
Surabaya (Trigger.id) – Sudah rajin shalat tetapi kenapa jiwa ini tetap gersang dan seakan makin jauh dari Allah SWT. Bukankah diwaktu shalat tersebut waktu dimana seorang hamba posisinya paling dengat dengan Sang Khalik.
Dan bukahkah shalat itu fungsinya untuk menjauhkan manusia dari perbuatan keji dan munkar.
Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Akan datang pada manusia (umat Muhammad) suatu zaman, banyak orang yang merasakan dirinya shalat, padahal mereka sebenarnya tidak shalat.” (HR Ahmad).
Perintah shalat adalah untuk mengingat Allah SWT (Thaaha: 14).
إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدْنِى وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ
Artinya: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
Tetapi dalam surah an-Nisa’ 43, Allah SWT juga mengingatkan kita tentang shalat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا۟ مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Karena itu, dalam mengerjakan shalat tidak boleh lalai. Yang dimaksud lalai adalah tidak mengetahui maksud apa yang dibaca dan apa yang dikerjakan, apalagi jika kurang memperhatikan syarat rukun dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka, yang diperoleh hanyalah payah dan letih. Rasulullah menyatakan, ”Berapa banyak orang yang shalat (malam), keuntungan yang diperoleh hanyalah payah dan letih.” (HR Ibnu Majah).
Jadi, meskipun merasa dirinya shalat, tapi hakikatnya tidak shalat. Dan, ia tidak akan mendapatkan hikmah shalat. Shalatnya pun tidak menambah dekat kepada Allah, tapi justru sebaliknya. Rasulullah menegaskan, ”Barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, maka tiada bertambah baginya kecuali semakin jauh dari Allah.” (HR Ali Ibnu Ma’bad).
Nah, zaman yang diprediksikan Rasulullah tadi tampaknya sudah terjadi kini. Isyaratnya, meskipun bangsa Indonesia mayoritas Muslim dan tentu saja banyak yang shalat, tapi tak sedikit pula di antara mereka yang masih tetap melakukan perbuatan keji dan munkar. Ironisnya, dari hari ke hari frekuensinya tidak semakin menurun, bahkan dari segi kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat, seperti tindak KKN, perzinahan, dan kejahatan lainnya.
Padahal, jika shalat bisa dikerjakan dengan baik dan benar, dengan memperhatikan syarat rukunnya, sah batalnya, dan kesunahannya, maka hikmahnya sangat besar, baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat.
Misalnya saja, manifestasi dari rukun qauli (bacaan dalam shalat) akan menjadikan orang tidak mudah berkata bohong, memfitnah, dan berkata kotor lainnya. Manifestasi dari rukun fi’li (gerakan dalam shalat), tangan tidak akan digunakan untuk menjamah sesuatu yang dilarang agama, dan kaki pun tidak melangkah kecuali yang diridhai Allah. Demikian juga anggota tubuh lainnya. Sedangkan manifestasi dari rukun qalbi (kekhusukan hati), maka jiwanya tidak akan mudah dihinggapi penyakit rohani, seperti hasut, iri, dengki, dendam, dan sombong.
Misal lainnya adalah sujud. Sujud merupakan simbol penghambaan (ketaatan) tertinggi seorang Muslim. Karena posisi sujud adalah meletakkan kepala di lantai (tanah). Orang yang bersujud berarti telah rela meletakkan kepalanya yang terhormat ke lantai yang diinjak oleh kaki.
Ini artinya orang yang sujud itu telah bersedia mematuhi ketetapan-ketetapan hukum (syariat Islam) secara totalitas dalam semua aspek kehidupan. Dengan begitu, secara kontekstual ia pun harus bersujud dalam segala bentuk aktivitas kehidupannya sehari-hari.
Misalnya, jika berbisnis harus jujur, tidak menipu, dan tidak mencuri takaran atau timbangan. Jika berpolitik harus mengedepankan moral dengan tujuan memperjuangkan kaum lemah. Dan, jika menjadi pemimpin ia berusaha mengemban amanah. Rasulullah mengumpamakan orang yang mengerjakan shalat lima kali sehari semalam itu seperti orang yang mandi untuk membersihkan kotoran yang ada di badan.
Kata Rasulullah, ”Bagaimana pendapatmu jika ada sungai di depan rumahmu, lantas kamu mandi di situ sehari lima kali, apa masih kotor badanmu?” Para sahabat menjawab, tidak ada kotorannya sama sekali. Kemudian beliau bersabda, ”Maka, seperti itu juga shalat lima waktu, maka Allah akan menghapus dosa-dosa dengan shalat.” (Bukhari-Muslim).
(ian)
‘
Tinggalkan Balasan