“Barang siapa yang meninggal dalam perjalanan haji dan umrah, Allah akan membalasnya berupa pahala haji dan umrah sampai hari kiamat…… “

Oleh: dr. Ari Baskoro SpPD K-AI – Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya*

Rangkaian ibadah haji tahun 2023 telah usai. Semua jemaah haji (JH) secara bertahap kembali ke tanah air. Beberapa kendala mewarnai catatan penyelenggaraan haji kali ini yang perlu dikaji sebagai bahan evaluasi.
Data yang cukup mencolok adalah soal meningkatnya jumlah kematian JH. Angkanya sangat memprihatinkan, bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hingga hari ke-55 penyelenggaraan haji, sebanyak 652 JH telah wafat. Data tersebut diperoleh dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama pada 17 Juli 2023 jam 09.45 WIB.
Walau tidak diharapkan, sangat mungkin jumlah JH yang wafat akan terus bertambah. Pasalnya, masih sekitar tiga ratusan lebihJH yang hingga kini masih dalam perawatan di rumah sakit setempat. Tingkat keparahan penyakitnya pun bervariasi. Mayoritas adalah pneumonia (radang paru) yang tergolong sebagai penyakit serius.
Berdasarkan data penyelenggaraan haji pada tahun-tahun sebelumnya, angka kematian JH Indonesia ada di kisaran 200-400 orang, setiap pelaksanaan haji. Jumlah tersebut identik dengan dua per mil. Itu terjadi selama 15 tahun terakhir. Perkecualian hanya terjadi pada tahun 2017. Saat itu angka mortalitas hingga hari ke-50, mencapai 529 JH dari 221 ribu yang diberangkatkan. Tahun 2015 berbeda masalah. Secara total jumlah kematian JH Indonesia saat itu,sebanyak 574 orang. Tingginya angka kematian JH, lebih dikarenakan kontribusi tragedi Mina (129 JH), dan robohnya crane di Masjidil Haram-Makkah (12 JH).
Sebagai bahan komparasi, India dengan kuota haji terbanyak kedua setelah Indonesia, angka mortalitasnya hanya satu per mil.Tahun ini kuota haji Pakistan, sedikit melebihi India.Angka kematian JH Malaysia, malah bisa dikatakan terkendali dengan baik. Pada tahun 2022, negeri Jiran tersebut memberangkatkan 14 ribu JH. Hanya satu orang saja di antaranya yang wafat. Setiap penyelenggaraan haji, angka mortalitas JH Malaysia rata-rata hanya 0,3 per mil. Skriningnya untuk menyatakan istithaah dari sisi persiapan fisik sangat teliti. Bahkan calon jemaah haji (CJH) yang obesitas, akan sulit untuk diberangkatkan.Bodymassindex/BMI jemaahnya, menjadisalah satu poin pertimbangan penting.
Mindset jemaah haji
Tidak sedikit JH kita yang memang berkeinginan untuk ditakdirkan wafat di Tanah Suci.Dalilnya adalah Hadits Rasulullah yang diriwayatkan Al-Baihaqi. “Barang siapa yang meninggal dalam perjalanan haji dan umrah, Allah akan membalasnya berupa pahala haji dan umrah sampai hari kiamat. Dan siapa yang mati di salah satu tanah Haram, maka tidak akan dihisab”. Maka akan dikatakan kepadanya “masuklah ke surga”.
Dalam riwayat lain juga dijelaskan, bahwa orang yang meninggaldi salah satu Tanah Suci (Makkah dan Madinah), akan mendapat syafaat Nabi Muhammad SAW, dan digolongkan dalam kelompok orang yang selamat. Imam Nawawi dalam kitab Al- Adzkar An-Nawawiyah juga menganjurkan, agar seseorang berharap untuk meninggal di tempat yang mulia, seperti Makkah atau Madinah.
JH yang sejak awal berkeinginan untuk wafat di Tanah Suci, cenderung tidak terlalu memedulikan kondisi fisiknya. Semangat beribadahnya sering kali mampu melebihi JH lainnya. Mereka tidak akan melewatkan waktu barang sedikit pun. Semuanya dimanfaatkan sebaik-baiknya,untuk menjalankan sunah-sunah ibadah haji.Meski aktivitas ibadah tersebut, membuatnya merasa kelelahan. Mereka tidak akanmerasa khawatir berisikojatuh sakit, bahkan wafat. Kalaupun pada akhirnya wafat, mereka berpendapat akan masuk kategori mati syahid dengan segala keutamaannya. JH yang mempunyai mindset demikian, tidak seirama dengan upaya pemerintah untuk menekan risiko morbiditas dan mortalitasnya.
Istithaah haji
Negara menjamin kemerdekaan beribadah. Dalam penyelenggaraan haji, negara harus memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan, bagi warga negara yang menunaikan ibadah haji. Upaya tersebut harus dilaksanakan secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan syariat. Ketentuan itu termaktub dalam Undang-Undang No.8 tahun 2019,
Selain memiliki bekal finansial yang cukup, JHjuga harus memenuhi syaratistithaah dari sisi kesehatan. Tahun ini Indonesia mendapatkan kuota haji secara penuh. Jumlahnya mencapai 229 ribu orang, termasuk delapan ribu kuota tambahan. Dari jumlah total JH tersebut, sebanyak 67 ribu (30 persen) di antaranya merupakan JH lansia.
Di sisi lain, tantangan penyelenggaraan haji dari tahun ke tahun, adalah banyaknya JH (63-67 persen) dengan kategori risiko tinggi (Risti). Tahun ini yang tergolong Risti bahkan mencapai 73 persen. Situasi tersebut memerlukan mitigasi, guna menghindari risiko morbiditas dan mortalitas JH.
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 15 tahun 2016, menjadi instrumen penting penentuan istithaah kesehatan JH. Menurut Permenkes tersebut, istithaah mempunyai makna kemampuan JH secara jasmaniah, rohaniah, pembekalan, dan keamanan, untuk menunaikan ibadah haji. Ketentuan itu juga harus disertai syarat, tanpa menelantarkan kewajiban terhadap keluarganya.
Istithaah kesehatan haji, terutama difokuskan pada JH lansia danyang berkategori Risti.Misalnya yang memiliki berbagai kondisi penyakit/komorbid. Itu diperlukan guna persiapan menghadapi situasi geografi Arab Saudiyang “kurang ramah” dari sisi kesehatan, saat mereka beribadah di Tanah Suci. Suhu ekstrem dan kepadatan massa, patut diperhitungkan. Bertepatan dengan puncak ibadah haji, tercatat suhu lingkungan mencapai 48 derajat Celsius. Itu terjadi pada tanggal 29 Juni 2023. Saat wukuf di padang Arafah, kepadatan bisa mencapai 1,8 meter/orang dan di Mina 0,8 meter/orang. Situasi itu membuat JH “sulit bergerak” yang bisa berdampak buruk,terutama bagi jemaah lansia dan Risti.
“Periode kritis” seharusnya juga mendapatkan perhatian penting. Dari tahun ke tahun, wafatnya JH terutama terjadi pada H-5 (Arafah) sampai hari tasyrik (H+7). Kelelahan menjadi faktor pemicu utama, khususnya terhadap terjadinya serangan jantung. Tahun ini grafik angka kematian JH meningkat signifikan, pasca fase puncak haji di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armuzna).
Beberapa jenis penyakit yang dimiliki oleh JH, bisa bersifat dinamis. Misalnya, dalam kondisi aktivitas minimal dan pengobatan yang optimal, bisa memenuhi persyaratan istithaah. Tetapi bila mengalami kelelahan saat menjalankan aktivitas ibadah hajinya, penyakit tersebut berisiko akan mengalami pemburukan. Terlebih bila mereka ”lupa”/lalai dalam mengonsumsi obat. Seyogianya mereka dikategorikan sebagai jemaah yang memenuhi syarat istithaah, tapi dengan pendampingan.Kriteria pendampingan bisa berarti adanya orang yang bisa mengantar (biasanya keluarga). Pendamping ini juga bertanggung jawab atas obat-obatan yang harus rutin dikonsumsi, selain penyertaan peralatan medis tertentu.KategoriJHRisti yang memerlukan pendampingan seperti inilah yang menempati porsi terbanyak.
Penyelenggaraan haji 2023 yang mengusung tema “haji ramah lansia”, memberikan tanggung jawab pendampingan pada petugas haji. Meski demikian,sangat mungkin itu tidak akan efektif. Setiap JH lansia atau Risti, memiliki problem spesifik. Terutama bagi jemaah yang mengalami demensia (“pikun”).
Penutup
Masih ada sejumlah faktor lainnya yang berperan serta dalam memantik peningkatan morbiditasJH tahun 2023.Semuanya memerlukan evaluasi untuk perbaikan. Sudah tepat kiranya, bila Komisi VIII DPR RI akan membahasnya melalui panitia kerja (Panja).
Mengubah mindset JH, bukanlah perkara yang mudah.Sebaiknya diadakan penelitian untuk menjawab hipotesis yang mengaitkan latar belakang mindset dengan morbiditas dan mortalitas JH. Di sisi lain diperlukan komitmen yang serius dari pengambil kebijakan lintas sektoral, agar mitigasi JH dapat berjalan secara maksimal.
*Penulis buku:
- Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan