

Skuad Garuda gagal memenuhi harapan publik tanah air. Tim kebanggaan Indonesia itu pulang tanpa membawa poin. Tim tuan rumah China, telah memupuskan perjuangan mereka di lapangan. Meski kualitas permainan anak asuh Shin Tae-yong (STY) tidak kalah dengan lawan, tetapi kehilangan fokus dan konsentrasi bertahan memaksa mereka mengakui keunggulan tuan rumah. Skor 2-1 bukanlah sesuatu yang patut disesali. Masih banyak kesempatan meraih sukses di masa berikutnya. Evaluasi menjadi catatan penting untuk langkah pembenahan.
Kegagalan skuad Garuda mengingatkan penulis pada kisah sulit atlet renang Amerika Serikat (AS). Simone Ashley Manuel adalah perenang wanita kulit hitam pertama negara Paman Sam yang fenomenal. Di Olimpiade Rio De Janeiro 2016, mampu menyabet dua medali emas dan dua medali perak. Gaya bebas 100 meter, merupakan favoritnya. Rekor Olimpiade dalam genggamannya. Sayang sekali prestasi moncernya itu gagal direngkuhnya kembali pada Olimpiade Tokyo 2020. Perjuangannya untuk menapaki kembali prestasinya menjadi perhatian publik AS. Itu setelah film dokumenternya viral, menggambarkan upayanya dalam mengatasi overtraining syndrome (OTS).
Baca juga: Maraknya Jurus “Dewa Mabuk” Pada Penggunaan “Obat Dewa”
Overtraining syndrome
Kehilangan fokus dan konsentrasi dalam suatu laga seperti yang dialami Timnas Indonesia, acap kali merupakan gejala awal dari OTS. Tidak sedikit atlet profesional dunia yang pernah mengalaminya. Gejalanya amat bervariasi. Tetapi bagi seorang pelatih ataupun manajer yang berpengalaman, tidak terlalu sulit untuk mengenalinya. Atlet yang tadinya menunjukkan prestasi yang bagus, secara tidak terduga tampak mudah lelah. Semangatnya menjadi kendor, tanpa diketahui latar belakangnya. Gejala tersebut akan semakin nyata dengan keluhan nyeri otot, gerakan terasa berat, dan infeksi saluran napas yang relatif sering berulang. Tidak jarang dia akan curhat dengan teman sesama atlet, bahwa dirinya mengalami sulit tidur. Nafsu makannya pun menjadi berkurang. Kadang pula terjadi gangguan suasana hati yang menyebabkannya menjadi mudah tersinggung. OTS jelas akan berdampak pada penurunan performa atlet di lapangan.
Meski OTS tidak jarang terjadi pada seorang atlet, tetapi bisa merembet pada anggota tim lainnya. Kasus demikian disinyalir kerap terjadi pada tim-tim elite sepakbola Eropa. Jadwal kompetisi yang rapat dan melelahkan, serta tuntutan tinggi dari para suporter dan manajer, diduga menjadi biang penyebabnya. Waktu istirahat yang kurang pasca pertandingan yang berat, mengakibatkan waktu pemulihan kondisi fisik menjadi terhambat. Dengan sendirinya adaptasi berikutnya terhadap dosis latihan yang lebih tinggi, tidak akan tercapai.
Ada beberapa faktor lainnya yang diduga kuat memantik terjadinya OTS. Misalnya perjalanan yang melelahkan. Apalagi bila melewati zona waktu. Penyakit infeksi dan tekanan psikis, juga bisa menjadi penyebab.
Dalam bidang kesehatan olahraga, kasus OTS lazim dinarasikan sebagai unexplained underperformance syndrome. Meski telah mendapatkan “cuti” latihan selama dua minggu, namun performanya tidak kunjung membaik. Bahkan cenderung semakin merosot secara gradual. Tidak semua atlet akan mengalami kejadian buruk seperti itu. Belum dapat diketahui dengan jelas bagaimana latar belakang patologinya. Potensi terjadinya OTS akan semakin meningkat pada atlet yang berlatih dengan intensitas tinggi. Apalagi bila disertai waktu latihan yang berkepanjangan.
Prevalensi OTS pada atlet muda sekitar 30-35 persen. Di sisi lainnya, performa atlet dapat terkendala akibat burnout. Prevalensi burnout sekitar 5-10 persen. Burnout merupakan awal terjadinya OTS.
Pada dasarnya OTS merupakan fenomena biologi yang lazim terjadi. Latihan fisik dengan intensitas yang dinaikkan secara bertahap, mampu meningkatkan kekuatan otot dan ketahanan fisik. Apabila latihan fisik tidak terencana dengan baik dari sisi jadwal ataupun intensitasnya, tidak akan dapat mencapai ambang yang tepat. Tercapainya titik ambang yang tepat dan diikuti waktu istirahat yang optimal, memberikan efek peningkatan performa. Tetapi bila latihan melampaui dosis dari sisi intensitas dan waktu, berdampak pada kegagalan adaptasi. Akibatnya performa atlet justru akan merosot. Fenomena itulah yang secara sederhana menerangkan terjadinya OTS.
Beberapa pakar kesehatan olah raga menduga mekanismenya berkaitan dengan berkurangnya cadangan glikogen otot. Kondisi tersebut memicu peningkatan asam amino rantai cabang tertentu (valine, leucine, isoleucine). Komponen tersebut terpaksa dijadikan “bahan bakar” alternatif otot, melalui proses oksidasi. Peningkatan kadar hormon stres seperti steroid, diduga juga menjadi salah satu penyebabnya. Ada beberapa teori lainnya yang berupaya menjelaskan mekanisme OTS, meski belum terbukti secara evidence-based.
Pencegahan OTS
Monitor reguler terhadap denyut jantung saat istirahat, lazim dilakukan sebagai cara deteksi dini yang cukup sederhana. Penilaian psikologis sebaiknya rutin dilakukan, selain unsur nutrisi yang adekuat. Untuk mencapai performa tim yang ideal, dibutuhkan banyak pakar yang terlibat, karena memerlukan pendekatan secara holistik.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan