

Hari ibu setiap tanggal 22 Desember, selalu diperingati dengan berbagai cara. Kiatnya tergantung pada sudut pandang individu yang mengenangnya. Sebagai immunologist, penulis memiliki perspektif kontemplatif. Seorang ibu, khususnya saat mengandung dan menyusui, memiliki karakteristik “unik”. Tidak mudah membayangkan, betapa banyaknya keajaiban kehamilan sebagai anugerah Allah pada anak. Semuanya bisa terjadi melalui “jasa” rahim dan air susu ibu (ASI). Fenomena itu dapat diuraikan secara ilmiah dan dihayati.
Tampilan fisik dan sifat kepribadian seorang anak, merupakan cermin kedua orang tuanya. Adanya peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, menguatkan makna tersirat itu. Pepatah Jawa “kacang ora ninggal lanjaran”, mempunyai hikmah yang serupa. Artinya ditinjau dari berbagai sudut pandang, gambaran umum seorang anak merupakan hasil “kolaborasi” genetik kedua orang tuanya. Misalnya seorang anak perempuan yang berkulit sawo matang, dilahirkan dari ibunya yang berkulit kuning langsat. Ternyata warna kulitnya tersebut, merupakan gen dominan dari ayahnya. Tetapi sebagian orang melihat wajah anak itu, ibarat “pinang dibelah dua” dengan ibunya.
Ada berbagai contoh ekspresi lainnya yang “kasat mata”. Misalnya langkah kaki seorang anak, hampir tidak bisa dibedakan dengan gerak-gerik ayahnya. Cara berbicara, hobi, hingga model rambutnya pun, sangat mirip. Di sisi lain, tidak jarang kecerdasan seorang anak menyerupai kepintaran ibunya. Demikian pula dalam beberapa contoh kasus, penyakit alergi seorang anak merupakan “bawaan” dari ibunya.
Tampilan fisik yang tampak pada anak (fenotipe), merupakan perpaduan dari genotipe masing-masing kedua orang tuanya. Pewarisan gen seseorang pada keturunannya, tidak melulu pada sesuatu hal yang terlihat secara kasat mata saja. Contohnya berbagai faktor risiko penyakit, telah diketahui berkaitan erat dengan pewarisan gen yang berasal dari kedua orang tuanya. Selain faktor genetik, fenotipe seseorang sangat dipengaruhi oleh interaksinya terhadap lingkungan hidupnya.
Ada beragam contoh kelaziman lainnya di masyarakat. Misalnya seorang artis atau seniman, berpotensi memiliki keturunan profesi yang sama pada anak-anak mereka. Fenomena karakter wira usahawan, sudah lama menjadi topik riset. Apakah mereka memang “dilahirkan” dengan bakat tersebut, atau “diciptakan” melalui suatu “latihan”/kebiasaan ? Beberapa peneliti menemukan jawabannya. Ternyata faktor genetik berkontribusi menentukan kecenderungan seseorang menjadi pebisnis. Karakteristik itu termasuk perihal kemampuannya dalam mengidentifikasi peluang usaha. Ada fenotipe perilaku seorang usahawan lainnya yang bisa “diwariskan”. Misalnya terkait sifat terbuka, ekstrover, ulet, dan lain-lainnya. Tidak diragukan lagi, pola yang sama jamak terjadi pada politikus. Kini kita bisa menyaksikan, banyak generasi muda yang duduk sebagai anggota DPR. Apakah secara “kebetulan”, mereka dilahirkan dari orang-orang dengan latar belakang politikus?
Ringkasnya, berbagai karakteristik yang ditampilkan seorang anak, merupakan bentuk “kolaborasi” antara kedua orang tuanya. Artinya, faktor genetika menentukan ekspresi seorang anak. Semua fenomena tersebut bisa terjadi karena kehendak Allah melalui proses kehamilan seorang ibu. Secara filosofis dapat dikatakan, ibu diberi “mandat” Sang Pencipta untuk menjaga eksistensi anak-anaknya.
Genom
Setiap manusia diperkirakan memiliki 20 ribu hingga 25 ribu gen. Semuanya tersimpan dalam suatu untaian molekul panjang yang disebut DNA (Deoxyribonucleic acid). Berbagai unsur kimiawi dalam DNA, mengandung informasi genetik. Ibarat kita membaca suatu kalimat yang tertera dalam suatu halaman buku, di situ tersirat adanya pesan-pesan tertentu. DNA menggunakan “bahasa” yang disebut kode genetik. Isyarat tersebut dapat “dibaca” oleh sel-sel hidup, guna menghasilkan sifat-sifat spesifik tertentu. Kumpulan lengkap semua materi genetik itulah yang disebut sebagai genom. Secara fisiologis, genom berfungsi layaknya “cetak biru” suatu kehidupan. Ialah yang menentukan sifat dan fisiologi seseorang.
Beragam gen pengendali unsur-unsur kimiawi dan protein pada sel-sel tubuh, ternyata merupakan pewarisan dari orang tuanya. Termasuk di antaranya sistem imunitas dan pengaruhnya terhadap ekspresi penyakit tertentu. Memang pengaruhnya tidak seratus persen. Bentuk perannya melalui interaksinya dengan pola asuh keluarga dan faktor sosial-lingkungan, selama individu tersebut dibesarkan.
Tiap pasangan gen, menunjukkan bentuk alternatif sesamanya yang disebut alel. Misalnya tinggi dengan pendek. Botak dengan berambut lebat. Bulat dengan kisut, dan sebagainya. Jika alelnya sama, dikatakan homozigot. Tetapi bila berbeda, dinamakan heterozigot. Pada contoh kasus anak seperti diuraikan di atas, gen heterozigotnya menunjukkan alel “dominan” warna kulit ayahnya. Alel resesifnya (tersembunyi), berupa warna kulit kuning langsat dari ibunya yang tidak tampak.
Proses kehamilan dan menyusui, memberi kemuliaan bagi seorang ibu melanjutkan “trah” genetikanya pada keturunannya.
Keajaiban kehamilan
Perempuan hamil, menggambarkan suatu fakta keajaiban. Sejatinya janin merupakan jaringan “semi cangkok” yang tertanam dengan aman dalam rahim selama proses kehamilan.
Untuk bisa memahami fenomena menakjubkan itu, mari kita mengawalinya dari suatu realitas biologi. Ambil suatu contoh problem gagal ginjal terminal yang terjadi pada seorang perempuan. Untuk optimalisasi kehidupannya, diperlukan hemodialisis (cuci darah). Tindakan medis tersebut, harus dilakukan sepanjang usianya. Dialisis tak ubahnya seperti mesin yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Jika dilakukan upaya medis lainnya yang lebih “ideal”, cangkok ginjal adalah pilihannya. Modalitas terapi tersebut, tidak mudah dilakukan. Selain prosedurnya yang relatif ribet, tidak semua masyarakat mampu menjangkau biayanya. Kendala berikutnya, sangat tidak mudah mendapatkan donor ginjal yang paling sesuai. Pengertian sesuai/kecocokan, menyangkut kemiripan karakter biologi antara donor dan resipiennya. Karena itulah donor ginjal lazimnya diperoleh dari kerabat dekatnya. Misalnya orang tuanya, saudara kandungnya, ataupun keturunannya. Sebab antara donor dan resipien, memiliki karakter biologi yang serupa, meski tidak sama persis. Semakin tinggi nilai kemiripan karakter biologinya, semakin meminimalkan timbulnya respons imun penolakan jaringan cangkok. Sebaliknya jika diperoleh dari donor “asing”, respons penolakan imunologis semakin berisiko terjadi. Pasalnya, cangkok organ merupakan tindakan medis “menanam” komponen asing. Semakin jauh hubungan kekerabatannya, semakin kuat pula sistem imun meresponsnya sebagai “lawan” (antigen) yang harus dieliminasinya. Alhasil tindakan transplantasi ginjal berpotensi besar mengalami kegagalan.
Fenomena respons penolakan jaringan “asing” bisa sirna seketika, saat proses kehamilan dimulai. Pada hakikatnya ginjal, bahkan seluruh jaringan tubuh janin adalah substansi “semi cangkok”. Tetapi mengapa tidak direspons sistem imun ibu sebagai substansi “asing”/”lawan”/antigen? Padahal cikal bakal anak tersebut, mengandung 50 persen materi genetik “asing” yang berasal dari pihak ayah. Sebaliknya setelah dilahirkan, justru jaringan/organ anak berubah menjadi antigen bagi sistem imun ibunya. Rahasia kebesaran Sang Pencipta, terletak pada plasenta! Ari-ari menurut bahasa Jawa itu, menyimpan keajaiban yang mencerminkan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. Selain sebagai sumber hormon, nutrisi, dan oksigen, juga berperan penting meredam respons penolakan imunologis yang berpotensi merugikan janin. Kegagalan membendungnya, memicu beragam kelainan janin. Termasuk di antaranya keguguran ataupun kecacatan.
Adalah Peter Brian Medawar yang pertama kali mengungkap rahasia keajaiban toleransi imunologi kehamilan. Tidak mengherankan, beliau mendapat anugerah Nobel Fisiologi/Kedokteran tahun 1960. Risalahnya membuahkan suatu hipotesis. Bagaimana sistem imunitas ibu dapat mentoleransi janin yang secara genetika berbeda (“semi cangkok”), tanpa menolaknya selama kehamilan?
Kemampuan meredam gejolak reaksi imun penolakan jaringan asing di satu sisi, memantik konsekuensi negatif di sisi lainnya. “Pengorbanan” ibu selama kehamilan demi janinnya, meningkatkan risiko rentannya mengalami infeksi. Sebab sistem imun ibu selama kehamilan, berdampak tidak seprotektif dibanding ketika tidak hamil.
“Rem kendali” atau pencegah serangan sistem imun ibu pada janinnya, diperankan oleh sel T-regulator (T-reg). Kini mekanismenya telah dapat diuraikan dengan lebih gamblang oleh tiga ilmuwan peraih Nobel Kedokteran tahun 2025. Masing-masing ilmuwan hebat itu adalah Shimon Sakaguchi dari Jepang, serta Mary E Brunkow dan Fred Ramsdell dari Amerika Serikat.
Air susu ibu (ASI)
Tidak diragukan lagi, ASI merupakan nutrisi terbaik yang tidak tergantikan bagi seorang bayi. Komponen makronutrien (karbohidrat, protein, lemak) dan mikronutriennya (vitamin, mineral), paling sesuai untuk proses tumbuh kembang seorang anak. Banyak komponen biologi aktif lainnya dalam ASI yang tidak tergantikan oleh susu formula. Khususnya yang berperan dalam memodulasi sistem imunitas. Beragam komponen tersebut, antara lain sel darah putih (lekosit), sel epitel, sel punca, dan mikroorganisme tertentu. Nantinya mikroorganisme tersebut, berfungsi penting bagi komposisi mikrobiota usus anak. Probiotik atau mikroba “baik” adalah sebutannya.
ASI mengandung laktoferin, antibodi dari kelas Imunoglobulin A (IgA), dan lisozim. Pada hakikatnya semua unsur tersebut, berperan penting bagi perlindungan terhadap paparan mikroba patogen/”jahat” pada bayi.
Dari berbagai riset, ASI juga mengandung materi genetik (micro-RNA/Ribo Nucleic Acid). Hingga kini telah dapat diidentifikasi sedikitnya seribu gen micro-RNA pada genom manusia. Fungsinya masing-masing sangat bervariasi. Beberapa di antaranya, diduga kuat memiliki peran penting pada regulasi epigenetik nasab (pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah) dan fungsi sel punca. Selain itu, berfungsi pula meregulasi percepatan pematangan sistem imunitas bayi.
Micro-RNA yang terkandung dalam ASI, dapat melewati mekanisme degradasi lingkungan asam pada lambung bayi. Setelah melewati beberapa tahap penyerapan di usus, micro-RNA mencapai berbagai jaringan dan organ. Di situlah berperan penting meregulasi berbagai macam efek biologinya. Beberapa peneliti telah dapat memetakan, bahwa materi genetik tersebut dapat memengaruhi ekspresi suatu gen. Bisa meningkatkan, tapi sebaliknya juga dapat menekan ekspresinya. Hingga kini ilmu pengetahuan belum dapat mengungkap sepenuhnya, bagaimana fenomena biologi tersebut bisa terjadi.
Ibu adalah sumber kekuatan dan cinta kasih yang tak terbatas bagi anak-anaknya. Dia tidak hanya melahirkan anak, tetapi juga membuahkan karakter dan kepribadian mereka. Semoga semakin dapat menghayati, bahwa “surga di bawah telapak kaki ibu”.
—–o—–
*) Penulis :
- Pengajar senior di :
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis tujuh buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
- Catatan Harian Seorang Dokter
- Sisi Jurnalisme Seorang Dokter (dua jilid)



Tinggalkan Balasan