Hari ini kita telah berada pada hari ke-10 bulan Rabi’ul Awwal. Bulan maulid Nabi. Bulan kelahiran Nabi. Pada bulan Rabi’ul Awwal, dari tahun ke tahun, sejak pertama kali perayaan maulid dilakukan pada awal abad ketujuh hijriah, umat Islam di berbagai belahan dunia selalu merayakannya dengan penuh kegembiraan dan suka cita.
Mengapa kita merayakan maulid? Karena kelahiran Nabi Muhammad SAW ke muka bumi ini adalah nikmat dan rahmat teragung yang Allâh anugerahkan kepada kita. Perayaan maulid adalah bentuk syukur kita kepada Allah SWT atas nikmat yang sangat agung ini.
Dengan sebab beliau, kita mengenal Allah, satu-satunya Tuhan yang berhak dan wajib disembah. Tuhan Pencipta segala sesuatu. Tuhan yang tidak menyerupai segala sesuatu. Tuhan yang tidak membutuhkan kepada segala sesuatu. Dengan sebab beliau, kita mengenal Islam, satu-satunya agama yang benar. Satu-satunya agama yang diridlai Allah SWT/. Agama yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh nabi dan rasul. Agama yang dengannya, kita akan selamat di kehidupan akhirat.
Perayaan maulid adalah bentuk kecintaan kita kepada insan yang paling mulia dan makhluk yang paling utama, Baginda Rasulullah SAW. Melalui perayaan maulid, kita diingatkan untuk terus mencintai Baginda Nabi. Melalui perayaan maulid, kita tanamkan pada diri umat Islam kecintaan kepada Nabi mereka, Nabi agung Muhammad SAW. Nabi yang cintanya kepada umat melebihi cinta mereka kepadanya.
Salah satu bukti cinta baginda kepada umatnya adalah sabda beliau:
لِكُلّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِيْ شَفَاعَةً لِأُمَّتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Maknanya: “Setiap nabi memiliki kesempatan berdoa yang dikabulkan, maka semua nabi meminta segera dengan doanya, dan aku simpan doaku sebagai syafa’at untuk ummatku di hari kiamat” (HR. Muslim)
Pada hari kiamat kelak, dikatakan kepada Baginda:
يَا مُحَمَّدُ سَلْ تُعْطَ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ
“Wahai Muhammad, mintalah maka engkau akan diberi, berilah syafa’at maka syafa’atmu akan diterima.”
Baginda menjawab:
أَيْ رَبِّ أُمَّتِيْ أُمَّتِيْ (رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
“Wahai Tuhanku, umatku umatku.” (HR an-Nasa’i)
Perayaan maulid di bulan Rabi’ul Awwal mengingatkan kita akan keagungan baginda, keutamaannya, akhlaknya, perjuangannya, gambaran ketampanan dan keindahan jasad mulianya. Ketika dilantunkan puji-pujian kepadanya dan jamaah maulid mulai menyebut-nyebut namanya, biasanya kita akan terbawa suasana haru. Dalam hati kita berucap, “Andai saja aku mendapat kemuliaan bertemu dengan baginda, meskipun dalam mimpi.”
Seorang mukmin sejati pasti merindukan baginda Nabi. Seorang mukmin sejati pasti-lah sangat ingin bertemu dengan baginda walaupun sekejap pandangan mata dalam mimpi.
Suatu ketika, sahabat Bilâl al-Habasyi melihat dalam mimpi wajah baginda Nabi yang memancarkan cahaya. Begitu terbangun, rasa rindu yang membuncah dan gelora cinta yang menyala-nyala memandunya untuk memacu hewan tunggangannya melewati gurun-gurun pasir yang tandus. Ia percepat perjalanannya di malam dan pagi hari, agar dapat segera sampai ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, ia lantas berdiri di dekat peraduan baginda, di dekat makamnya. Air mata pun mengalir deras dari kedua matanya. Ia tumpahkan air mata agar dapat meringankan kerinduan yang bergejolak di hati. Akan tetapi mana mungkin kerinduan itu terobati? Bilâl-lah yang sebelum meninggal, melontarkan perkataan:wa
غَدًا نَلْقَى الْأَحِبَّةْ مُحَمَّدًا وَصَحْبَهْ
“Besok di akhirat aku akan menemui orang-orang yang aku kasihi, yaitu Muhammad dan para sahabatnya.”
Mengapa kita merayakan maulid? Karena perayaan maulid adalah salah satu bentuk syukur kita kepada Allâh atas kelahiran Nabi yang kita cintai.
Bahkan Rasulullah SAW sendiri yang mengajarkan kepada kita untuk mensyukuri hari kelahirannya. Ketika ditanya tentang puasa sunnah hari senin, beliau menjawab:
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي الدَّلَائِلِ)
Maknanya: “Itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan diturunkan wahyu pertama kepadaku” (HR Ahmad dan al-Baihaqi dalam Dalâ’il an-Nubuwwah)
Mengapa kita merayakan maulid? Karena perayaan maulid adalah bentuk pengamalan terhadap hadits:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Maknanya: “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” (HR al-Bukhâri)
Peringatan maulid adalah salah satu sarana untuk menanamkan dan menebarkan cinta terhadap Rasulullah kepada lintas generasi, agar mereka terpaut hati dengannya. Bahkan peringatan maulid termasuk salah satu amal yang paling utama karena menuntun kita menuju cinta yang mulia ini. Yaitu cinta kepada insan pilihan yang telah datang menyelamatkan umat manusia dari kesesatan, kezhaliman, kejahiliahan, kemusyrikan dan kekufuran.
Melalui peringatan maulid, kita belajar, mengajarkan dan saling mengingatkan bahwa Rasûlullâh adalah manusia yang paling mulia.
Dengan mengetahui ketinggian derajat dan kemuliaannya, in syâ-a Allâh cinta dan pengagungan kita kepadanya semakin menguat dan mendalam. Cinta inilah yang akan mendorong kita untuk menjalankan perintahnya dan mengikuti ajaran-ajarannya.
Mengapa kita merayakan maulid? Karena dalam peringatan maulid, kita belajar dan mengajarkan tentang ciri-ciri fisik mulia Rasulullah SAW. Barang siapa yang melihatnya dalam mimpi, sungguh ia akan melihatnya dalam keadaan jaga sebagaimana sabda Baginda:
مَنْ رَءََانِيْ فِيْ الْمَنَامِ فَسَيَرَانِيْ فِيْ الْيَقَظَةِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Maknanya: “Barang siapa melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan jaga” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dalam peringatan maulid, dibacakan sirah nabawiyyah (sejarah hidup Nabi SAW). Diceritakan bahwa Nabi SAW tumbuh dalam keadaan yatim. Maka keyatiman seseorang jangan sampai menghalanginya untuk berakhlak dengan akhlak-akhlak Nabi SAW dan beradab dengan adab-adabnya.
Dengan mengkaji sejarah hidup Nabi SAW , kita belajar kejujuran dari aktivitas dagangnya. Betapa beliau adalah orang yang sangat jujur dalam berniaga sehingga keberkahan begitu tampak pada hartanya. Dengan membaca dan mendengarkan sejarah hidup beliau disampaikan dalam peringatan maulid, para dai belajar berbagai metode dakwah dari baginda.
Beliau memulai dakwah sendirian, menyeru dan mengajak kepada Islam hingga agama yang mulia ini menyebar ke seluruh penjuru jazirah arab. Estafet dakwah sepeninggal beliau dilanjutkan oleh para sahabatnya. Hingga Islam menyebar ke berbagai belahan dunia. Dalam pembacaan terhadap sejarah hidupnya, terdapat pelajaran bagi umat untuk berakhlak dengan akhlak yang mulia. Nabi SAW bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ (رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَالْبَيْهَقِيُّ)
Maknanya: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” (HR al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Dalam rangkaian acara peringatan maulid Nabi, banyak sekali perbuatan baik yang dianjurkan oleh syariat, seperti pembacaan ayat al-Qur’ân, sedekah makanan, doa bersama dan menjadi ajang shilaturrahim serta mengokohkan simpul-simpul tali persaudaraan antarsesama umat Islam. Dan tentu saja menjadi sebuah kegiatan untuk memperbanyak bacaan shalawât sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
Maknanya: “Bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya” (QS. Al-Ahzâb: 56).
Rasulullah SAW adalah teladan akhlak mulia bagi seluruh umat manusia, tidak hanya untuk Muslim, tetapi juga dalam bagaimana kita berinteraksi dengan non-Muslim. Beliau mengajarkan kita untuk bersikap adil, jujur, toleran, dan penuh kasih sayang kepada semua orang. Akhlak Rasulullah SAW terhadap non-Muslim menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengutamakan keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
—000—
Tinggalkan Balasan