

Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan transformasi penyelenggaraan haji1445 H/2024M.Perubahan fundamental perlu dilakukan, terkait sisi memprihatinkan penyelenggaraan haji tahun 2023. Data Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama RI menyatakan, ada sebanyak 824 jamaah haji (JH) reguler yang wafat. Bila diperinci, sebanyak 752 JH wafat saat operasional haji. Ada 26 orang yang meninggal pasca operasional haji, dan 46 orang lainnya meninggal saat embarkasi/debarkasi haji. Dalam sejarah penyelenggaraan haji Indonesia, angka-angka tersebut merupakan rekor yang sangat menyedihkan.
Lonjakan angka kematian tersebut, tidak lepas dari proporsi JH berisiko tinggi. Saat itu dari total 210.680 JH reguler, sebanyak 73,72 persennya tergolong dalam risiko tinggi (risti). Latar belakangnya karena mereka berusia lebih dari 60 tahun (lansia), dan atau JH yang memiliki penyakit kronik yang sudah diidapnya sebelum pemberangkatan haji. Masalah tersebut memerlukan pendekatan dan antisipasi yang saksama. Meski telah mengusung jargon “Haji Ramah Lansia”, segala persiapan antisipatif seolah kandas dengan banyaknya JH yang wafat. Lansia juga membawa risiko terjadinya demensia (pikun).Dampaknya ada tiga JH yang “hilang”, saat puncak ibadah haji di Armuzna (Arafah, Muszdalifah, dan Mina).
Data Pusat Kesehatan Haji Indonesia Kementerian Kesehatan RI, perlu dicermati. Sepanjang tahun 2010-2022, tingkat kematian JH negara kita mencapai 2,07 per mil. Proporsi tersebut meningkat tajam tahun 2023 yang mencapai 3,5 per mil.
Problema medis JH Indonesia
Dari tahun ke tahun setiap penyelenggaraan haji, penyakit kardiovaskuler selalu mendominasi morbiditas dan mortalitas JH Indonesia. Penyakit itu menyebabkan sebanyak 64 persen harus dirawat di ICU, serta mengakibatkan 46 – 66 persen kematian JH di rumah sakit Arab Saudi (MahmoudGaddoury, 2023). Beberapa kondisi menjadi latar belakang penyebabnya. Adanya komorbiditas (bertambahnya usia, diabetes, hipertensi,kadar lemak darah yang tinggi, gangguan fungsi ginjal), merupakan faktor risiko terbanyak.
Peringkat berikutnya penyebab kematian adalah penyakit saluran napas.Proporsinya mencapai 33 persen kasus. Pneumonia (radang paru) dan tuberkulosis, berkontribusi utama sebagai penyebabnya. Kedua penyakit itu akan semakin memantik fatalitas, bila terjadi pada seseorang yang memiliki komorbiditas. Kelelahan disebut sebagai pemicu utama derajat beratnya semua penyakit tersebut. Nutrisi yang kurang, suhu ekstrem, indeks paparan ultra violet yang tergolong tinggi, dan faktor kelembaban udara, menempati urutan berikutnya. Di sisi lain, penularan penyakit infeksi, sangat berkaitan dengan kerumunan yang terjadi selama berlangsungnya ibadah haji.
Jenis penyakit infeksi lainnya, tercatat sebagai penyebab tertinggi kunjungan JH di poliklinik ataupun di instalasi rawat darurat rumah sakit setempat. Meski demikian, kontribusinya terhadap pemicu kematian, tidak sebanding dengan penyakit kardiovaskuler atau pernapasan. Semua kematian yang didata, menunjukkan rasio perbandingan laki-laki jauh melampaui perempuan. Dari seluruh negara yang mengirimkan JH-nya, Indonesia selalu menempati urutan pertama dalam jumlah angka kematian. Selanjutnya disusul India (satu per mil), Pakistan, Mesir, Bangladesh, Turki, dan Iran. Angka kematian JH negara jiran Malaysia, bisa dibilang sangat minim.Tercatat hanya 0,3 per mil.
Transformasi skrining kesehatan
Ada perbedaan prinsip skrining kesehatan saat ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada musim haji 2024, status kesehatan merupakan prasyarat utama pelunasan Biaya Perjalanan Haji(BIPIH). Sebelumnya, prosedur tersebut terbalik. Meski rasional dari sisi istitha’ah kesehatan, kebijakan tersebut bisa berdampak mengecewakan bagi sebagian CJH. Pasalnya mereka sudah mengantre puluhan tahun, namun diprediksi akan gagal dalam skrining kesehatan.
Pada penyelenggaraan haji 1445 H/2024 M, negara kita mendapatkan kuota tambahan sebanyak 20 ribu orang. Total Indonesia akan mengirimkan 241 ribu JH. Terdiri dari 221.720 JH reguler dan sebanyak 19.280 orang haji khusus. Sebaliknya jumlah petugas hajinya justru tidak seimbang, bila dibandingkan pada tahun sebelumnya. Semula pada tahun 2023, ada 4600 petugas.Nantinya JH “hanya” dilayani oleh 4400 petugas. Melihat komposisi tersebut, tersirat bahwa JH nantinya harus lebih “mandiri” dalam banyak hal. Termasuk soal kesehatan.
Segmen CJH lansia pada 2024, akan semakin meningkat. Pada penyelenggaraan tahun 2023, ada sekitar 67 ribu JH yang tergolong lansia. Tahun 2024 nanti, proporsinya akan meningkat menjadi sekitar 30 persen (lebih dari 72 ribu CJH). Diprediksi, persentase tersebut akan terus meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. Hal itu tak terhindarkan. Pasalnya, masa tunggu CJH di tanah air, bisa antara 15 – 45 tahun. Mayoritas CJH reguler,mendaftarkan diri saat usia matang. Biayanyapun, diupayakan secara ekstra melalui menabung. Bahkan pada banyak kasus, harus rela “mengorbankan” biaya kesehatan ataupun biaya hidup sehari-hari, demi bisa berangkat haji. Tidak mengherankan CJH negara kita pada akhirnya bisa menunaikan ibadah haji, dalam kondisi lansia dengan tingkat kebugaran/kesehatan yang kurang optimal. Meningkatnya usia, selalu dibarengi dengan risiko munculnya penyakit-penyakit kronis, termasuk demensia.
Sama seperti prosedur tes kesehatan pada tahun-tahun sebelumnya, nantinya CJH akan menjalani skrining kesehatan. Tujuannya untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit tertentu.Selanjutnya akan dinilai kelayakannya dalam menjalankan ibadah haji. Ada pula evaluasi tambahan berupa pemeriksaan kognitif, kesehatan mental, dan kemampuan melakukan aktivitas harian secara mandiri. Skrining kesehatan yang optimal,mestinya mampu mengidentifikasi beberapa kondisi medis yang berisiko memicu morbiditas. Tetapi berdasarkan data penyelenggaraan haji 2023, ada sebanyak 333 JH (42,9 persen) yang wafat, tetapi tidak tergolong risti. Artinya, skrining kesehatan gagal mendeteksinya secara dini.
Skrining kesehatan pertama, memberi kesempatan pada CJH untuk berobat, agar dapat lolos pada pemeriksaan kesehatan berikutnya. Tetapi ada kendala yang patut diperhitungkan. Tidak semua daerah di Indonesia memiliki kualifikasi yang sama, dalam peralatan dan tenaga medis yang berkompeten untuk keperluan tersebut. Konsekuensinya pembiayaan sisi kesehatan, bisa berbeda di setiap daerah. Sementara ini belum ada skema pembiayaannya yang akan ditanggung oleh pihak asuransi tertentu. Dampaknya bagi CJH, BIPIH yang semakin mahal,akan semakin terbebani dengan keperluan skrining dan biaya kesehatan lainnya.
——o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan