

Saya akademisi bukan politisi. Saya tidak pernah ikut partai politik. Walau sering diundang ceramah hampir di semua partai. Namun dalam beberapa kali Pemilu, partai yang saya pilih malah sekarang pada belain dan mendukung koalisi dan orang-orang bermasalah. Padahal dulunya kupikir itu partai yang berkomitmen pada reformasi. Malah Partai merah PDIP belum pernah saya pilih.
Dulu zaman reformasi 98 saya ikut bersama mahasiswa demo anti Orba dari kampus tercinta (Unair). Cita-cita kami saat itu adalah menegakkan demokrasi yang bermartabat untuk keadilan, kebaikan dan kesejahteraan Indonesia.
Pemilu 2014 saya senang lihat ada tokoh daerah bisa maju jadi capres melawan simbol dan warisan Orde Baru. Saya menyukai pak Jokowi sejak beliau jadi Walikota Solo lalu Gubernur DKI. Harus diakui itu hasil reformasi.
Saya melihat sosok Pak Jokowi itu representasi rakyat kecil yg selama 30 tahun dipinggirkan dan tidak diberi kesempatan dan kekuasaan oleh Orde Baru.
Dua kali Pemilu 2014 dan 2019, Pak Jokowi adalah simbol kemenangan rakyat kecil yang banyak disyukuri. Termasuk saya pribadi juga mensyukuri. Apalagi Pemerintahannya diwarnai keberhasilan, terutama pembangunan infrastruktur. Nama Jokowipun mengharum hingga pelosok-pelosok negeri.
Tapi manusia tetap manusia. No body perfect. Menjelang akhir jabatannya, Pak Jokowi berubah. Atau memang inilah aslinya yang mulai diketahui. Minimal dari sisi politik. Ternyata keberhasilan-keberhasilan itu memunculkan keinginan agar pak Jokowi tetap bisa berkuasa. Persoalannya konstitusi membatasi jabatan presiden hanya boleh dua kali. Ini juga hasil reformasi.
Nampaknya setelah Pak Jokowi tidak bisa maju, disiapkanlah putranya untuk menjadi pengganti. Caranya berkolaborasi dengan yang paling memungkinkan dan paling menguntungkan. Itu tak lain adalah lawan politiknya yg dulu. Maka strategi menggandeng lawan politikpun dilakukan. Ini asik dan menarik. Banyak yang beri apresiasi karena rekonsiliasi itu membawa persatuan dalam pemerintahan yang “harmoni”.
Rakyat yang terbelahpun bisa diharap menyatu. Langkah politik ini dikagumi. Tak hanya di dalam, tapi juga di luar negeri. Itu hebatnya sosok Pak Jokowi. Dia memang tokoh yang pantas “dikagumi.
”Kemudian saat Gibran putranya dipaksakan jadi cawapres, dengan mengubah regulasi menggunakan Mahkamah Konstitusi, ramailah jagat politik di negeri ini. Banyak yang gak percaya dan mereka-reka dengan analisis bercampur halusinasi.
Bagi saya, semua ini sudah direncanakan dan disiapkan lama oleh Pak Jokowi. Tak heran apapun keburukan Pak Prabowo, “harus ditutupi” Pak Jokowi, karena sudah menjadi bagian dari skenario upaya politik pribadi, kroni dan dinasti. Orang-orang pintar dan berpengalamanpun banyak yang terkelabuhi dengan ini. Maka bagi mereka yang pakai logika (istilah Ade Armando) yuk kita jagain Pemilu ini agar tetap bisa berjalan sesuai prinsip demokrasi. Jangan biarkan aparat penjaga amanah demokrasi bisa ikut bermain mempengaruhi, apalagi membelokkan jalannya proses demokrasi. Kita rakyat Indonesia, harus pantengin dan jagain apa yang akan terjadi.
Kalau selama ini kita memberi apresiasi karena pemerintahan sekarang terdiri dari banyak partai yang dulu bersaing dan kontestasi, maka jangan sampai nanti saat Pemilu, pemerintah dan aparatnya pada diganti hanya dari pendukung koalisi anak pak Jokowi.
Tulisan ini adalah bagian dari rasa hormat dan suka saya pada pribadi Pak Jokowi. Tujuannya mengingatkan beliau dan koalisi untuk tetap berpolitik dengan etika demokrasi. Ini saya sertai foto lama saat Pak Jokowi masih Walikota Solo. Semoga Pak Jokowi tetap seperti yang saya kenal dulu. Amiin YRA.
*Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga
Tinggalkan Balasan