Pemudik lebaran tahun 2024, diprediksi akan melonjak tajam. Kenaikannya tidak main-main. Dibandingkan pemudik lebaran pada tahun lalu, diproyeksikan meningkat sebesar 45,8 persen.
Berdasar survei Kementerian Perhubungan, sebesar 71,7 persen dari total penduduk Indonesia akan bepergian. Jumlah itu setara dengan193,6 juta jiwa.Wilayah Jabodetabek yang senantiasa dijadikan indikator nasional, angkanya malah melampaui rata-rata. Diperkirakan warga wilayah tersebut yang akan “bedol desa”, bisa mencapai 82,27 persen. Artinya, sebanyak 28,4 juta orang akan meninggalkan kampung halaman mereka,menuju destinasi pilihan mereka masing-masing.
Jawa Tengah masih menjadi tujuan favorit para pemudik. Angkanya diperkirakan mencapai 61,6 juta orang. Yogyakarta khususnya, masih menjadi magnet bagi pemudik. Kota budaya dan pariwisata itu,diprediksi akan dibanjiri sebanyak 11 juta orang. Selanjutnya tujuan pemudik berturut-turut adalah Jawa Timur (37 juta orang) dan Jawa Barat (32 juta orang).
Bisa dibayangkan, betapa padatnya jalur transportasi. Arus lalu lintas darat akan “tumpleg bleg” dipadati pemudik. Di sisi lain, pihak terkait telah mempersiapkannya secara optimal, demi memperlancar arus perjalanan pemudik. Di beberapa ruas jalan tol yang dipastikan menjadi pilihan utama, telah dilengkapi dengan rest area dengan fasilitas yang cukup memadai.
Bila kita amati, ada beberapa kendala yang patut menjadi perhatian. Beberapa titik di jalur pantura (Jateng dan Jatim), masih rawan dengan masalah banjir dan genangan air yang berpotensi mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Demikian pula beberapa lokasi jalur selatan Jawa yang mungkin akan dilintasi. Wilayah yang terkena dampak banjir tersebut, saat ini dilaporkan tengah menjadi “hotspot” kasus demam berdarah dengue (DBD).
Sebenarnya lonjakan kasus DBD tidak hanya menyasar pada daerah perlintasan/destinasi pemudik saja.Misalnya Jabodetabek sebagai asal pemudik, juga mengalami lonjakan yang signifikan dalam jumlah kasus yang dilaporkan. Demikian pula Sumatera Selatan, khususnya Palembang.Kondisi pergerakan massal selama perayaan lebaran, sangat rawan bagi meningkatnya risiko penularan virus dengue.
Sebagaimana data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga pekan ke-12 tahun 2024, kasus DBD telah melampaui 43 ribu kasus. Angka kematiannya pun, sudah lebih dari 340 orang. Jumlah kasusnya telah meningkat tiga kali lipat, bila dibandingkan periode waktu yang sama setahun sebelumnya.
Diprediksi angka-angka itu akan terus melejit, hingga Mei 2024. Sangat mungkin jumlah kasus yang tercatat, hanya merupakan suatu fenomena puncak gunung es. Pasalnya mayoritas kasus demam dengue, tanpa memberikan gejala atau gejalanya ringan saja, sehingga terabaikan. Tetapi dari perspektif epidemiologi, mereka merupakan sumber penularan virus yang potensial. Dalam periode waktu tertentu, darahnya mengandung virus dengue yang sewaktu-waktu dapat dihisap nyamuk, untuk ditularkan pada orang lainnya.
Melonjaknya kasus DBD, sejatinya sudah diprediksi jauh hari sebelumnya. Hal itu merupakan masalah rutin tahunan, saat musim hujan tiba. Tetapi pada tahun ini, lonjakan kasusnya jauh melampaui prediksi. Mitigasinyapun tidak maksimal. Dikhawatirkan kejadian tersebut merupakan percepatan dari siklus tiga atau empat tahunan.
Negara kita tidak sendirian. Banyak negara-negara endemis DBD lainnya, juga mengalami pola epidemiologi yang sama. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), secara global peningkatannya telah mencapai sepuluh kali lipat, dalam dua dekade terakhir.
Berbicara soal penyakit yang ditularkan melalui nyamuk (Aedes aegypti dan Aedes albopictus), sangat tergantung pada tingkat populasi dan sebaran nyamuk itu sendiri.Kepadatan penduduk juga sangat memengaruhi. Dampak El Nino dan perubahan iklim, menjadi faktor penyebab utamanya. Peningkatan suhu permukaan bumi, tingginya curah hujan, dan faktor meningkatnya kelembaban udara, merupakan kontributor penting bagi ekosistem yang paling sesuai untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes.
Banjir yang terjadi di beberapa wilayah tanah air, memberi peluang bagi optimalisasi siklus hidup nyamuk Aedes. Berbagai macam barang bekas yang tidak terpakai (misalnya ban bekas, ember, kaleng, wadah plastik, mainan anak), bisa menampung air hujan. Banyak pula tempat lainnya yang bisa dijadikan habitat alami nyamuk tersebut untuk berkembang biak dan menetaskan telur-telurnya. Misalnya pada celah-celah tanaman, lubang pohon, atau tumpukan daun yang membusuk. Tempat yang relatif gelap, teduh, dan bersuhu hangat, merupakan tempat ideal kehidupannya.
Dalam situasi ekosistem yang kondusif itu, siklus hidupnya menjadi lebih cepat. Kemampuannya menggigit manusia pun, menjadi meningkat beberapa kali lipat. Menurut riset terakhir, nyamuk Aedes telah berevolusi dan mampu menyesuaikan diri dengan baik pada ekosistem perkotaan. Aktivitasnya yang biasanya dominan pada siang hari, kini mulai berubah. Perilaku menggigitnya juga bisa terjadi pada malam hari, sebagai akibat penerangan lampu perkotaan.Sebagian juga diketahui memiliki kekebalan/resistansi terhadap insektisida yang biasanya digunakan untuk pengasapan/fogging.
Waspada situasi lingkungan
Hingga kini belum ada pengobatan anti virus yang spesifik untuk DBD. Perawatannya murni bersifat suportif dan mengatasi gejalanya saja.Tulang punggung pencegahan DBD selama ini, hanya mengandalkan pada pengendalian populasi nyamuk.
Menurut hemat penulis, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang sering didengungkan, tidak akan efektif. Dalam situasi lingkungan banjir dan genangan yang terjadi dimana-mana, peran masyarakat sangat terbatas dan tidak mungkin konsisten. Perhatian mereka saat ini terpecah, terkait agenda politik nasional dan lonjakan harga kebutuhan pokok.
Bagi pemudik/masyarakat, sangat bijak bila selalu berupaya menghindar dari gigitan nyamuk dengan cara apa pun. Terutama saat mereka tengah beristirahat dalam perjalanannya,di lingkungan yang kiranya optimal bagi ekosistem nyamuk Aedes.
Vaksinasi DBD
Belajar dari pandemi Covid-19, protokol kesehatan dan vaksinasi menjadi tulang punggung mitigasinya. Harusnya epidemi DBD juga ditanggulangi dengan “menikahkan” PSN dan vaksinasi. Kini vaksinasi DBD telah tersedia, tetapi masih harus diakses secara mandiri alias berbayar. Vaksin tersebut masih menjadi wacana/pertimbangan untuk dimasukkan dalam program imunisasi nasional (PIN). Melihat lonjakan dan sebaran penyakit yang mengkhawatirkan dan berpotensi memicu terjadinya wabah, sangat layak dipertimbangkan percepatan vaksinasi DBD dalam PIN tersebut.
—-0000—-
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan