahwa “Memulihkan habitat yang telah terdegradasi memerlukan bukan hanya penanaman kembali, tetapi pemulihan struktur ekosistem dan fungsi ekologisnya.”
Harmonisasi Untuk Masa Depan
Di tengah semua tantangan dan langkah nyata, PTAR pada Oktober 2025 mengumumkan komitmen baru: pengalokasian ±5.700 ha untuk konservasi di BTE, termasuk sekitar 2.000 ha di dalam konsesi sebagai refugia, dan 3.700 ha di luar konsesi sebagai offset besar-besaran. Gerak ini menjadi simbol bahwa pertambangan tidak harus hanya soal mengambil emas—melainkan juga menjaga kehidupan.
Di Desa Aek Pahu, saat para pekerja menanam pohon sore itu, seorang warga bergumam: “Harapannya anak-cucu kami bisa berenang di sungai ini, mendengar kicau burung, bukan hanya melihat truk besar tambang.” Kalimat sederhana, namun mencerminkan harapan besar.
Penutup
Tambang emas Martabe bisa menjadi laboratorium keberlanjutan: bukan hanya mengukur hasil produksi, melainkan juga mengukur kehidupan yang tumbuh kembali—pepohonan, burung, satu koridor satwa, dan senyum warga sekitar. Namun kuncinya tetap implementasi nyata, akuntabilitas, dan keterlibatan masyarakat secara aktif. Jika hal ini terus dijaga, maka “menambang kehidupan” bukan sekadar slogan—melainkan kenyataan.
“Komitmen menjaga keseimbangan antara operasional bisnis, sosial, serta pengelolaan lingkungan dan keanekaragaman hayati,” tegas Deputy Director Operations PTAR, Rahmat Lubis.
*Pemimpin Redaksi Trigger.id
Tinggalkan Balasan