
Wakatobi (Trigger.id) – Di bawah terik matahari Wakatobi, permukaan laut berkilau bagai cermin biru yang tak bertepi. Dari kejauhan, tampak seorang nelayan Suku Bajo perlahan menyelam, tubuhnya menyatu dengan air yang menjadi sahabatnya sejak lahir. Di tangan kanannya tergenggam alat sederhana—sebuah panah tradisional dari bambu dan besi yang diasah tajam. Dengan tenang, ia menatap seekor gurita yang bersembunyi di celah karang. Sekali hentak, panah meluncur tepat sasaran.
Begitulah cara nelayan Suku Bajo di Mola Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mencari nafkah tanpa merusak alam. Mereka menyebut kegiatan ini memanah gurita—sebuah tradisi berburu laut yang diwariskan turun-temurun dari leluhur mereka, para “penguasa laut” yang dikenal sebagai manusia perahu.
Bagi masyarakat Bajo, laut bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga rumah yang harus dijaga keseimbangannya. “Kami tidak serakah. Gurita yang masih kecil kami biarkan tumbuh dulu,” ujar La Sampe, salah satu nelayan Bajo yang sudah memanah gurita sejak usia belasan tahun. “Laut ini ibu kami, kalau kami sakiti, nanti kami juga yang susah,” tambahnya sambil membersihkan hasil tangkapannya.
Teknik memanah gurita dilakukan tanpa alat bantu modern. Nelayan hanya mengandalkan penglihatan tajam, pengalaman, dan intuisi. Saat arus laut tenang, mereka menyelam hingga beberapa meter tanpa tabung oksigen. Setiap gerakan di bawah air dilakukan perlahan, penuh perhitungan, agar tidak menakuti hewan laut. Bagi mereka, keberhasilan bukan hanya soal jumlah tangkapan, tapi tentang bagaimana menjaga harmoni dengan laut.
Keunikan tradisi ini membuat banyak peneliti dan wisatawan tertarik datang ke Wakatobi. Tidak sedikit yang menganggap para nelayan Bajo sebagai simbol kearifan lokal dalam menjaga ekosistem laut. Di tengah ancaman penangkapan ikan destruktif dan perubahan iklim, cara hidup mereka menjadi pelajaran berharga: bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya.
Kini, generasi muda Bajo mulai diajak untuk terus melestarikan tradisi ini. Pemerintah daerah bersama lembaga konservasi turut mendampingi, memberikan pelatihan agar hasil tangkapan lebih bernilai ekonomi tanpa kehilangan sentuhan tradisi. “Kami ingin anak-anak Bajo tetap bisa hidup dari laut, tapi dengan cara yang bijak seperti leluhur kami,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.
Ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat, para nelayan kembali ke kampung di atas laut—rumah-rumah kayu yang berdiri di atas tiang pancang. Dari kejauhan terdengar tawa anak-anak yang berlatih berenang sambil memegang panah kecil buatan ayahnya. Tradisi pun terus berdenyut, seiring ombak yang tak pernah berhenti. (bin)
Tinggalkan Balasan