
“Sesaat kita bisa menjadi orang paling kaya dan sesaat kemudian bisa saja kita menjadi orang termiskin.”
Oleh: Habib Ahmad Al Habsyi

Sebagai manusia apa yang mau kita sombongkan. Kita ini berasal dari air mani. Air yang keluar dari kemaluan dan tidak ada orang yang mau menyimpan air maninya sendiri. Bahkan jika air mani tersebut mengenai pakaian, kita cepat-cepat mencucinya.
Jika manusia itu meninggal ia akan jadi “bangkai” dan harus segera dimakamkan. Kemana-mana manusia berjalan dalam perutnya tersimpan kotoran. Lalu apa yang bisa dan mau kita sombongkan dan apa yang mau kita banggakan.
Jika kita memiliki ilmu, ilmu itu titipan dari Allah. Jika kita kaya, yakinlah bahwa semua harta yang kita miliki tersebut juga titipan dari Allah Swt. Dan dalam sekejap harta tersebut bisa saja lenyap, jika Allah sebagai pemilik harta mencabutnya.
Sesaat kita bisa menjadi orang paling kaya dan sesaat kemudian bisa saja kita menjadi orang termiskin karena harta kita sudah diambil oleh Allah Swt.
Begitu juga ilmu yang kita miliki tu sebenarnya titipan dari Allah. KIta masuk kamar mandi terpeleset dan kepala kita terbentur tembok atau lantai sehingga ilmu yang ada dalam otak kita hilang semua. Kita tidak bisa mengingat satupun dari apa yang sudah kita lakukan. Diajak bicara sama orang lain juga tidak nyambung karena otak kita sudah tidak bisa lagi menyimpan memori.
Makanya dalam tingkatan berikutnya, selain semua apa yang ada dalam diri kita ini milik Allah dan kita jangan pernah membanggakan atas apa yang sudah kita lakukan atau membanggakan amal kita.
Kalau seseorang selalu membanggakan atas amal yang sudah dilakukan akan tergelincir pada kesombongan. Dia mengaku sudah mengerjakan ini itu dan sebagainya. Berbeda dengan orang yang ikhlas, yang selalu merasa kurang atau belum merasa melakukan apa-apa atas semua amal kebaikannya. Ia sangat yakin bahwa sedekah yang ia keluarkan tidak berarti apa-apa dibanding ;pemberian rezeki yang ia terima dari Allah Swt.
Sabda Nabi Muhammad Saw.:
عن أبي هُريرة رضيَ اللَّهُ عنه أَنَّ رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْداً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً ، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ للَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وجلَّ » رواه مسلم .
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah bersabda: “Tidaklah sesuatu pemberian sedekah itu mengurangi banyaknya harta. Tidaklah Allah itu menambahkan seseorang akan sifat pengampunannya, melainkan ia akan bertambah pula kemuliaannya. Juga tidaklah seseorang itu merendahkan diri kerana mengharapkan keredhaan Allah, melainkan ia akan diangkat pula darjatnya oleh Allah ‘Azzawajalla.* (Hadits Riwayat Muslim).
Seseorang yang memberikan hartanya kepada orang lain, sesungguhnya hartanya tidak berkurang sama sekali. Begitu juga seseorang yang memberikan maafnya kepada orang lain, maka Allah akan menambah kemuliaan atas orang tersebut. Derajatnya bertambah naik.
Zaman sekarang ini terbalik. Orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain dianggap pribadi yang lemah. Justru orang tersebut dalam Islam termasuk orang yang kuat, yang tidak terpengaruh oleh kejelekan atau kesalahan orang lain. Ini sangat berat, karena tidak semua orang bisa melakukannya.
Jika orang dizalimi membalas dengan kezaliman, dipukul lalu balas memukul, itu gampang dan semua orang bisa. Hewan saja bisa melakukan. Dicakar balas mencakar. Tetapi orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, itulah sesungguhnya orang yang kuat.
Contoh nyata ada pada diri Muhammad Saw. Bagaimana Nabi sangat menghormati semua sahabatnya termasuk menghormati orang paling miskin sekalipun.
Pernah suatu hari, ketika Nabi bersama para sahabatnya berjalan kaki menuju suatu tempat untuk urusan yang sangat penting, tiba-tiba langkah Nabi dihentikan orang lain, yang merasa penting untuk bicara langsung dengan Nabi. Nabi berhenti dan menuruti orang tersebut. Bahkan orang tersebut ingin bicara hanya empat mata di suatu tempat juga dituruti oleh Nabi Saw. Ini menunjukkan betapa luar biasanya sikap tawadu’ Rasulullah tersebut. Kepada orang miskin sekalipun Rasulullah tetap menaruh hormat dan menuruti apa maunya orang miskin tersebut.
Tidak ada sikap sombong sedikitpun dari Rasulullah Saw. Semua yang bisa dikerjakan sendiri oleh Rasulullah ya dikerjakan sendiri oleh beliau. Ketika belanja dan membawa barang belanjaan ke rumah, Rasulullah sendiri yang membawa barang belanjaan tersebut. Padahal para sahabat saling berebut untuk membawakan barang belanjaan tersebut, tetap Nabi tidak mau dan memilih membawanya sendiri.
Salah satu tanda orang tawadu’ adalah ketika ia keluar dari rumah ia tidak berjumpa dengan orang muslim yang lain kecuali menganggap orang muslim tersebut lebih tinggi derajatnya atau lebih tinggi ilmunya daripada dirinya.
Tinggalkan Balasan