Surabaya (Trigger.id) – Terdapat banyak istilah yang melekat dengan bulan Ramadhan, antara lain bulan kesabaran, kejujuran, keikhlasan dan bulan diturunkannya al-Qur’an.
Semua terma tersebut merujuk kepada satu tujuan, yaitu penghambaan manusia kepada sang Pencipta secara totalitas baik secara individual maupun sebagai entitas sosial.
Inilah yang menjadi core value dari ibadah puasa Ramadhan yang berorientasi pada pembentukan pribadi yang takwa sebagaimana pesan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 183 “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Tulisan ini menghadirkan kajian dan gagasan persenyawaan puasa Ramadhan dengan edukasi moderasi beragama, dan berangkat dari fakta cara beragama yang eksklusif dan saling klaim kebenaran secara sepihak yang disertai dengan aksi yang berujung arogansi.
Implikasinya, citra Islam di mata dunia semakin termarginalkan sebagai konsekuensi dari adanya cara pandang agama yang tidak moderat. Padahal, Islam adalah agama rahmat dan penebar kedamaian bagi alam semesta. Dalam konteks inilah, nilai takwa yang merupakan esensi ibadah puasa Ramadhan bersinggungan dengan sikap beragama yang moderat (moderasi beragama).
Sebagaimana dimaklumi, karakter moderasi beragama bertumpu pada pola pikir dan prilaku yang mencerminkan sikap keseimbangan (tawazun), proporsional (i’tidal), dan menjungjung tinggi nilai nilai heterogenitas (tasamuh), menyelesaikan persoalan dengan musyawarah mufakat (syura) dan berorientasi pada kemaslahatan dan perbaikan (islahiyyah).
Pada point inilah, puasa Ramadhan dan edukasi moderasi beragama memiliki pertalian yang sangat erat, dan tidak dapat dipisahkan. Nilai nilai ketakwaan yang terbentuk melalui ibadah puasa Ramadhan diharapkan menjadi basic pembentukan pribadi yang menampilkan sikap dan karakter khas moderasi beragama.
Jika hal ini sudah terinternlisasi dalam setiap individu, dan kemudian terwujud menjadi gerakan bersama, maka tentu akan dapat menciptakan stabilitas dan harmoni sosial kebangsaan.
Sebagai contoh, syura (diksusi dan musyawarah mufakat) yang menjadi karakter dasar moderasi bergama jika diimplementasikan dalam konteks kehidupan kebangsaan, maka problem problem kebangsaan akan dapat dicarikan solusinya secara kolektif dan dapat menafikan sikap konfrontatif yang dapat mengancam terhadap eksistensi kebangsaan.
Begitu pula dengan sikap tasamuh (toleran), jika diterapkan dalam situasi kebangsaan yang heterogen seperti di Indonesia yang terdiri banyak suku bangsa, adat istiadat, agama dan kebudayaan, maka akan dapat menciptakan kerukunan dan mempersatukan diantara semua elemen bangsa.
Sikap i’tidal dan tawazun akan menampilkan ketawadhuan dan ketundukan secara vertikal dan menciptakan pola pikir dan prilaku sosial yang santun dan menyejukkan secara horizontal, sikap islahiyyah akan melahirkan kemajuan di berbagai sektor kehidupan karena selalu berorientasi pada perbaikan dan kemaslahatan bersama.
Demikian, tulisan singkat ini sebagai bahan renungan tentang Ramadhan dan Edukasi Moderasi Beragama, dengan harapan semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang bermakna di Indonesia. (kai)
Tinggalkan Balasan