
“Pelayanan excellent bukan menjadi klaim dari instansi pemberi pelayanan”.
Oleh: Isa Anshori (Pemred Trigger.id)

Sekitar seminggu lalu Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi terlihat marah-marah karena melihat sendiri sistem pelayanan pasien yang kurang baik (jelek) di rumah sakit milik Pemkot Surabaya, RSUD Moh. Soewandhie.
Eri Cahyadi marah, karena pasien-pasien ‘dibiarkan’ menunggu berlama-lama, hanya gara-gara sistem pelayanan yang kurang memadai tersebut.
Wali Kota Surabaya pantas marah, karena kinerja pelayanan masyarakat di RS Muhammad Soewandhie tidak sesuai harapannya dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.
Dalam satu-dua hari terakhir, manajemen RSUD Moh. Soewandhie (RS. Soewandhie) sudah terlihat melakukan perbaikan kinerja pelayanan. Antrean pasien sudah tidak selama sebelumnya, fasilitas pendingin ruangan hingga televisi di ruang tunggu pasien kabarnya segera diwujudkan.
Direktur Utama (Dirut) RS Soewandhie, dr. Billy Daniel Messakh memastikan pelayanan akan semakin baik pada awal tahun 2023 mendatang. Di akhir 2022 ini, ia bersama jajarannya sedang proses melakukan beberapa pembenahan.
Itulah apa yang terlihat dan janji dari manajemen RS Soewandhie.
Bahwa imbas dari marahnya Wali Kota Eri Cahyadi mengarah juga ke perbaikan pelayanan publik di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang lain, harusnya ditangkap sebagai sinyal positif bahwa semuanya harus segera berubah dan berbenah, meskipun harus dipicu oleh sebuah peristiwa.
Sebelum dilakukan peningkatan kualitas pelayanan dan juga janji-janji bahwa ke depan pelayanan RS Soewandhie akan lebih baik lagi, tentu kita berpikir positif bahwa pasca sidak Wali Kota seminggu yang lalu, manajemen telah merapatkan barisan melakukan analisa dan evaluasi (anev) tentang apa saja kualitas pelayanan yang harus segera diperbaiki dan dari mana memulainya.
Akan mengalami kendala dan kesulitan jika ada satu-dua karyawan di RSUD tersebut yang tidak mau berubah. Bahwa paradigma baru dalam pelayanan publik harus dimiliki oleh setiap individu yang berkhidmat diri menjadi pelayanan publik.
Dalam beberapa literatur, istilah paradigma diartikan sebagai cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Dengan pengertian ini maka kajian bagaimana cara pandang baru (perspektif) atau yang secara akademis sering disebutkan dengan paradigma baru tentang pelayanan publik, itu menjadi penting.
Paradigma lama dan fakta selama ini dalam pelayanan publik dimana para petugas bekerja sekedar telah melaksanakan kewajibannya. Pelayanan seadanya, dan tanpa atau kurang standar.
Kita melihat masih banyak kantor pemerintah yang tidak memiliki standar pelayanan. Padahal standar pelayanan adalah kewajiban yang harus diadakan di setiap instansi pelayanan publik, yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, tentang Pelayanan Publik.
Mantan Kepala Ombudsman Aceh, Taqwaddin Husin pernah menyampaikan, selain pelayanan seadanya dan tanpa standar, ditemukan pula adanya maladministrasi, adanya pungli, lemahnya profesionalitas aparatur pelaksana, dan rendahnya komitmen pimpinan untuk melayani publik. Inilah fakta dan paradigma lama yang harus direvisi menuju paradigma baru pelayanan publik prima.
Pelayanan publik prima (service of excellent) adalah pelayanan sebaik-baiknya yang menimbulkan kepuasan pada warga masyarakat. Pelayanan prima berorientasi pada pemenuhan harapan publik (public expectation) mengenai kualitas barang, jasa, dan pelayanan administrasi. Jadi bukan pelayanan biasa saja. Tetapi pelayanan excellent.
Pelayanan excellent bukan menjadi klaim dari instansi pemberi pelayanan. Pemberi pelayanan tidak boleh mencitrakan apalagi dirinya baik atau excellent. Kata ‘pelayanan baik’, harus tumbuh atau muncul dari si penerima layanan tanpa boleh diintervensi pihak manapun.
Diperlukan beberapa syarat untuk mewujudkan pelayanan publik prima,
Pertama, pemenuhan standar pelayanan. Ini wajib dilaksanakan dan dipampangkan pada tempat yang jelas terlihat oleh warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Ini indikator utama pelayanan publik prima.
Kedua, pelayanan yang diberikan harus mengacu pada hukum sehingga memberikan kepastian hukum.
Ketiga, petugas yang memberikan pelayanan harus yang kompeten. Idealnya minimal memenuhi kompetansi akademis dan kompetansi teknis.
Keempat, pelayanan yang diberikan harus cepat dan tepat serta sesuai dengan janji layanan. Misalnya, suatu paspor dijanjikan secara terpampang diselesaikan dalam tiga hari kerja, maka jadwal tersebut mesti dilaksanakan.
Kelima, informasi yang disampaikan mesti jelas, akurat dan dipahami para pengguna layanan.
Dalam paradigma baru pelayanan publik prima, para petuga pemberi layanan perlu menciptakan suasana agar publik merasa dipentingkan. Publik mesti dianggap sebagai mitra. Jangan dianggap sebagai orang yang levelnya lebih rendah.
Upayakan seoptimal mungkin pelayanan yang diberikan ada sentuhan passion dari para petugas. Maknanya, petugas memang benar-benar tulus dan berupaya sebaik mungkin dalam menberikan pelayanan. Bukan hanya sekedar melepaskan kewajiban, lalu mengharapkan gaji di awal bulan. Jangan seperti itu. Upayakan seoptimal mungkin memberikan pelayanan yang dapat memuaskan warga masyarakat.
Tinggalkan Balasan